Kami sekeluarga adalah penghuni/penyewa sah atas rumah di atas tanah seluas 200 m di Jalan K.H. Wahid Hasyim 150 A, Jakarta, sejak tahun 1938. Rumah itu sempat kami perbaiki pada 1965. Pada 12 April 1977, pemilik baru rumah tersebut mengajukan permohonan pemutusan hubungan sewa-menyewa ke Dinas Perumahan DKI Jakarta. Permohonan itu, pada 1979, dikabulkan Dinas Perumahan dan Gubernur DKI. Sebagai uang pesangon pindah, disebutkan sebesar Rp 6,5 juta. Sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial No. 11/1977, jumlah pesangon itu jelas tak wajar. Sebab, dalam peraturan itu disebutkan bahwa besar pesangon adalah 40% sampai 50% dari nilai rumah, yang kini diperkirakan bernilai Rp 600 juta (Rp 3 juta per m2 ). Sebelum keputusan Gubernur DKI tadi dieksekusi, keluar peraturan baru tentang sewa-menyewa, yakni PP No. 55/1981. Berikutnya, pada 1982, keluar SKB Menteri Sosial dan Menteri Dalam Negeri, yang memperkuat PP tadi. Berdasarkan kedua peraturan ini, pada 28 September 1990 kami mengajukan permohonan penyelesaian masalah sewa-menyewa rumah kami ke Mensos dan Mendagri. Namun, permohonan kami itu tak pernah ditanggapi. Belakangan, 27 Juli 1990, kami mengetahui, Depsos dan Depdagri ternyata malah hanya memperhatikan dan mengabulkan permohonan dari pemilik rumah. Hal itu jelas tidak adil dan sangat merugikan kami. Sebab, selaku penghuni sah, kami tak pernah dipanggil atau dimintai keberatannya. Selain itu dalam keputusannya itu, Depsos dan Depdagri menyatakan bahwa kami tak mengajukan kasasi. Padahal, kami mengajukan kasasi atas kasus tersebut. Lebih dari itu, pada 30 Januari 1990, ternyata Dinas Perumahan mengosongkan rumah kami secara paksa. Padahal, selain permohonan kami belum diselesaikan Depsos dan Depdagri, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lewat keputusan sela tanggal 8 Mei 1979 juga melarang Dinas Perumahan untuk mengosongkan rumah tersebut. Dengan begitu, jelaslah, baik Dinas Perumahan, Depsos, maupun Depdagri tak mengindahkan peraturan yang justru mereka buat sendiri. JULIANITA KILAWANG Jalan K.H. Wahid Hasyim 150 A Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini