Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Vaksin Campak Formula Soegeng 

Di zaman Orde Baru, seorang dokter asal Mojokerto, Jawa Timur, menemukan formula vaksin campak.

7 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Di era Soeharto, ada seorang dokter yang menemukan formula vaksin campak.

  • Menurut hasil penelitian dia, imunisasi dini dengan vaksin campak jenis Schwarz yang dicampur dengan vaksin difteri-pertusis-tetanus (DPT) bisa menekan angka penderita penyakit campak.

  • Dengan metode Soegeng, yakni vaksinasi campak DPT diberikan pada bayi berusia empat bulan, hasilnya cukup baik.

UJI klinis vaksin Merah Putih terhadap manusia bakal digelar pada September 2021. Sebelum diuji ke manusia, vaksin Covid-19 buatan Universitas Airlangga, Surabaya, itu diujikan terhadap delapan monyet. Pengembangan vaksin lokal ini mengingatkan kita pada temuan vaksin campak di awal 1990-an.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di era Presiden Soeharto, upaya membuat vaksin untuk menekan penyakit campak pernah dilakukan Soegeng Soegijanto. Artikel majalah Tempo edisi 29 Agustus 1992 berjudul “Vaksinasi Model Soegeng” mengulas bagaimana dokter ini menemukan formula dalam pembuatan vaksin itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam formula itu, imunisasi dini dengan vaksin campak Schwarz yang dicampur dengan vaksin difteri-pertusis-tetanus (DPT) bisa menekan angka penderita penyakit campak. Cara ini juga ternyata bisa meningkatkan cakupan imunisasi. Soegeng mendapatkan kesimpulan ini setelah melakukan penelitian di Surabaya terhadap 348 bayi berumur 4 bulan yang diberi campuran vaksin campak DPT.

Penelitian yang terangkum dalam disertasi berjudul “Imunisasi Vaksin Campak DPT: Suatu Upaya Peningkatan Cakupan Imunisasi dan Penurunan Angka Kesakitan Penyakit Campak” ini dipertahankan Soegeng, 51 tahun, di depan sidang senat terbuka Fakultas Pascasarjana Universitas Airlangga, 15 Agustus 1992.

Pria kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, ini, yang dalam penelitian dibantu oleh Profesor Gde Ranuh dan Profesor F.X Budianto Suadi, dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Di Indonesia, penyakit campak masih menduduki peringkat kedua sebagai penyebab kematian dalam kelompok penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Data Departemen Kesehatan menunjukkan pada 1987 jumlah bayi yang telah mendapat imunisasi campak baru mencapai rata-rata 52,5%, jauh di bawah target pemerintah yang sebesar 80%. Selain dipicu masalah lokasi yang sulit dijangkau pelayanan kesehatan, menurut Soegeng, rendahnya angka itu tidak terlepas dari peran ibu. “Ketika bayi berusia 9 bulan, biasanya si ibu sudah direpotkan lagi dengan pekerjaan rutinnya,” kata Soegeng.  

Agaknya, target pemerintah itu tidak sulit dicapai bila imunisasi campak dilakukan bersamaan dengan pemberian DPT III, yaitu saat bayi berusia 4 bulan. Hasil penelitian Soegeng menunjukkan tingkat kepatuhan ibu untuk membawa bayinya ke pusat kesehatan masyarakat terdekat ternyata lebih tinggi saat bayi berumur 5 bulan (96%) dibanding ketika umur bayi 9 bulan (66%).

Di samping itu, imunisasi campak dengan vaksin Schwarz saat bayi berusia 9 bulan, seperti program pemerintah selama ini, ternyata kurang melindungi bayi terhadap ancaman penyakit campak. Sebab, menurut Soegeng, pada usia tersebut, antibodi maternal dalam tubuh bayi sudah mencapai titik terendah. Bahkan penelitian di Jawa Tengah menemukan antibodi maternal sudah habis saat bayi berumur 6-8 bulan.

Hasil penting lain dari penelitian Soegeng adalah vaksin campak DPT ternyata memberikan daya perlindungan yang lebih besar daripada imunisasi dengan vaksin Schwarz. Menurut Soegeng, kekebalan tambahan itu disebabkan oleh adjuvan DPT. Adjuvan (bahan yang ditambahkan pada vaksin) akan menstimulasi respons imun humoral yang ditimbulkan oleh virus campak.

Temuan Soegeng ini sebenarnya merupakan penyempurnaan metode yang sudah dilakukan oleh India, Bangladesh, dan negara di Afrika. Di negara-negara itu, vaksinasi dengan campak DPT sudah dilakukan sejak 1988. Sayangnya, karena diberikan kepada bayi berusia 15 bulan, hasilnya kurang menggembirakan. 

Dengan metode Soegeng, yakni vaksin campak DPT diberikan kepada bayi berusia 4 bulan, hasil yang didapatkan cukup baik. Meskipun manjur, pemberian vaksin campak DPT harus ekstrahati-hati. Vaksin ini harus diberikan dalam tempo satu jam setelah vaksin campak dicampurkan dengan DPT. “Lebih dari jangka waktu tersebut, vaksin campak DPT harus dibuang,” ucap Soegeng.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Erwan Hermawan

Erwan Hermawan

Menjadi jurnalis di Tempo sejak 2013. Kini bertugas di Desk investigasi majalah Tempo dan meliput isu korupsi lingkungan, pangan, hingga tambang. Fellow beberapa program liputan, termasuk Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Lulusan IPB University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus