Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH Ika Natassa semringah ketika dia menceritakan kelahiran film The Architecture of Love (TAOL) yang diadaptasi dari novelnya dengan judul sama. Film arahan sutradara Teddy Soeriaatmadja yang dirilis pada 30 April 2024 itu mengangkat tema percintaan antara penulis novel dan arsitek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski sudah tiga kali terlibat dalam ekranisasi—proses adaptasi novel ke film—Ika mengaku rasanya seperti jatuh cinta keempat kalinya. “Justru makin excited karena sudah banyak yang kupelajari dari adaptasi pertama, kedua, ketiga,” kata Ika kepada Tempo, Kamis, 9 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum TAOL, ada tiga novel karya perempuan 46 tahun itu yang diangkat ke layar lebar, yakni Critical Eleven, Antologi Rasa, dan Twivortiare. Salah satu yang membedakan penggarapan TAOL dengan karya-karya sebelumnya adalah Ika lebih berpengalaman dalam menjalani proses ekranisasi.
Saat bersepakat dengan Chand Parwez Servia, produser Starvision (rumah produksi TAOL), Ika sudah langsung membicarakan detail dan hal teknis. Misalnya adegan-adegan mana saja yang harus direkam di New York, Amerika Serikat, dan para pemainnya.
Ika menuturkan, perjalanan TAOL diangkat ke layar lebar cukup panjang. Kesepakatan dan pembahasan hal teknis berlangsung sejak 2019. Lalu pada 2020 Ika mulai menyiapkan naskah dan mengumumkan aktris Putri Marino sebagai Raia, tokoh utama.
Syuting sudah dijadwalkan pada musim gugur 2020 di New York. Namun pandemi Covid-19 menggagalkan rencana tersebut. “Kita waktu itu sama sekali enggak ada yang punya wangsit berapa lama pandemi ini akan terjadi,” ujarnya.
Walau begitu, Ika bersama Parwez dan Alim Sudio tetap menyempurnakan naskah TAOL. Mereka menyimpan harapan bahwa pandemi akan usai dan film tersebut dapat dikerjakan.
Pada 2022, naskah film TAOL sudah matang. Situasi pagebluk saat itu sudah mulai reda sehingga tim memutuskan memulai syuting pada 2023.
Naskah film TAOL sebelumnya ditulis sendiri oleh Alim. Namun Ika memutuskan ikut menggarap lantaran ada beberapa adegan yang ia rasa memerlukan sentuhan yang mirip dengan novelnya.
"Dialognya juga supaya karakternya tetap terasa seperti River dan Raia yang dikenal pembaca. Jadi kami kolaborasi nulis bareng," ucap finalis Fun Fearless Female majalah Cosmopolitan Indonesia itu.
Ika menulis naskah film dari Medan, sementara Alim di Jakarta. Cara kerja mereka seperti kerja kelompok. Alim menulis draf I, lalu memberikannya kepada Ika. Kemudian Ika lanjut menulis draf II dan menyerahkannya kepada Alim. Ika mengaku tidak pernah rapat bersama. Koordinasi hanya dilakukan melalui pesan WhatsApp dan panggilan telepon.
Gala premiere film the architecture of love, 25 april 2024. Dok. Ika Natassa
Selain ikut merancang naskah, Ika terlibat dalam pemilihan pemain film TAOL. Nama Putri Marino, menurut Ika, sejak awal disepakati bersama Parwez. Kebetulan Putri sudah lama membaca novel TAOL.
Rupanya, Putri juga pernah menulis "I am Raia" pada salah satu halaman novel tersebut. “Dia sudah manifesting bahwa dia adalah Raia," tutur Ika. “Jadi, ketika ditawari peran Raia, Putri langsung menerimanya.”
Sebagai pemeran tokoh River, aktor Nicholas Saputra selalu ada dalam bayangan Ika. Ia lantas berkenalan dan berbincang secara pribadi dengan aktor 40 tahun itu. Bahkan Teddy Soeriaatmadja juga melakukan pendekatan dan meminta masukan dari Nicholas sebagai alumnus jurusan arsitektur. "Dan akhirnya berjodoh. Dia (Nicholas) yes jadi River."
Tim produksi selanjutnya mengundang beberapa aktor dan aktris untuk mengikuti audisi sebagai pemain pendukung. Lewat rekaman, Ika turut menyaksikan kemampuan akting mereka.
Pemilihan para pemain pendukung ini tak kalah pelik. Ika mengungkapkan, pembahasannya cukup detail. Selain memiliki kemampuan akting, pemain pendukung harus mempunyai chemistry dengan pemeran utama.
Untuk peran Erin (sahabat Raia), misalnya, Ika memilih Jihane Almira Chedid karena ia terlihat bold dan centil dengan kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni. Hal ini penting untuk meyakinkan sosok Erin yang sudah lama tinggal di New York.
Akan halnya untuk sosok Aga, Ika sejak awal kecantol Jerome Kurnia. "Dari video-video yang aku lihat, Jerome Kurnia dahsyat banget. Adegannya cuma santai, enggak mikir, effortless, tapi aku langsung, 'Aku sih Jerome'," ujarnya. Ika juga menilai pemeran dalam film Penyalin Cahaya itu cocok menjadi adik Nicholas Saputra.
Bukan hanya filmnya, novel TAOL juga menjadi karya yang spesial buat Ika. Proses penulisannya lain dengan novel-novel sebelumnya. TAOL, Ika menambahkan, berawal dari proyek kerja sama dengan Twitter Indonesia (kini bernama X).
Pada November 2015, Ika diminta Twitter membuat cerita bersambung dengan memanfaatkan fitur polling yang baru diluncurkan media sosial tersebut. Padahal saat itu Ika baru saja menyelesaikan novel Critical Eleven yang cukup menguras emosinya. Apalagi ia juga tengah disibukkan dengan pekerjaannya sebagai bankir.
Ika menyanggupi permintaan itu karena ingin menantang dirinya. Ika mengungkapkan, ketika menulis novel, dia tidak pernah memakai outline. Ceritanya dibuat hanya berdasarkan karakter dan permasalahan hidupnya. Adapun bila menulis cerita bersambung, ia harus membuat cerita yang terstruktur.
Sepekan lamanya Ika mencari ide dan melakukan riset. Akhirnya ia memutuskan membuat cerita tentang penulis yang gagal dalam hidup dan tak bisa menulis lagi karena kehilangan inspirasi. Ceritanya mengambil latar kota favorit Ika, yakni New York. Dalam waktu sepekan, Ika berhasil membuat satu bab cerita.
Penggarapan cerita bersambung itu dimulai pada Desember 2015 dan selesai pada Februari 2016, tepatnya pada Hari Kasih Sayang. Proyek bernama Poll Story itu menghasilkan buku pertama di dunia yang ditulis menggunakan fitur polling. Proyek tersebut, menurut Ika, bisa dibilang sukses karena meraih 15 juta impresi dan puluhan ribu pengguna ikut memberi vote untuk alur ceritanya.
Capaian itu sekaligus membuktikan bahwa media sosial bisa menjadi tempat berkarya bagi para penulis. Sebab, Ika menjelaskan, ada pendapat bahwa media sosial merupakan musuh literasi karena lebih banyak orang memilih mengakses konten di dalamnya daripada membaca buku.
Kesuksesan TAOL berlanjut saat perilisannya sebagai novel dalam acara Makassar International Writers Festival 2016. Ika menuturkan, sebelum buku itu resmi dirilis, antrean pengunjung mengular.
"Jadi waktu lahir saja sudah dirayakan dengan gegap gempita," ucapnya. Tak lama setelah TAOL dirilis, Ika diajak salah satu rumah produksi memfilmkannya.
•••
LAHIR di Medan, Sumatera Utara, 25 Desember 1977, Ika Natassa sejak kecil gemar menulis cerita di selembar kertas. Ayahnya menggabungkan lembaran-lembaran berisi cerita sepotong itu. "Yang aku tulis-tulis itu distaples, jadi nge-feel, 'Oh, aku punya buku'. Dan itu hobi yang aku jalankan terus," tuturnya.
Anak pertama dari dua bersaudara ini juga gemar menggambar. Dulu, kata Ika, dinding rumahnya dijadikan kanvas untuk menuangkan kreativitasnya. Karena kegemarannya itu, Ika bermimpi menjadi arsitek.
Setelah Ika lulus sekolah menengah atas dan hendak mendaftar kuliah, jurusan arsitek di Institut Teknologi Bandung menjadi pilihan keduanya. Pilihan pertamanya adalah hubungan internasional di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. “Waktu SMA simpel-simpel saja berpikirnya. Aku pengin melihat dunia, jadi pengin jadi diplomat," ujarnya.
Ika Natassa saat konferensi pers pemutaran film The Architecture of Love. Dok. Ika Natassa
Namun Ika tak berjodoh dengan kedua kampus negeri ternama itu. Ia malah diterima di pilihan ketiganya, yaitu jurusan akuntansi di Universitas Sumatera Utara. "Aku sedih karena itu bukan my dream," tuturnya.
Di awal kuliah, Ika sengaja membuat nilainya jelek untuk menunjukkan ketidaksukaannya pada akuntansi. Orang tuanya pun menyarankan ia mencoba lagi ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri di tahun berikutnya.
Akhirnya Ika memutuskan cuti kuliah dan mengikuti program pertukaran pemuda Indonesia-Australia. Selama satu semester, Ika bermagang di Negeri Kanguru dengan beasiswa dari pemerintah Australia. Tugasnya berkeliling dan bertemu dengan para petani. Bahkan ia juga belajar cara menyuntikkan vaksin ke sapi.
Sepulang dari Australia, Ika ditempatkan di salah satu desa di Kalimantan Tengah. Di sana dia mengajar bahasa Inggris dan di taman pendidikan Al-Quran untuk penduduk setempat. "Gara-gara pengalaman itu aku jadi mikir, hidup ini memang harus dicari sendiri keseruannya," katanya.
Selanjutnya, Ika bertekad tidak larut dalam kesedihan karena gagal kuliah arsitektur. Dia makin serius mempelajari akuntansi agar cepat lulus dan bisa bekerja di tempat yang ia kehendaki. Nilai kuliahnya pun membaik. Ia juga memenangi lomba karya tulis di kampus.
Saat Ika kuliah, hobi menulisnya hampir tak tersentuh. Sebagai tulang punggung keluarga, dia menghabiskan banyak waktunya dengan belajar sambil bekerja. Pagi ia kuliah, sementara siang dan malam bekerja sebagai guru les bahasa Inggris.
Lulus kuliah, Ika melamar ke Bank Mandiri lewat jalur Officer Development Program (ODP). Ia diterima dan kemudian mengikuti pendidikan program tersebut selama setahun.
Pengalaman Ika mengikuti pertukaran pelajar di Amerika Serikat ketika duduk di bangku SMA dan di Australia saat kuliah sangat membantunya. Kemampuan bahasa Inggris-nya yang mumpuni membuat ia lancar berkomunikasi dengan pengajar asing. Ia pun lulus dari ODP dengan menempati peringkat pertama di angkatannya.
Karena menjadi lulusan terbaik, Ika berkesempatan memilih lokasi penempatan kerja. Ia memilih kota kelahirannya, Medan. Di sinilah kariernya sebagai bankir dimulai pada 2002.
Beberapa tahun setelah bekerja, Ika tergerak menulis novel. Saat itu teman yang ia kenal di Australia baru menerbitkan novel. Padahal, Ika menuturkan, profesi temannya itu adalah fashion director di sebuah majalah.
Ika pun termotivasi menulis. Ia kemudian memberanikan diri mengirim naskah ke salah satu penerbit buku ternama di Jakarta. Empat bulan setelah mengirim tulisannya, ia dihubungi salah satu editor yang memberitahukan bahwa naskahnya diterima. Bukunya pun terbit dengan judul A Very Yuppy Wedding, yang menceritakan sepasang kekasih yang berprofesi bankir dan bekerja di tempat yang sama.
Satu bulan setelah dirilis pada 2007, novel itu menjadi best seller dan membawa nama Ika masuk nominasi penghargaan sastra, Kusala Sastra Khatulistiwa, kategori penulis muda berbakat.
Ika Natassa saat menjadi pembicara tentang budaya kerja di Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan. Dok. Ika Natassa
Perjalanan kepenulisan Ika berlanjut. Ia telah menerbitkan berbagai novel romansa yang juga populer, seperti Divortiare (2008); Underground (2010); Antologi Rasa (2011); Twivortiare (2012); Critical Eleven (2015); The Architecture of Love (2016); Sementara, Selamanya (2020); dan Heartbreak Motel (2022). Ika kini sedang menulis novel berjudul Satine.
Di tempatnya bekerja, Ika juga tergabung dalam Mandiri Writers Club. Klub tersebut hadir untuk mengakomodasi karyawan Bank Mandiri yang punya hobi menulis dan membaca.
Bagi Ika, menulis murni dilakukan untuk kesenangan. Ia enggan menetapkan target penyelesaian tulisan agar tidak merusak kesenangan itu. Karena itu, penulisan satu buku bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun.
Critical Eleven, misalnya, Ika tulis selama tiga setengah tahun. Antologi Rasa memakan waktu sekitar tiga tahun. Bahkan karya terbarunya, Satine, sudah dua tahun ia tulis dan belum selesai. Ia berprinsip bahwa karyanya harus lebih baik daripada yang sebelumnya.
Ika mengungkapkan, novel bisa memberikan percikan yang menggembirakan dalam hidupnya. Ia senantiasa menuangkan pemikirannya dalam bentuk fiksi sehingga ringan dibaca. Juga agar pembaca bisa terhubung dengan ceritanya. "Mereka bisa mirroring diri mereka sendiri ke situ, jadi self-reflection. Luar biasa, sih," tuturnya.
Menulis juga membuat Ika bisa menyerap begitu banyak pengetahuan baru dan mempelajari banyak hal. Sebab, dalam proses menulis, ia harus melakukan banyak riset, membaca, rajin membuka wawasan, dan mencari ilmu baru. Menurut dia, penulis adalah seseorang yang tidak pernah berhenti belajar dan tak pernah puas.
Pun sejak bukunya difilmkan, Ika bisa berkenalan dan berteman dengan para sineas, dari produser, aktor, hingga penulis skenario. Ia menuturkan, pergaulan dengan berbagai kalangan bisa membuka pintu ke banyak hal hingga ia berada di titik saat ini.
Saat membuat novel, Ika mengaku tidak pernah berpikir bahwa ia hendak menulis untuk orang lain, melainkan buat diri sendiri. Tapi, ketika buku dirilis dan dibaca, ia merasakan karyanya juga bisa memberikan dampak bagi orang lain, terutama pembacanya.
Misalnya, ia baru-baru ini menerima pesan di media sosial dari pembaca dan penonton TAOL. “Setelah baca dan nonton TAOL, dia bilang jadi berani menyatakan perasaan kepada seseorang yang ia pendam,” ujarnya.
Pernah juga Ika menerima surat elektronik dari seorang ibu yang baru mengalami keguguran. Setelah membaca novel Critical Eleven, ibu itu mengaku merasa dikuatkan dalam melalui cobaan.
•••
TAK hanya menulis, Ika Natassa juga pernah membangun perusahaan rintisan alias startup LitBox. Bisnis yang ia bangun bersama dua temannya itu ditujukan bagi penggemar buku. Berkonsep seperti surprise box, ada paket berisi tiga buku yang dikurasi Ika. Untuk mendapatkan kotak kejutan ini, pembeli harus berlangganan paket. “Misinya sederhana, kami pengin bikin orang deg-degan saat menerima paket buku,” katanya.
Dalam menjalankan usaha itu, Ika turut berupaya mengangkat nama para penulis muda agar dikenal. Ia melihat salah satu faktor para penulis muda sulit maju adalah pembaca tidak mencoba membaca karya mereka.
Untuk menggairahkan minat membaca, Ika juga mengajak sejumlah figur publik menunjukkan buku-buku favorit mereka. Maka lahirlah gerakan sosial "Reading is Sexy" pada 2014. "Gerakan itu aku jalankan untuk kasih contoh bahwa nih, idola-idola lu juga banyak yang hobi baca. Jadi contoh yang bagus," ujarnya.
Namun, karena kesibukannya bekerja dan menulis, usaha LitBox dan kampanye “Reading is Sexy” tak berlanjut. Ika berharap bisa menjalankan hal serupa di kemudian hari dan bertemu dengan model bisnis yang cocok.
Kesuksesan Ika sebagai penulis novel tak lepas dari berbagai tantangan yang ia hadapi. Menurut dia, penulis zaman sekarang mesti pintar meraih perhatian dan merangkul pembaca. Sebab, ada pergeseran kultur bahwa masyarakat kini tak terbiasa membaca sesuatu yang panjang, juga cenderung menyukai sesuatu yang instan.
Karena itu, Ika menilai penulis juga harus mau terlibat dalam pemasaran karya. Pada akhirnya, Ika melanjutkan, penulis ingin isi bukunya bisa mengena pada banyak orang.
Tantangan berikutnya adalah tingkat literasi Indonesia yang belum optimal. Ika mengatakan membaca buku belum menjadi pilihan orang-orang untuk menghabiskan waktu senggang. Menurut dia, perlu ada kolaborasi antara pemerintah dan penulis untuk meningkatkan literasi.
Yang tak kalah penting, tutur Ika, penumbuhan kesadaran masyarakat tentang hak kekayaan intelektual. Ika melihat pembajakan buku kini sedang marak. Padahal royalti penulis hanya sekitar 10 persen dari harga buku. Penulis juga tidak digaji dan hanya mendapatkan remunerasi ketika buku mereka laku.
Ika mengungkapkan, selayaknya penulis yang cinta menulis, pembaca harus cinta kepada buku. "Dengan mencintai buku, ia jadi menghargai hak kekayaan intelektual. Ia enggak mau konsumsi bajakan, tidak menormalisasi bajakan," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo