Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ESENSI kekuasaan dalam empat kali amendemen Undang-Undang Dasar 1945 masih menempatkan presiden sebagai kekuatan yang memiliki kekuasaan besar untuk menggerakkan semua sumber daya secara struktural. Jabatan presiden masih memegang posisi sentral dalam sistem kekuasaan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan rangkap jabatan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai kepala pemerintahan, presiden memiliki kekuasaan dan kewenangan tertinggi dalam manajemen pemerintahan negara. Sebagai kepala negara, ia memiliki peran dan berpengaruh besar dalam melakukan intervensi politik. Secara konstitusional, presiden sebagai kepala negara justru berada di atas semua lembaga tinggi negara. Di sini efek penyalahgunaan kekuasaan alias abuse of power bisa terjadi. Maka penguatan peran oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat sebagai sarana kontrol checks and balances bagi kekuasaan eksekutif sungguh diperlukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintahan tanpa oposisi yang kuat sama saja dengan memberikan karpet merah kepada lembaga eksekutif untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan secara serampangan. Revisi konstitusi, yang awalnya bertujuan mereduksi kekuasaan presiden agar tak mengulang sistem otoritarianisme dan diktator di era Soeharto (1966-1998), ternyata tetap bisa disiasati kubu eksekutif dengan mengkooptasi lembaga parlemen.
Secara eksistensi, oposisi mungkin saja ada. Namun, secara kuantitas, oposisi tak memiliki kekuatan signifikan untuk menekan bahkan mengontrol tindakan presiden secara legal-administratif. Model penyelesaian deadlock di DPR dengan sistem voting menempatkan partai atau koalisi oposisi di DPR kalah dalam jumlah suara (minoritas).
Mengkritik kebijakan pemerintah adalah sebuah tindakan mulia demi tetap menjaga arah, perilaku, strategi, visi, dan misi pemerintah di jalur yang baik dan benar untuk perbaikan juga kebaikan masa depan bangsa dan negara Indonesia.
Tugas, peran, fungsi, dan tanggung jawab dalam setiap lini politik memiliki tujuan yang sama, yaitu menjadikan Indonesia dengan segenap sumber daya manusia dan sumber daya alamnya lebih baik, sejahtera, dan maju di masa mendatang.
Yosminaldi Nur
Bekasi, Jawa Barat
Belajar dari Peru
ADA kemiripan dalam situasi yang terjadi di Indonesia dan Peru. Di Peru, awalnya Alberto Fujimori terpilih menjadi presiden secara demokratis. Tapi ia mengembangkan pemerintahan diktator yang didukung kepala intelijen yang kuat. Penyadapan dan penyuapan ia kendalikan dan lakukan sebagai alat penekan. Saat Fujimori jatuh, terbongkar betapa berbagai lembaga dengan pejabatnya sudah masuk ke jaringan suap.
Mereka yang masih berpikir waras di negeri ini tidak khawatir situasi yang terjadi di Peru juga berlaku di Indonesia. Mungkin para pelaku politik tidak pernah membaca ungkapan bijak seorang politikus kontroversial Inggris: “All political careers end in failure”. Ada saatnya pelaku politik berakhir dengan kegagalan. Ada pula istilah yang dikenal di Amerika Serikat, yaitu the second term curse, kutukan masa pemerintahan kedua.
Fujimori berhasil pada masa pemerintahan pertama, menyelesaikan berbagai masalah rumit di negerinya. Namun dia gagal dengan merebaknya hal yang disebutkan dalam awal tulisan ini. Hanya dua Presiden Amerika Serikat yang tetap mempertahankan popularitas serta dukungan terhadap kebijakannya saat masa pemerintahan kedua: Ronald Reagan dan Bill Clinton.
Belajar dari Peru setelah kejatuhan Fujimori, saat pemisahan kewenangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif membaik, kakak laki-laki Presiden Peru Dina Boluarte, Nicanor Boluarte, ditangkap karena terlibat dalam jejaring korupsi. Perjalanan waktu akan membuktikan apakah Indonesia akan mirip seperti Peru. Semoga tidak.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta