Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA sudah babak-belur akibat pandemi Covid-19. Pemerintah sebaiknya tidak menambah masalah dengan manajemen pangan yang amburadul. Tambahan lagi, ketidakpastian masa pandemi membuat siapa pun sulit menghitung dampaknya pada kehidupan dan perekonomian. Bersiaga dan menjaga pasokan bahan pangan menjadi pilihan terbaik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Pangan Dunia (FAO) sudah mengingatkan bahwa pandemi corona telah melumpuhkan berbagai sektor perekonomian sehingga bisa memicu terjadinya krisis pangan di berbagai negara pada April-Mei ini. Pada saat seperti itu, pasar pangan dunia akan makin ketat. Karena itu, pemerintah harus betul-betul lihai mengatur pasokan dan distribusi pangan di dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelangkaan gula pasir belakangan ini menjadi pengalaman pahit. September 2019, pemerintah sudah memprediksi stok gula akan menipis pada awal 2020 karena masa tanam tebu mundur akibat kemarau panjang. Pemerintah pun mengizinkan impor gula mentah sebesar 521 ribu ton. Yang terjadi adalah persetujuan impor baru keluar dari Kementerian Perdagangan pada minggu ketiga Maret, ketika harga gula sudah melonjak hampir 50 persen.
Situasinya makin parah karena pasokan gula di pasar global menipis dan malah terjadi defisit. Akibatnya, harga gula dunia rata-rata naik 12 persen di awal 2020, tertinggi dalam satu dekade terakhir. Maka, kalaupun nanti gula impor sudah masuk, tidak ada jaminan harga gula pasir akan turun hingga ke level harga eceran tertinggi Rp 12.500 per kilogram.
Inilah harga yang harus dibayar mahal akibat Kementerian Perdagangan teledor dalam melihat pasar gula konsumsi. Semestinya situasi dalam perdagangan gula tersebut menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk mengatur pasar komoditas lain, terutama beras. Memang, Indonesia memang masih beruntung karena stok beras mencukupi. Suplai beras membanjir karena pada April ini sejumlah daerah sentra tengah panen raya.
Sampai Agustus nanti, pemerintah memperkirakan akan ada tambahan produksi sekitar 19,8 juta ton beras. Diperkirakan, pasokan beras akan cukup sampai akhir tahun. Namun pemerintah juga mesti berhitung jika kemarau panjang terjadi lagi: produksi beras bisa susut dari produksi tahun lalu, yang mencapai 31,3 juta ton. Produksi beras Indonesia pada 2019 itu pun turun hampir 8 persen dibanding tahun sebelumnya.
Dengan produksi 31,3 juta ton, stok yang dibawa ke 2020 juga makin tipis, yakni hanya 1,7 juta ton, 400 ribu ton lebih rendah dibanding akhir 2019. Repotnya, pasar beras dunia juga sangat tipis. Dari total produksi beras dunia, hanya 5 persen beras yang diperdagangkan di pasar internasional. Departemen Pertanian Amerika Serikat juga sudah merevisi perkiraan produksi beras dunia pada 2019-2020, dari 499,1 juta turun menjadi 496,1 juta ton.
Karena itu, pemerintah harus menghitung betul produksi dan stok yang tersedia, termasuk siklus panen dan cuaca. Jangan sampai kecolongan seperti dalam kasus gula. Celakanya, kelangkaan bahan pangan, terutama gula dan beras, akibat manajemen pangan yang lemah tersebut, sering ditunggangi para pemburu rente impor. Mereka memanfaatkan sistem kuota untuk mempermainkan pasokan bahan pangan. Meskipun misalnya keran impor dibuka lebar, pasokan di pasar domestik tetap langka dan harganya melambung.
Persoalan yang mirip terjadi pada pasokan ayam dan daging. Saat ini, pasokan kedua komoditas itu terhitung melimpah. Tapi ujian bagi pemerintah bukan hanya Covid-19, melainkan juga Lebaran. Biasanya, selama Ramadan dan Lebaran, harga kedua komoditas ini menanjak naik, seolah-olah tak ada kaitannya dengan pasokan yang berlebih. Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah sebaiknya tak memberikan ruang secuil pun kepada para pemburu rente itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo