PERKEMBANGAN Jakarta tampaknya memang mendesak minggir becak. Lima atau sepuluh tahun lagi, bisa saja Jakarta menjadi "kota dari besi, baja, dan beton", yang tak lagi bisa disusuri oleh becak. Sekarang saja sulit membayangkan si roda tiga itu meluncur, misalnya, di jalan layang -- pihak Jasa Marga tentu sulit menentukan tol bagi becak. Tapi, ketika Pemda DKI Jakarta sejak 1 Maret 1990 ini menyatakan Jakarta sepenuhnya DBB alias daerah bebas becak, Ibu Kota ini sebenarnya masih serupa gado-gado. Yakni masih seperti juga tahun 1970-an, ketika digambarkan oleh sutradara Usmar Ismail dalam The Big Village, "Kampung Besar". Ada jalan protokol M.H. Thamrin dan jalan layang Priok-Grogol. Tapi ada juga kawasan yang disebut Kayu Manis terletak di antara Jalan Letjen. A. Yani (bypass) dan Matraman Raya yang padat dan cuma cocok untuk jalan becak, bukan bis kota. Maka, tak semua orang Jakarta rela meloncat dari becak ke kendaraan umum bermotor seperti yang direncanakan oleh Pemda DKI Jakarta. Itu bukan sekadar dugaan kami sendiri. Tapi tersimpulkan dari poll yang kami sebarkan di antara masyarakat pelanggan becak dan para abang becak. Dari 360 responden di DKI, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi -- responden yang kami anggap mencerminkan, atau mendekati, mayoritas pemakai si roda tiga -- disimpulkan sekitar 57% tak setuju becak ditiadakan. Responden berpendapat bahwa becak tetap merupakan angkutan yang manusiawi -- meski penumpang enak-enak duduk di depan, sementara si abang harus mengerahkan tenaga menggenjot pedal, apalagi bila jalan naik. Itulah antara lain hasil poll TEMPO yang dikoordinasikan oleh Suhardjo Hs. dan menjadi salah satu bagian Laporan Utama nomor ini. Yang kemudian mengganggu kami, bila poll makro begitu hasilnya, bagaimana pula poll mikro. Maksud kami, yang makro itu Jakarta dan sekitarnya, yang mikro itu karyawan TEMPO sendiri. Wah, hasilnya sama saja. Dari 143 karyawan -- dari 220 karyawan TEMPO seluruhnya -- yang mengisi angket, sekitar 60% tak setuju becak dihapus. Kenapa? Sebagian mereka mengaku bila ke kantor tergantung becak. Mestinya bukan tergantung becak sampai di depan kantor, tapi guna mencapai jalan yang dilalui bis kota atau sejenisnya, mereka membutuhkan becak. Soalnya, seperti tercantum di mazhet majalah ini, kantor kami berada di jalan protokol, H.R. Rasuna Said, yang termasuk DBB alias daerah bebas becak. Yang lain menyebutkan ketidaksetujuan itu dengan alasan becak untuk keluarga, misalnya untuk berbelanja tiap hari. Ada juga yang membutuhkannya untuk kendaraan mengantar anak-anak pergi sekolah atau kursus. Mestinya para pengisi angket ini adalah karyawan yang karena masa kerjanya sudah kebagian kendaraan bermotor dari kantor. Lalu apa kata mereka bila sejak pertengahan pekan ini para abang becak bilang "jangan ditanya ke mana aku pergi"? Hampir 30% memilih jalan kaki saja. Yang lain, 24% mengatakan akan mencari kendaraan umum yang tersedia. Hanya 10% yang memilih diboncengkan sepeda motor alias ojek. Maka, Laporan Utama kali ini sedikit banyak menyangkut kepentingan sejumlah karyawan juga. Tapi, sebagai wartawan, tetap saja kami mencoba mendudukkan soal di tempatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini