Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecewa pada Layanan Telkom
Pada awal Agustus 2006, saya mendapat selebaran promosi PT Telkom untuk pemasangan sambungan baru telepon. Promosi itu juga saya lihat pada spanduk yang dipasang di depan pintu gerbang masuk kompleks perumahan yang saya tempati. Dalam promosi tersebut jelas terlihat, antara lain, biaya didiskon dan dijanjikan paling lama 60 hari sudah ”kring”.
Tertarik dengan promosi itu, pada 11 Agustus saya mendatangi Plasa Telkom Pur-wakarta untuk mengajukan pemasangan sambungan telepon. Saya menandatangani ”Kontrak Berlangganan Sambungan Tele-komunikasi” dengan petugas Telkom Purwakarta, yakni Ibu Lany. Saya pun membayar lunas semua biaya, dan ada diskon sesuai dengan promosi yang disampaikan. Saat ditanyakan kapan telepon bisa digunakan, sungguh manis janji dari petugas Telkom Purwakarta. Ia menjawab, paling lambat 60 hari telepon di rumah saya akan kring!
Namun, sampai awal November, ternyata telepon di rumah saya belum kring juga. Jangankan kring, penyambungan kabel ke rumah saja belum dilakukan. Kenapa Telkom tidak menepati janji? Hal itu menunjukkan bahwa perusahaan sebesar Telkom, yang motonya Committed 2 U, sangat tidak profesional.
Sudah tiga kali hal ini saya tanyakan hal itu lewat telepon ke Plasa Telkom Purwakarta dan diterima oleh Ibu Titik. Jawaban yang saya dapat adalah, ”Oke Pak, saya akan tanyakan ke bagian jaringan/pemasangan. Kami akan usahakan telepon di rumah bapak sudah bisa dipasang sebelum Lebaran.” Tiga kali saya menanyakan hal itu dan tiga kali jawabannya selalu sama. Bagaimana PT Telkom?
ASEP SUBANDI Perum Dian Anyar Blok CB2 No. 6-7, Ciseureuh, Purwakarta Kota
Etika Pengutipan Tempo
Untuk kedua kalinya Tempo mengutip isi buku saya yang berjudul Janji-janji & Komitmen SBY-JK, Menabur Kata Menanti Bukti yang diterbitkan Media Pressindo. Yang pertama, pada artikel ”Apa Kabar Janji Kampanye” (Tempo, 24-30 Oktober 2005, Edisi Khusus Setahun Pemerintahan SBY-JK). Tempo memang mencantumkan sumber tulisan di bagian akhir artikel. Cuma, pencantuman judulnya tidak lengkap dan terkesan asal tulis.
Pengutipan yang sama terjadi lagi pada Tempo terbaru, 23-29 Oktober 2006, Edisi Khusus 2 Tahun SBY-JK, dalam artikel ”Utang Janji Ayo Ditagih”. Saya khawatir pengutipan dan pencantuman sumber yang tidak lengkap akan terulang lagi pada edisi khusus tahun-tahun berikutnya.
Dari pengamatan saya, banyak media (baik cetak maupun elektronik) yang menjadikan buku itu sebagai referensi, terutama saat membicarakan janji SBY-JK. Sayangnya, hanya sedikit yang mau mencantumkan atau menyebutkan sumber kutipan secara lengkap dan jelas.
Sekadar sopan-santun kepada penulis buku yang dijadikan bahan referensi, pencantuman judul yang lengkap mungkin akan lebih menghargai. Selain itu, juga akan sangat membantu pihak lain yang ingin menjadikan buku tersebut sebagai bahan rujukan atau bahan bacaan.
RUDY S.PONTOH [email protected]
— Terima kasih atas kritik Anda—Red.
Hak Jawab tentang Puputan
Tulisan wartawan Tempo yang mengutip makalah saya, ”Dua Tafsir Puputan”, dalam Tempo edisi 2-8 Oktober 2006: 55-59, perlu didiskusikan lagi. Sebagai teks atau wacana, sebuah makalah memang boleh ditafsirkan dengan berbagai cara. Di lingkungan akademis hal itu sah-sah saja. Lain halnya bagi masyarakat awam, persoalan dan akibatnya bisa berbeda. Apalagi, di Denpasar, peristiwa Perang Badung 1906 masih merupakan isu sensitif.
Makalah saya yang berjudul ”Dua Lembar Dokumen: Perang Badung versus Belanda Tahun 1906” disajikan dalam seminar Dies Natalis ke-44 Universitas Udayana, BKFS ke-25, tanggal 19 September 2006. Pada halaman cover sudah diterangkan, makalah saya adalah sebuah wacana ilmiah untuk mendiskusikan penemuan sumber baru dan pendekatan alternatif dalam pengkajian sejarah Badung secara akademis. Tidak ada maksud memaksakan kehendak bahwa makalah saya sebagai satu-satunya kebenaran. Sebab, tidak ada kemutlakan dalam sebuah tulisan sejarah. Setiap orang boleh menggugat secara akademis asal mampu menunjukkan sumber otentik dan kredibel.
Pada bagian pengantar, saya mengatakan akan menguji pernyataan yang disampaikan oleh I Gusti Putu Manek, juru tulis Raja Badung, kepada seorang cucunya pada 1931. Cucunya itu mengatakan, menurut kakeknya, ”Puputan bukanlah tujuan, bukan pula strategi berperang, melainkan hanya kejadian terakhir apabila tidak ada jalan lain lagi. Tujuan berperang adalah memukul Belanda supaya mereka mundur kembali ke laut.” Saya tertarik, kenapa seorang pelaku sejarah berkata seperti itu.
Lalu, saya mencoba mencari definisi puputan di zaman kolonial. Akhirnya, saya temukan dari H. van Kol yang datang ke Bali pada 1911. Dia mengatakan puputan ialah upaya ”mempersiapkan diri” (untuk mati), dan pesertanya melakukan persembahyangan beberapa malam sebelumnya untuk mempersiapkan diri bagi peralihan ke dalam kehidupan lain dan lebih baik. Jadi, di zaman kolonial, puputan diartikan sebagai sebuah tindakan yang mengarahkan pada fatalisme.
Selama ini para sejarawan memakai teori akal sehat klasik bahwa manusia digerak-kan oleh nilai-nilai dan keyakinan yang mereka anut. Kesimpulan yang diperoleh dari teori itu, Badung memilih puputan karena itulah jalan menuju sorgaloka.
Saya mengatakan, pendapat itu perlu dikritik karena menegaskan raja sudah mengetahui dirinya akan kalah dalam pertempuran. Pendapat mengabaikan aspek-aspek psikologis bahwa raja memiliki jiwa muda dan juga tidak memperhitungkan unsur-unsur esoteris bahwa semua pusaka warisan leluhur atau yang dimilikinya secara pribadi tidak akan mampu melindungi dirinya dan kerajaan Badung dari serangan musuh.
Pendapat itu juga mengesankan Raja Badung sebagai pribadi yang tergesa-gesa dalam mengambil keputusan bahwa tujuan berperang hanya untuk mencapai kepentingan pribadinya masuk surga. Tempo menulis sebagai berikut: ”Itu menunjukkan bahwa Gusti Ngurah, yang saat itu berumur 30 tahun, tidak memiliki kematangan” (hlm. 59). ”I Gusti Ngurah Made Agung adalah pribadi yang tergesa-gesa dalam mengambil keputusan idealistik. Dan bahwa tujuan berperang hanya untuk mencapai ”ambisi pribadinya”: masuk sorgaloka” (hlm. 59).
Pada bagian lain, wartawan Tempo itu mengatakan, ”...I Gusti Alit Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit, yang dalam arsip itu terungkap bahwa mereka menolak perang dan melarikan diri tak mau mematuhi perintah raja” (hlm. 58). Dalam arsip yang saya pakai memang disebutkan mereka melarikan diri, tetapi saya tidak menyimpulkannya sebagai bentuk penolakan perintah Raja Badung. Pada bagian ini, saya sudah memberikan catatan kaki bahwa fakta ini masih sangat lunak, jadi belum bisa dikategorikan sebagai hard fact, fakta keras.
Dalam catatan kaki juga sudah saya katakan bahwa diperlukan pengujian lebih jauh, misalnya membandingkannya dengan arsip-arsip yang bersifat rahasia (geheim) yang fakta-faktanya akan bersifat lebih ’telanjang”, seperti arsip Politiek Verslag van Residentie Bali en Lombok.
Dari perbandingan itu akan dapat diketahui apakah kedua kerabat Raja Badung itu berada dalam tekanan fisik maupun mental sehingga berbicara sesuai dengan skenario yang sudah dibuat sebelumnya dan sebagainya. Pertanyaan itu pantas diajukan karena substansinya jauh berbeda dengan hasil penelitian para peneliti sebelumnya yang memakai sumber lisan, bahwa atas inisiatif rakyat di luar pengetahuan raja, putra mahkota Raja Badung diungsikan ke arah barat (Desa Kerobokan).
Wartawan Tempo juga menulis: ”Nyoman Wijaya berkukuh bahwa apa yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Made Agung, 100 tahun lampau itu, sama sekali bukan suatu heroisme” (hlm. 59). Saya tidak memakai satu kali pun kata heroisme dalam makalah saya.
Pada bagian penutup saya mengatakan bahwa demi penghormatan kepada pelaku sejarah, sudah saatnya semua pihak sebaiknya mendengarkan penjelasan atau pembelaan I Gusti Putu Manek bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah puputan. Istilah perang jauh lebih mulia dan historis daripada istilah puputan. Puputan adalah konsep yang muncul setelah peristiwa, suatu penamaan yang diberikan oleh saksi sejarah. Setidaknya, hal itu dapat dilihat dari adanya perbedaan antara makna kata puputan sebagai perang habis-habisan dan makna leksikal yang artinya bagian akhir.
Pada bagian lain, wartawan Tempo menulis: ”Masih banyak mitos Puputan yang perlu dibongkar, jangan sampai menjadi mitos berlebihan” (hlm. 59). Dalam makalah, saya hanya memakai kata mitos untuk kalimat sebagai berikut: ”Semoga buku yang diluncurkan hari ini, Naskah-naskah Karya I Gusti Ngurah Made Agung, Pimpinan Perang Puputan Badung 1906, yang ditransliterasi dan diterjemahkan oleh Profesor Weda Kusuma, mampu menjawab persoalan itu, bukan sebaliknya mempertebal mitos persoalan yang diajukan.”
Kesalahan bisa saja terjadi sebagai akibat dari rasa keterkejutan peserta seminar atas penemuan saya. Sebelumnya, semua orang yakin yang terjadi 100 tahun yang lalu adalah puputan. Tapi, saya membongkarnya dengan mengatakan itu bukan puputan, melainkan perang.
NYOMAN WIJAYA Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana Jalan Nias Nomor 13, Denpasar-Bali
— Terima kasih atas masukan Anda—Red.
Paket Lewat PCP Tidak Aman
Pada 25 Oktober 2006, Saudara saya di Semarang mengirim paket lewat PCP (Priority Cargo & Package) dengan No. Resi: 2261820. Sesampainya paket di PCP Palu, ternyata paket telah dibongkar. Lalu, paket dikembalikan ke PCP Semarang. Saya pun disuruh menunggu keputusan dari PCP Pusat.
Saya berinisiatif menghubungi PCP Semarang, Surabaya, dan Palu untuk mencari tahu jalur pengiriman paket. Diketahui, paket dibongkar di PCP Surabaya. Awalnya, mereka mengelak dengan mengatakan oknum bandara yang melakukan tindakan tersebut. Nyatanya, paket saya yang bergabung dengan paket-paket lainnya di dalam dos/karung dalam keadaan utuh/tidak terobek dan segel pengaman dari PCP juga tidak rusak.
Bila oknum bandara yang melakukan, maka pihak PCP Surabaya pasti akan mengklaim ke pihak bandara. Dalam hal ini terbukti tidak ada klaim. Sementara itu, PCP Semarang dan Palu mengaku paket-paket melalui PCP Surabaya sering hilang atau dibuka.
Mohon PCP Pusat dapat meninjau kinerja PCP Surabaya dan menindak tegas serta memberi sanksi kepada oknum perusahaan yang menangani paket saya, sebab semua kiriman tercantum di manifest dan ditandatangani petugas.
Hal ini perlu untuk memberikan efek jera kepada oknum yang bersangkutan serta untuk meningkatkan pelayanan di kemudian hari agar konsumen merasa nyaman dan tenang. Jangan hanya memberikan solusi penggantian beberapa kali dari biaya ongkos kirim yang selama ini diterapkan, dan konsumen yang selalu menanggung risiko.
Beberapa hari ini, saya mengirim pesan singkat ke PCP Semarang dan Surabaya, namun tak ada balasan. Apakah karena kejadian ini sering terjadi (sesuai dengan info yang saya terima) sehingga sudah dianggap biasa? Mohon tanggapan.
HENDRO WUNAWAN Alamat ada pada Redaksi
Jakarta Menjelang Banjir
Saat ini kita hampir memasuki musim penghujan. Dan seperti biasanya sebagai warga Jakarta—terutama yang tinggal di daerah langganan banjir—sudah siap-siap ”menyambut” datangnya banjir.
Tapi mengapa kita tak pernah sadar bahwa banjir adalah akibat dari suatu sebab. Banjir tak pernah datang dengan sendirinya. Banjir adalah jelas perbuatan manusia. Dan perilaku warga yang paling nyata mengundang banjir adalah jorok! Tengok saja sungai, saluran dan got-got di seputaran Jakarta semua dijejali sampah. Ya, sampah, sampah dan sampah di mana-mana. Jadi wajar saja kalau Tuhan mengirimkan banjir bagi warga Jakarta yang jorok.
Syamsuri Cinere, Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo