Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria gemuk dengan kumis dan jambang lebat ini bak superstar. Dia terkenal di mana-mana, diundang oleh banyak pemimpin negara, dan senantiasa menjadi berita. Itu karena gagasannya tentang memberdayakan orang miskin di negara dunia ketiga yang kemudian ia tuangkan dalam buku The Mystery of Capital. Buku ini terbit pada 2000, menjadi best-seller, dan sudah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa.
Gagasan Hernando de Soto memang revolusioner. Baginya, orang miskin tertinggal bukan karena tak punya modal. Mereka punya rumah, banyak yang punya tanah, bahkan ada yang punya usaha sendiri. Persoalannya, semua itu berada di luar sistem, tak mendapat pengakuan hukum, sehingga akhirnya tinggal menjadi ”modal mati (dead capital)”.
Itu sebabnya De Soto mengembara dari negara ke negara, mengkampanyekan reformasi hukum bagi orang miskin. Gagasannya: beri kaum papa ini hak legal atas propertinya, libatkan mereka dalam sistem ekonomi pasar, maka sebuah revolusi akan terjadi.
Di Peru, negara asalnya, Proyek ini ia mulai tak lama setelah kembali dari rantau pada 1979, dan membawa banyak kemajuan. Misalnya, sementara dulu banyak orang miskin menjalankan usahanya secara ilegal (di luar sistem), sekarang semakin banyak yang berizin. De Soto berhasil memperpendek pengurusan izin usaha dari 289 hari menjadi bahkan hanya satu hari!
Jumat siang pekan lalu, pendiri Institute for Liberty and Democracy, Peru, ini berkunjung ke Tempo. Meski punya seabrek aktivitas berpikir, De Soto ternyata pribadi yang hangat dan humoris. Misalnya, di akhir cerita tentang perceraiannya dua tahun lalu, dia nyeletuk: ”I am on the market know.”
Dia menyukai musik dari klasik sampai rock n roll, dan pernah menjadi juara lomba athletic rock n roll ketika masih sekolah di Swiss. ”Hingga sekarang, kalau ada teman mengajak dancing, kami pergi,” ujarnya. Salah satunya karena dia harus menurunkan berat badan hingga 30 kg.
Dia menyukai anjing. Saat ini ia memelihara dua ekor german shepherd: Engels dan Marx. ”Mereka lebih kiri dari saya,” ujarnya terbahak. ”Tidak menghargai hak milik pribadi.”
Meski pernah dikenal luas sebagai pengusaha yang sukses, toh dia lebih ingin dikenal karena pekerjaannya yang sekarang. ”Kalau ada pelajar yang bertanya siapa itu De Soto,” ujarnya di akhir kunjungan sekitar dua jam itu, ”katakan dia seorang peneliti yang secara khusus tertarik pada aturan hukum dan kenapa begitu banyak orang berada di luarnya.” Berikut selengkapnya bincang-bincang tim Tempo dengannya.
Apa yang akan Anda lakukan selama di Jakarta?
Saya diundang untuk banyak acara: seminar, kuliah di beberapa universitas, dan Senin nanti bertemu presiden dan sebagian anggota kabinet.
Anda bicara soal memberdayakan orang miskin seperti di Peru?
Ya. Jika Anda ingin terlibat dalam ekonomi pasar dan sukses, Anda harus menjadi bagian dari kontrak, harus punya alamat yang jelas. Singkatnya, bagaimana membawa orang-orang miskin dan cenderung berada di luar sistem ke dalam ekonomi pasar. Jawabannya, melegalkan properti mereka sehingga mereka dapat terlibat. Beri mereka ”passport”.
Tapi ada banyak kritik, antara lain kepemilikan yang sah atas properti tidak otomatis membuat orang miskin bisa menjadi pengusaha kaya.…
Yang saya katakan adalah mari melegalisasi, tapi bukan cuma memberi stempel di atas selembar kertas. Lebih dari itu, supaya mereka dapat berpartisipasi. Karena di pusat sistem ekonomi pasar adalah sistem kontrak, kita buat kesepakatan dengan bank atau apa pun. Jika kita saling tahu satu sama lain, barangkali tidak membutuhkan pembuktian dan segala macam. Tapi bagaimana kalau ingin bertemu bankir atau orang di luar keluarga? Ingat, ekonomi pasar adalah suatu sistem di mana Anda berhubungan dengan orang dalam jumlah yang sangat besar.
Anda sudah melakukan ini di Peru sejak tahun 1980-an, sejalan dengan berkembangnya gagasan ini. Apa yang sudah terjadi di sana?
Dulu butuh waktu 289 hari untuk melegalisasi bisnis di Peru. Jika Anda miskin, Anda tidak akan menghabiskan waktu setahun untuk itu. Pada akhirnya Anda akan memutuskan tidak pergi lagi, sogok saja petugas. Sekarang cuma sehari jadi. Dalam satu setengah tahun terakhir ada 400 ribu bisnis baru yang legal muncul. Biayanya juga jauh lebih murah (sekitar US$ 174). Dan pajak yang masuk mencapai US$ 2 miliar, dalam dua minggu!
Apa yang mendorong Anda meneliti dan menyebarkan gagasan mengenai kemiskinan, padahal sebelumnya Anda seorang pengusaha yang sukses?
Saya kembali ke Peru tahun 1979 dan berbisnis tambang emas, sangat kecil. Ketika mengunjungi tempat kami mendapat konsesi, saya melihat banyak orang tengah mencari emas di sungai itu. Saya tanya kepada penjaga, siapa orang-orang ini, kenapa dibiarkan? Mereka jawab: ”karena mereka ada 2.000 orang, sementara kami hanya ber-60.” Ha-ha-ha, ini bukan cuma situasi di tambang, tapi di mana-mana, di depan toko, di taksi. Saya lalu meminta keempat akademisi yang bekerja pada saya untuk meneliti dan menemukan buku tentang kemiskinan. Mereka hanya menemukan catatan-catatan kecil. Nah, begitu mereka kembali dan mengatakan tidak ada, saya langsung berpikir: oh my God, ini sebuah peluang untuk inovasi, scope. Sejak itu saya ingin menulis buku tentang ini.
Anda melakukan penelitian di berbagai negara. Bisa memberi gambaran seberapa besar orang miskin di luar sistem atau di sektor informal?
Mereka banyak, di mana-mana. Di Rusia dan Ukraina 70 persen di luar hukum, Albania 80-90 persen, Filipina 70 persen.
Kalau di Indonesia?
Saya belum melakukan penelitian di sini. Tapi seperti negara berkembang lain, dengan 220 juta orang dan 75 persen di antaranya ada di desa, boleh dibilang sekitar 80 persen dari masyarakat Anda ekstra-legal. Ketika saya datang untuk memperkenalkan buku saya pada 1990, saya pergi Bali untuk liburan. Di Bali, Sony Harsono (mantan Menteri Negara Agraria) mengatakan bahwa sekitar 90 persen tanah di Indonesia informal. Saya ingat sekali itu.
Bagaimana cara Anda menilai apakah seseorang berada di dalam atau di luar hukum?
Yang menjadi ukuran: seberapa aman tanahmu, apa yang bisa dilakukan dengan tanah itu berkaitan dengan modal, bagaimana bisnis Anda berjalan—apakah bisa mendapat kredit, bisa menjual saham? Dengan kata lain, apakah Anda memiliki instrumen untuk menjadi makmur dalam sistem ekonomi pasar dan yang membuat Anda merasa menjadi bagian dari ekonomi formal? Bila tidak, artinya Anda informal.
Anda diundang banyak pemimpin negara. Biasanya apa yang Anda katakan dalam kunjungan-kunjungan Anda?
Kalau diundang, saya akan datang. Saya tidak tahu ke mana dunia ini menuju, tapi saya tahu globalisasi atau universalisasi ini dimulai dari kolonialisasi, bisnis, perang, lalu damai. Nah, kebetulan saya menemukan beberapa cara yang bisa dengan cepat mengantar Anda ke tujuan. Silakan pilih, mau cepat atau menggunakan jalur lambat. Jika menggunakan jalur lambat, Anda akan tetap di sana katakanlah seperti Eropa, 400 tahun. Selama 400 tahun perang, 400 tahun berselisih soal teritori, tentang property rights, siapa yang akan mendominasi laut, mengeksplorasi tambang emas, dan tetap belum bisa bersepakat tentang siapa yang boleh memiliki kekuatan nuklir. Idenya adalah, dengan hukum Anda bisa bersepakat dalam semua hal, termasuk mengakui sistem distribusi dan penggunaan aset.
Katakanlah Anda kami minta untuk mengantar Indonesia ke jalur cepat itu. Apa yang akan Anda lakukan?
Saya akan membuat peta negara Anda. Bukan atas dasar siapa yang mendapat satu dolar per hari siapa yang dua dolar, bukan atas dasar pria atau wanita, bukan atas dasar dia kena malaria atautidak, tapi siapa yang berada di dalam hukum, siapa di luar dan mengapa. Dan mengapa hukum bekerja sangat buruk sehingga sebagian besar orang Indonesia tak bisa masuk ke dalam sistem.
Dengan kata lain, andaikan ada tembok yang membatasi kelompok legal di dalam dan ekstra-legal, yang harus dilakukan adalah memperluas tembok sehingga lebih banyak yang masuk di dalam?
Ya, tapi itu sangat menyederhanakan. Nyatanya, hukum di dalam sistem kadang bukan aturan yang baik untuk semua orang. Kebanyakan hukum hanya untuk kepentingan elite. Anda perlu memiliki aturan baru yang memuaskan setiap orang. Dia harus memiliki unsur-unsur dari aturan lama yang berhasil dan hal-hal yang diyakini oleh mayoritas masyarakat.
Bisa memberikan contoh?
Peru. Salah satu penghambat adalah aturan agar masyarakat menggunakan notaris untuk mendapat pengakuan legal atas properti. Sebelum mendapat sertifikat, orang harus ke notaris hingga 17 kali. Ini aturan jelek. Rakyat miskin bahkan harus memasukkan lebih banyak rencana teknis bangunan mereka dibanding yang kaya. Paling tidak ada 14 rencana: untuk listrik, untuk kabel, untuk ngecat, hingga akhirnya mereka memutuskan, ikut aturan bukanlah pilihan yang menguntungkan. Nah, yang perlu Anda lakukan adalah mencari dan menghapus aturan-aturan yang tidak mungkin diikuti oleh masyarakat. Ini bukan hal yang sulit.
Masalahnya, di Indonesia hukum kadang tumpang-tindih, misalnya antara hukum positif dan hukum adat. Apakah ini juga mudah diatasi?
Tentu. Pertama, yang perlu Anda lakukan adalah melakukan diagnosis. Cari tahu di mana hukum adat berlaku. Anda juga harus punya strategi untuk mendapat peta hukum adat itu. Dan itu tidak sulit. Sekali Anda mendapat petanya, Anda akan tahu, bukan hanya siapa mendapat apa, tapi juga peta kekuasaan—siapa yang sangat berkuasa dan siapa yang tidak. Dari sana kamu bisa menemukan cara untuk mengatasi tumpang-tindih itu.
Bagaimana kalau itu terjadi di antara peraturan pemerintah sendiri, katakanlah antara pemerintah pusat dan otonomi daerah?
Anda bisa membandingkan dengan negara-negara yang pemerintahannya terdesentralisasi seperti Amerika atau Swiss. Standar tetap berlaku, meski mereka punya otonomi. Desentralisasi menjadi masalah di beberapa tempat karena terlalu banyak orang yang berpikir dari berbagai sudut pandang. Harusnya hanya ada satu organisasi yang bekerja pada level tertinggi langsung dengan presiden untuk memecahkan semua masalah ini.
Anda bicara soal perubahan hukum, aturan, yang semuanya pada akhirnya kembali kepada elite, dalam hal ini pemerintah dan politisi yang tidak selalu tanggap atas masalah rakyat.…
Kita membutuhkan elite untuk membuat hukum, tapi hal pertama yang Anda butuhkan adalah jumlah. Misalnya, 80 persen orang Indonesia berada di luar sistem, dan ingin soal ini diselesaikan. Seharusnya yang terjadi, siapa pun yang menang pemilu di Indonesia berarti menang karena 80 persen ini, dan mereformasi sistem. Tapi, karena Anda tidak memiliki jumlah itu, Anda tidak bisa melakukan mobilisasi.
Hak atas tanah menurut Anda merupakan cara untuk mengaktifkan ”dead capital”. Tapi di Indonesia masih banyak pemilik tanah bersertifikat yang tidak bisa mendapat kredit. Bagaimana itu bisa menjadi modal aktif?
Ada sertifikat yang baik, ada yang buruk. Jika hanya memberikan sertifikat, belum tentu dia akan mendapat kredit dengan cara yang benar. Sertifikat yang baik harus disertai dengan infrastruktur. Yang terjadi dalam banyak kasus adalah sertifikat hanya untuk menunjukkan hubungan antara Anda dan tanah Anda. Padahal, properti adalah hubungan antara Anda dan semua orang lain, termasuk kredit, keamanan, modal, penerangan, air, listrik, dan tanah. Di Mesir, masyarakat yang mendapat kredit di sektor formal berakhir dengan sekitar 40 persen kehilangan tanah, ternak, peralatan, sekitar 12 persen dipenjara. Sementara di Amerika dan Norwegia, sistemnya dibuat dengan memperhitungkan masyarakat yang barangkali tidak bisa membayar utang, sehingga ada aturan soal negosiasi ulang. Makanya di sana hanya satu persen yang kehilangan hak mereka atas tanah.
Bagaimana dengan pajak? Legalisasi berarti harus bayar pajak. Bukankah itu justru menyulitkan kalau mereka tetap tidak bisa berusaha?
Pada dasarnya seperti ini. Katakanlah saat ini di Indonesia biaya untuk jalur ilegal lebih rendah dari yang legal. Orang akan memilih untuk menempuh jalur ilegal. Sebagian dari biaya legal adalah pajak, korupsi, denda, dan lainnya. Maka, Anda perlu membuat biaya di jalur legal menjadi lebih murah dari jalur ilegal. Contoh, jika Anda ingin membuat 80 pembayar pajak masuk, Anda mungkin bisa menurunkan tarif pajaknya. Yang penting adalah membuat setiap orang rasional.
Tapi bagaimana kalau masyarakat tidak memiliki kemampuan menjalankan bisnis? Mereka akan bangkrut, tanah mereka dikuasai bank.…
Di AS ketika semua bisnis baru dimulai, 80 persen dari mereka bangkrut. Sistem ini awalnya memang membawa kegagalan. Dan di sini dibutuhkan kesabaran. Selalu ada risiko karena begitulah sistem itu bekerja. Empat puluh tahun lalu ada sekitar 86 perusahaan pembuat pesawat terbang di dunia, sekarang cuma tinggal dua atau tiga.
Mohamad Yunus mengembangkan Grameen Bank. Gagasannya mirip, agar orang miskin mendapat modal. Tapi dengan cara yang berbeda. Bagaimana Anda menilainya?
Menurut saya itu luar biasa. Sebenarnya kami pada jalur yang sama. Gagasan besarnya adalah orang miskin tidaklah semiskin yang dikira. Menurut dia, ini interpretasi saya, semua orang miskin memiliki kemampuan untuk berbisnis. Yang berbeda adalah pandangan soal sumber daya. Saya membidik sumber daya hukum, dia masuk dari sumber daya keuangan. Dia pantas mendapat Nobel.
Kabarnya, Anda tengah menulis buku baru?
Sedang saya kerjakan. Ini berkaitan dengan bagaimana menata sebuah tanggal lahir usaha dan bagaimana itu bisa mendatangkan kemakmuran. Mirip The Mystery of Capital, ini misteri mengenai hal-hal kecil dalam hukum yang bisa membuka banyak kemungkinan bagi Anda. Seperti sel tertentu yang secara khusus bereaksi terhadap guncangan tertentu, yang memberikan kekuatan kepada tubuh untuk bereaksi.
Hernando de Soto Lahir: Arequipa, Peru, 1941 Pendidikan: The Institut Universitaire des Hautes Etudes Internationales, Jenewa, Swiss Karier:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo