Presiden Soeharto, awal pekan ini, menyampaikan nota RAPBN (rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara) 1992/1993 di depan sidang paripurna DPR. Waktu ini sangat tidak menguntungkan buat berita mingguan, seperti TEMPO, yang deadline terakhirnya jatuh pada hari yang sama dengan penyampaian nota RAPBN tersebut. Padahal RAPBN ini kami anggap sangat penting, mengingat berbagai hal. Misalnya, faktor perubahan dunia yang begitu cepat, dengan apa yang terjadi di negara-negara sosialis di Eropa Timur. Harga minyak yang tidak menguntungkan dan tantangan faktor dalam negeri sendiri, seperti menghadapi pemilu, dan tidak kalah pentingnya adalah akibat Peristiwa 12 November di Dili, yang sedikit banyak mungkin berpengaruh pada pinjaman luar negeri. Karena itu, peristiwa ini kami siapkan untuk sebuah Laporan Utama. Namun itu tadi, tantangan utama adalah deadline yang sangat mepet. Briefing soal RAPBN, yang diberikan pemerintah kepada para pemimpin redaksi media massa, baru diadakan Minggu siang, saat sebagian besar naskah sudah harus kami turunkan. Untung saja banyak teman yang membantu kami untuk memperoleh bahan-bahan masukan dalam soal ini. Lalu, dengan bantuan para pakar ekonomi kami, kami mencoba mendiskusikan berbagai kemungkinan atau dampak RAPBN ini. Seperti biasa, dari tahun ke tahun, pembahasan itu kami lakukan melalui sebuah forum diskusi antara Tim Laporan Utama, yang kali ini dipimpin oleh Redaktur Pelaksana Isma Sawitri, dan para pakar ekonomi. Diskusi ini dipandu oleh Pemimpin Redaksi Goenawan Mohamad, dan kemudian dilanjutkan oleh Wapemred Fikri Jufri, yang sudah lama kami gelari sebagai ekonom TEMPO, berlangsung di kantor kami di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat malam pekan lalu. Dalam Tim Laporan Utama ini, selain Isma Sawitri, terlibat Penanggung Jawab Rubrik Ekbis Max Wangkar dan Budi Kusumah serta sejumlah reporter TEMPO yang sehari-hari bergelut dengan urusan ini, seperti Bambang Adji Setiady dan Iwan Qadar Himawan serta sejumlah yang lain. Sedangkan para pakar yang hadir adalah Mari Pangestu, Syahrir, dan Rizal Ramli. Kami cukup beruntung karena pada kesempatan yang begitu sempit ini bisa pula turut serta Dahlan Sutalaksana, Direktur Muda Bank Indonesia, dan Soekarno dari Bappenas. Sebagai orang pemerintah, mereka berdua cukup berhasil memperjelas berbagai hal yang sebelumnya bagi kami terlihat samar-samar, sehingga mungkin bisa menimbulkan salah penafsiran. Tentu saja, sebuah Laporan Utama tak cukup ditulis dari hasil sebuah diskusi saja. Bertolak dari itu pula, kami berusaha menangguk pendapat para ahli ekonomi lainnya, para pelaku ekonomi, dan para pejabat yang terkait. Untuk itu, Kepala Biro Jakarta Ahmed Soeriawidjaja sibuk menerjunkan sejumlah reporter di Jakarta. Para reporter, di berbagai daerah, sibuk pula membantu. Hasilnya dirangkum oleh para penulis, yang terdiri dari Max Wangkar, Budi Kusumah, Bambang Aji, Diah Purnomowati, dan Redaktur Pelaksana Isma Sawitri. Isma juga sekaligus meramu tulisan ini agar lebih menarik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini