Sebagai seorang pegawai negeri yang sedang tugas belajar di luar negeri, saya gembira ketika mendengar berita bahwa Departemen Kehakiman menghapus persyaratan iexit permitr bagi warga negara Indonesia yang hendak pergi ke luar negeri. Tapi kenyataan di lapangan justru berlainan dengan berita tersebut. Ketika saya hendak kembali ke tempat belajar, awal Desember lalu, saya dilarang meninggalkan Indonesia karena tidak memiliki iexit permitr. Menurut petugas Imigrasi, peraturan bebas iexit permitr hanya berlaku bagi kalangan swasta. Sedangkan pegawai negeri masih diharuskan memiliki iexit permitr. Akibatnya, saya harus kembali lagi ke Jakarta, setelah penerbangan transit selama satu setengah jam, untuk mengurus iexit permitr. Di samping rugi waktu, saya juga rugi uang. Kalau benar apa yang dikatakan petugas Imigrasi tersebut, berarti apa yang dikatakan Menteri Kehakiman (TEMPO, 1 Agustus 1992, juga pada ipress releaser KBRI di Selandia Baru) tidaklah benar. Kedua media itu menulis pernyataan Menteri Ismail Saleh bahwa sejak tahun 1989 bagi pegawai negeri, pejabat, dan ABRI sudah dihapuskan keharusan memiliki iexit permitr untuk pergi ke luar negeri. Menilik ramainya kegiatan pengurusan iexit permitr (bagi pegawai negeri dan ABRI) di Deplu, tampaknya petugas Imigrasi yang melarang saya itu tidak salah. Tapi yang membuat saya bingung, siapa yang benar, Menteri Ismail Saleh atau anak buahnya. WISNU MARTONO O'Rorke Hall 16 Mount St Auckland 1 New Zealand
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini