Saya, pemegang saham PT Banjartara, mengalami perlakuan yang tak menyenangkan dari Notaris Amrul Partomuan Pohan, akibat dari penyalahgunaan surat kuasa oleh kakak kandung saya.
Saya dan keluarga mendirikan perusahaan PT Banjartara dengan komposisi saham 20 persen milik saya, ayah saya Mr. Elkana Tobing pemegang saham 40 persen. Pada 15 Oktober 1983 Ayah membuat surat wasiat yang menyatakan, jika beliau wafat, saya akan mendapatkan saham perseroan 10 persen. Setahun kemudian, ayah saya wafat dan wasiat tersebut dilaksanakan, sehingga saya memiliki saham 30 persen di perseroan.
Karena banyak kesibukan, saya menyerahkan pengelolaan perseroan ke kakak saya, Adam Lumban Tobing. Saya memberikan kuasa kepada pegawai/stafnya dan atau kepadanya. Kuasa itu saya berikan khusus untuk melakukan rapat umum pemegang saham (RUPS), penggantian direksi dan komisaris perseroan, serta melakukan RUPS tahunan.
Dan saya tidak pernah merasa memberikan kepadanya/stafnya, kuasa untuk mengalihkan/menjual saham saya kepada perseroan atau pihak lain. Sayang sekali, kakak kandung saya menyalahgunakan kuasa saya.
Sekitar tahun 1987, perseroan mendirikan perusahaan patungan dengan pihak asing (PMA) dengan nama PT Eastara Melawi Mineral. Di perusahaan itu, komposisi sahamnya, perseroan 15 persen dan pihak asing 85 persen.
Menurut keterangan kakak saya (1998), saham perseroan di perusahaan PMA itu akan dibeli oleh PT Austindo (Austindo Group) yang berbadan hukum Indonesia (Austindo Indonesia).
Karena sudah lebih dari satu tahun, November 1999, saya menulis surat ke kakak saya beberapa kali, menanyakan realisasi penjualan saham, tapi tidak pernah ada jawaban. Karena itu, pada 24 November 1999, saya mengirim surat ke direksi dan pemegang saham Austindo Mining Corporation di Australia, tapi sampai 1 Desember 1999 tidak ada jawaban.
Selanjutnya, 3 Desember 1999, saya mengutus pengacara saya untuk menanyakan apakah transaksi penjualan saham perseroan yang katanya dilakukan dalam dua tahap sudah terlaksana atau belum. Rupanya, tranksaksi itu, menurut salah seorang direksi Austindo, telah dilaksanakan di hadapan Notaris Amrul Partomuan Pohan senilai US$ 299.000.
Saya bertambah kaget mendapatkan penjelasan bahwa saya sudah memberikan kuasa kepada Ir. Umar Olii. Padahal, saya tak pernah melakukannya. Karena itulah, saya kemudian menulis surat ke Notaris Amrul Partomuan Pohan, meminta agar ia memperlihatkan akta dan kuasa asli kepada saya.
Anehnya lagi, dari hasil transaksi itu, saya tak pernah menerima satu rupiah pun, apalagi pertanggungjawaban dari kuasa saya, seperti diatur dalam Pasal 1802 KUH Perdata.
Saya juga terkejut dengan perubahan anggaran dasar perseroan yang diumumkan dalam Berita Negara Nomor 78, Tambahan Nomor 6206, tertanggal 28 September 1999, yang menyatakan saham saya bukan 30 persen tapi 7 persen.
Kemudian, saya menulis surat lagi ke Amrul, 13 Desember 1999, yang isinya sama dengan surat sebelumnya. Jawabannya, saya disuruh meminta penetapan hakim untuk mendapatkan salinan dari akta jual beli/pengalihan tersebut. Padahal, menurut Pasal 40 dan 41 Peraturan Jabatan Notaris, saya merasa berhak mendapatkan salinan dari akta-akta jual beli/pengalihan tersebut, karena saya adalah pihak yang langsung berkepentingan dengan kuasa yang saya berikan.
Apalagi, menurut Pasal 88 UU No. 1/1995 tentang Perseroan Terbatas (PT), setiap penjualan dan pengalihan sebagian besar aset perseroan haruslah mendapatkan persetujuan RUPS dan diumumkan dalam dua buah surat kabar.
Akhirnya, saya jadi prihatin dengan transaksi di hadapan seorang notaris, menggunakan kuasa yang dipalsukan/disalahgunakan. Sedangkan notaris bersangkutan, dengan berbagai alasan, tidak mau memperlihatkan kuasa yang dipalsukan/disalahgunakan tersebut kepada pemberi kuasa.
Dr. H.M. RIDHWAN INDRA R.A., S.H.
Bekasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini