Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Memadukan Barat dan Timur

Meski tidak semua metode pengobatan tradisional diakui secara medis, sejumlah rumah sakit di Indonesia mulai memadukannya dengan pengobatan modern.

18 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Memadukan Barat dan Timur/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bahan obat tradisional tiba-tiba menjadi populer di tengah wabah Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19

  • Masyarakat Indonesia sudah lama mengenal pengobatan tradisional

  • Sejumlah rumah sakit mulai memadukan pengobatan tradisional dan modern

RAMUAN dan bahan obat tradisional tiba-tiba populer di tengah wabah Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Banyak orang berburu jahe, kunyit, temu lawak, hingga madu. Bahan-bahan tersebut memang bisa meningkatkan stamina dan imunitas tubuh sehingga tidak mudah terinfeksi virus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masyarakat Indonesia ataupun negara-negara lain di Asia sudah lama akrab dengan jamu. Dunia pengobatan medis modern mengenalnya sebagai pengobatan tradisional. Meski tidak semua metode pengobatan tradisional diakui secara medis, sejumlah rumah sakit di Indonesia sudah mulai memadukannya dengan pengobatan modern. Majalah Tempo edisi 18 Februari 2008 menulis artikel berjudul “Memajukan Barat dan Timur” yang mengulas hal tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua lembar kertas dibawa Yanto saat keluar dari ruang konsultasi dokter pada awal Februari 2008. Selembar kertas berupa resep obat dari dokter yang harus dia tebus di apotek. Satu lagi sepotong kertas kecil penuh dengan coretan tulisan tangan. Isi tulisan: satu buah biji alpukat dipotong-potong, dikeringkan, direbus, diminum airnya. “Ini dari dokter, katanya bagus buat kencing manis,” ucapnya.

Lho, dokter kok memberikan obat tradisional? Jangan curiga dulu. Ini memang ciri khas pusat kesehatan masyarakat di Kelurahan Sunter Agung Dua, Jakarta Utara. Puskesmas yang berada di tengah-tengah perumahan mewah itu menawarkan pilihan terapi pengobatan dengan ramuan tradisional—selain terapi dokter. Di sekeliling gedung puskesmas bertingkat tiga itu tumbuh aneka ragam tanaman obat. Sejak empat tahun lalu, puskesmas ini menjadi proyek percontohan pengembangan tanaman herbal.

Setiawan Dalimartha, dokter puskesmas yang getol berbagi pengetahuan tentang ramuan obat herbal, mengatakan penggunaan pengobatan ala Timur ini tidak bertujuan menggantikan posisi pengobatan Barat, tapi untuk pelengkap saja. “Ada pasien yang tidak bisa lagi minum obat karena muncul komplikasi. Kita tawarkan ramuan herbal yang sesuai dengan penyakitnya,” ujarnya. Setiawan yakin kombinasi pengobatan yang saling melengkapi penting diterapkan karena tiap ilmu—pengobatan ala Barat dan Timur—punya keterbatasan.

Penggunaan ramuan tradisional memang tak bisa diidentikkan dengan kemunduran atau kembali ke masa lalu. Fenomena ini malah bisa dilihat sebagai terbukanya pandangan kedokteran Barat terhadap hal yang selama ini mereka anggap “tradisional” dan tidak ilmiah.

Di sejumlah negara maju, ilmu kedokteran Timur, terutama herbal dan akupunktur, telah berkembang sangat maju. Ilmu ini sudah diakui dalam sistem pelayanan kesehatan modern. Dokternya pun ada. Berbagai uji klinis dan penelitian ilmiah kerap dilakukan untuk mengembangkan teknik pengobatan ala Timur ini. Dalam penerapannya, teknik pengobatan Timur kerap terintegrasi dengan kedokteran Barat.

Di Indonesia, sejumlah rumah sakit sudah menerapkan hal serupa. Sebut saja Rumah Sakit Dharmais dan Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan di Jakarta, Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo di Surabaya, serta Rumah Sakit Kandou di Sulawesi Utara. Meski begitu, tidak banyak rumah sakit yang mampu melakukannya.

Menurut Setiawan, salah satu penyebab kurang berkembanganya pengobatan ala Timur di Indonesia adalah sedikitnya dokter yang tertarik mempelajari bidang ini. Yang berkembang hingga saat ini kebanyakan pusat pengobatan alternatif yang menawarkan berbagai metode dan obat. Praktek dukun juga marak.

Akibatnya, pengobatan jenis alternatif ini kurang mendapat kontrol medis yang benar. Meskipun ada ahli pengobatan yang memiliki terapi cespleng, banyak juga yang tidak memahami anatomi tubuh manusia. “Mereka membuat ramuan cuma berdasarkan kira-kira, tidak ada tolok ukur jelas, tapi klaimnya berlebihan, bisa mengobati segala macam penyakit,” kata Setiawan.

Nah, memasukkan berbagai terapi pengobatan Timur ke layanan rumah sakit adalah salah satu cara mengimbangi praktek pengobatan alternatif yang berserakan. Masyarakat jadi punya pilihan: setelah berobat ke dokter, dapat memilih pengobatan tradisional.

Untuk mendorong minat dokter mendalami pengobatan Timur, rencananya segera dirintis kerja sama antara Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, dan Beijing University of Chinese Medicine. “Nota kesepahaman diharapkan bisa ditandatangani pada Maret ini,” ujar Hardhi Pranata, dokter spesialis saraf yang juga mendalami pengobatan Timur.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus