Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nono Anwar Makarim
Dia bilang kapitalisme menjelma paling kasar dalam bentuk pabrik gula penjajah. Padi digusur oleh tebu sejauh mata memandang. Sawah susut. Perkebunan Belanda memiskinkan petani. Yang miskin lalu jadi lebih miskin. Yang lebih miskin menjadi melarat. Kemudian yang melarat tidak makan lagi. Mereka terhuyung berjalan kaki jauh menuju sawah yang tersisa. Beras mentah di dalam gabah dikunyah-kunyah. Assistent-resident kirim laporan rahasia kepada gouverneur generaal.
Di gudang Rijksarchief di Den Haag saya baca liputan seorang pejabat pemerintah kolonial tentang kelaparan bangsa saya: Beribu orang, berjalan sempoyongan, terjatuh-jatuh di tegalan membanjiri sawah yang hampir menguning. Para korban banjirnya punya istilah sendiri untuk kerumunan orang lapar yang menghinggapi sawah mereka seperti hama: wong manukan (manusia burung). Hanya burung yang datang beterbangan dalam jumlah besar, mendarat, menyerbu padi yang menunggu dipanen. Matahari belum terbit. Anak-anak sedang mandi di sumur, bercelotehan. Ibunya masak nasi. Tiba-tiba salah seorang bocah teriak melengking: Wong manukan tekaaaa! (Manusia burung dataaang!) Di tegalan pinggir lokasi persawahan desa, lurah didampingi 20-an kepala keluarga petani berdiri, diam, tercengang. Carik, masih pakai sarung tidur, tergopoh-gopoh datang. Mereka menatap ladang taninya dikerubuti laki-laki, perempuan, dan anak yang tampak kehabisan tenaga. Satu per satu berjatuhan di petak-petak tanah yang mulai mengering, siap dipanen. Matahari belum lagi terbit sepenuhnya, manusia burung sudah hilang terserap desa. Di tempat asalnya, mereka juga bertani dan paham akan pekerjaan apa yang dibutuhkan pada setiap tahap penanaman padi dan palawija. Belum sehari berlalu, mereka sudah memeras tenaga seadanya mengerjakan kebun, membersihkan saluran irigasi, tegalan, jalan desa, pagar tanaman. Berbeda dengan masa lalu, kali ini wong manukan menetap.
Pekerjaan desa yang sebelumnya cukup digarap lima orang sejak itu dikerjakan bersepuluh. Makanan yang tadinya cukup untuk 5 keluarga dalam satu hari harus dicukupkan untuk 10 keluarga. Orang miskin berbagi kemiskinan. Geertz melahirkan istilah kondang: agricultural involution. Pertanian yang ngurek, makan ke dalam. Cliff dikenal sebagai sarjana penulis yang mengalirkan prosa yang sering lirikal dari buah penanya. Saya tidak begitu setuju. Pembaca Agricultural Involution akan segera mengerti maksud saya. Kegandrungan Geertz pada gaya dan kata justru sering kali membuat kalimat dan paragrafnya membelit ke dalam. Bukan hanya dunia pertanian dan perdagangan Jawa yang mengalami involusi. Tulisan Clifford Geertz sering menderita penyakit yang sama, mungkin sisa impiannya ingin menjadi penulis ketika pertama kali duduk di bangku kuliah.
Dua tahun dia berkeliaran di kota yang diberinya nama samaran MODJOKUTO. Dia sendiri heran akan kegenitan tim peneliti, dua psikolog, seorang ahli sejarah, seorang sosiolog, dan lima antropolog, semuanya lulusan Harvard. Dia keluar-masuk pasar, nongkrong di tepi pasar, mampir dan ngobrol di toko Ibrahim, dan kipas-kipas kepanasan di toko buku Pantjaran di DJ. MASDJID. Dia bilang di situ berlaku suatu sistem utang-piutang yang unik. Kreditur memberi utang kepada debitur tanpa berharap utang kembali sepenuhnya. Besar-kecilnya sisa utang, dalam proporsi tertentu dengan volume dagang si debitur, menentukan awetnya hubungan antara yang punya uang dan yang pinjam uang. Kalau di Surabaya orang tanda tangan perjanjian sebelum berutang, di pasar Modjokuto orang berutang dulu, baru kemudian berhubungan seperti dalam kontrak. Beli 10, jual 7, bayar 3, tahan 4, pemeo pedagang karet eceran di Serawak yang dikutip Geertz berlaku juga di pasar Modjokuto. Maksudnya, seorang pedagang, sang debitur, mengambil kredit barang seharga Rp 1 juta, menjual barang tersebut dengan harga Rp 1,2 juta. Si pembeli barang dagangan sang debitur hanya membayar DP sebesar Rp 700 ribu. Dari uang Rp 700 ribu itu Rp 300 ribu dibayarkan kepada si kreditur awal, sedangkan sisanya sebesar Rp 400 ribu ditahan untuk digunakan sebagai modal. Begitu cara berdagang tanpa modal dalam masyarakat miskin dana.
Pola kredit semacam ini padat karya. Sebagian besar waktu seorang kreditur habis dalam upaya menagih utang, dan menakar kapasitas utang masing-masing debiturnya. Pasar seakan terapung di atas jaringan transaksi dagang dan utang kecil-kecilan. Kesempatan sabetan dagang yang besar dipecah-pecah menjadi transaksi kecil-kecil yang dibagi di antara para kreditur dan debitur. Ketika pabrik gula merajalela, petani yang dimiskinkan tumpah ke masyarakat desa yang belum miskin. Ketika pabrik gula ambruk dalam resesi dunia tahun 1930-an, buruh dan pegawai administrasi perkebunan dan segenap sektor yang terkait pada gula tumpah ke kota dan mencari makan di pasar. Juga di sini terjadi involusi, commercial involution.
Clifford Geertz mungkin bukan penemu istilah santri, abangan, dan priyayi. Tapi dialah yang memegang patennya, begitu besar pengaruh bukunya The Religion of Java. Alamaak, banyaknya orang yang marah atas pemisahannya antara santri dan abangan! Yang diinginkan para kritisi Geertz adalah agar kategorisasi itu dilenyapkan, garis pemisah antara santri dan abangan dicairkan. Yang disodorkan pada Geertz adalah agar ritus kaum abangan, yang kelihatannya tidak tertampung oleh Islam reformasi, tetap dianggap ritus suatu versi Islam yang pernah ada di Mesir dahulu kala. Geertz tidak boleh mengusulkan bahwa mungkin ada juga pengaruh kepercayaan lain meresap ke dalam kultur suatu masyarakat yang memang cenderung sinkretis.
Di suatu desa hutan jati, jauh di selatan Jawa Tengah, saya menyaksikan pertunjukan wayang kulit sampai hampir pagi. Ketika langit timur mulai memerah, semua penabuh gong, gamelan, dan tabuhan lain yang bersarung batik, berbaju surjan, dan bertopi blangkon, ganti busana. Dalam sekejap mata pakaian adat Jawa berubah menjadi pakaian kaum sarungan. Baju putih tanpa kerah, sarung palekat, dan pici. Namun, alangkah mengejutkannya rangkaian acara yang mereka namakan ruwatan. Yang saya saksikan, tidak lebih dan tidak kurang, adalah suatu varian dari upacara voodoo, lengkap dengan meja sesajen yang kakinya bergetaran, dan dua ekor ayam hidup-hidup. Barangkali ada kritikus Clifford Geertz yang mau menggali sejarah Islam di kalangan petani Mesir zaman dahulu kala? Siapa tahu ruwatan barangkali berasal dari sana. Geertz salah besar bila ia mengesankan pemisahan terlalu tajam antara kultur abangan dan Islam. Kesalahan itu sama besarnya bila dikatakan bahwa masyarakat Islam di Jawa tertutup hermetis terhadap pengaruh budaya non-Islam di sepanjang zaman. Bagi banyak orang, karya Geertz merupakan awal pelajaran menggunakan kacamata lain dalam berintuisi tentang pikiran sementara warga negara kita. Misteri mengapa, misalnya, Fraksi PDIP walk-out dari sidang DPR yang mengesahkan undang-undang pendidikan, kemudian mulai bisa terungkap. Dalam salah satu pertanggungjawabannya tujuh tahun yang lalu Clifford Geertz bilang bahwa dia bukan orang sistim, dia adalah seorang etnograf, dari awal sampai akhir. Dia hanya ingin tahu secara empiris, tidak sekadar konsepsional, peranan ide dalam kelakuan manusia, arti suatu makna, nilai suatu putusan. Kehidupannya, pada saat menuliskan gambaran tersebut ia berumur 73 tahun, diandaikan suatu Bildungsroman, suatu novel yang mengisahkan perkembangan moral dan psikologis tokoh utamanya.
Menurut pengamatan Geertz, banyak orang yang tidak tahu mau ke mana. Dia bahkan tidak tahu dari mana ia tiba. Ungkapan tersebut bukan kerendah-hatian palsu seorang bintang lapangan. Pelajaran terbesar yang diperolehnya dalam suasana ketenarannya adalah bahwa semua tergantung pada timing, bukan otaknya yang cemerlang. Sukses, keberuntungan, kebahagiaan, dan pengaruhnya semua digantungkan pada sebab kesempatan pada saat yang tepat dan kesediaannya berhadapan dengan yang baru, yang belum pernah dikenalnya. Tokoh utama dalam Bildungsroman kita melihat hidupnya sebagai rangkaian saat yang membingungkan, tanpa arah yang pasti, kesempatan yang tidak dicari jatuh begitu saja di kakinya, perubahan lokasi, tugas, diri sendiri, dan ambience intelektual.
Pada hari ulang tahunnya yang ke-60 Clifford Geertz berjongkok di atas sebuah jamban di Modjokuto, sambil merenungkan nasib perutnya yang sakit sekaligus geli menyadari posisi dan lokasi dirinya. Ia sering dijuluki penemu ilmu pengetahuan baru: antropologi spekulatif. Yang dimaksudkan barangkali bahwa ia terlalu berani mengambil risiko, terlalu mengikuti kemauan intuisinya, dan terlalu gandrung pada pluralitas ungkapan pola budaya.
Clifford Geertz meninggal di pagi hari tanggal 30 Oktober 2006 setelah menjalani operasi jantung di rumah sakit Universitas Pennsylvania. Sebagai guru sejati dia meninggalkan pesan buat pengikutnya:
”. . . . hendaknya tidak terikat, berani ambil risiko, jangan tergoda jalan yang mulus, hindari karirisme, tempuh jalan sendiri, dan kalau sudah begitu, senantiasa awas, optimistis, dan setia pada kebenaran . . .”
Seorang pencerah sudah pulang. Menurut kepercayaan Jawa (atau barangkali Islam Mesir dahulu kala?) roh Clifford Geertz belum pergi, masih merantau, bebas dari jasadnya, ringan. Sekarang mungkin di rumah buruh kereta api di Paré, tempat ia menginap 50 tahun yang lalu. Mungkin juga di Tabanan. Bersinarlah sejenak lagi. Supaya bangsa yang ia sesalkan keterpurukannya ke dalam kekaburan sadar kembali. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo