Karyanya Adalah Doa Sebuah buku tentang T.B. Simatupang, yang sebetulnya dipersiapkan untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-70 pekan ini, diterbitkan. TAHI Bonar Simatupang tak sempat menerima penghormatan atas ulang tahunnya yang ke-70 pada 28 Januari pekan ini, berupa sebuah kumpulan karangan berjudul Saya Adalah Orang yang Berhutang. Ia telah wafat 1 Januari lalu. Karena itu, ia diwakili istrinya. Buku itu memuat karangan yang ditulis 45 orang tokoh dari 85 orang yang diminta panitia. Menurut Samuel Pardede, sekretaris panitia penerbitan buku ini, buku tersebut diterbitkan untuk menghormati pikiran-pikiran Pak Sim, terutama mengenai pembangunan nasional, juga ketokohannya dalam sejarah kita, serta tentang kesederhanaannya. Judul buku ini terdengar agak aneh. Tapi hal itu rupanya memang diambil dari ungkapan Pak Sim sendiri, yang tertulis dalam otobiografinya pada ulang tahunnya yang ke-65. Ketika itu almarhum menulis: "... kita semua tentu pertama-tama berhutang kepada Tuhan. Tetapi hutang kepada Tuhan itu tidak dapat kita bayar. Hanya Tuhan sajalah yang berdasarkan kasih-Nya dapat menyelesaikan hutang kita kepada-Nya. Tuhan menghendaki agar kita membayar hutang itu kepada sesama kita." Ia juga menyatakan berutang kepada negara, bangsa, dan masyarakat, kepada TNI, kepada gereja-gereja, kepada agama-agama umumnya. Juga kepada kedua orangtuanya. Buku setebal 384 halaman yang sudah dipersiapkan sejak Oktober tahun lalu ini hanya dicetak dengan dua edisi. Edisi biasa 5.000 eksemplar dijual dengan harga Rp 6.000, edisi mewah 2.000 eksemplar diedarkan secara gratis kepada beberapa tokoh dan para penulis. Harga itu termasuk murah. Rupanya, panitia memang sengaja tidak mencari untung. Apalagi mengingat ongkos cetak per eksemplar saja sudah Rp 3.000. Keuntungan yang dikejar rupanya agar masyarakat, terutama generasi muda, mengenal ketokohan, pemikiran, dan cita-cita Pak Sim. "Kami memang tidak akan mengkomersialkan buku ini," kata Samuel Pardede, yang juga menjadi penyunting buku tersebut. Banyak tulisan menarik dalam buku ini. Juga beberapa komentar mengenai pribadi Pak Sim. Misalnya tulisan Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B. Moerdani, yang menganggap Pak Sim sebagai "guru dan sahabat dalam perjuangan, yang selalu saja memberikan inspirasi, baik melalui pemikiran maupun karya-karyanya". Menteri Moerdani mencatat, betapa dalam perhatian Pak Sim dalam mempersiapkan para calon pemimpin nasional. Ia menulis, "... Pak Sim selalu menaruh perhatian dan tidak jemu-jemunya memberikan saran serta kritik melalui tulisan, tatap muka, atau bahkan melalui senda-guraunya yang khas. Bahkan Pak Sim sekaligus memberikan contoh nyata kualitas kepemimpinan yang kita idam-idamkan itu, baik selama dalam dinas aktif ketentaraan maupun sesudahnya." Kemampuan Pak Sim sebagai ahli siasat, baik siasat perang maupun politik, diceritakan oleh A.H. Nasution. Misalnya hijrahnya Divisi Siliwangi dari Jawa Barat setelah persetujuan Renville, 1948, ternyata gagasan Pak Sim. Ketika itu, tulis Nasution, "terus-terang saya belum dapat menerimanya, dan berpikir-pikir untuk membangkang." Belakangan Simatupang menghubungi komandan-komandan bawahan Nasution. Dan akhirnya Pak Nas pun memutuskan hijrah, setelah menerima surat dari Simatupang. Sebagai ahli siasat politik, Nasution juga mencatat kemampuan Simatupang, ketika rekannya itu secara halus berusaha mempertemukan dua tokoh nasional tokoh militer dan tokoh sipil. Diceritakan oleh Nasution: Sim berperan "menggiring" Panglima Besar Soedirman, yang pada 1948 tengah berparade di alun-alun Yogyakarta, untuk bertemu dengan Presiden Soekarno di Gedung Agung. Maka, bertemulah kedua tokoh nasional itu, berpeluk dan berangkulan. Padahal, ketika itu konon Pak Dirman masih enggan. Profil Sim sebagai "intelektual ABRI" digambarkan secara jelas oleh almarhum Soedjatmoko. Koko, yang memperlihatkan karangannya, Modernisasi, Sekularisme dan Kekuasaan, tiga hari sebelum Pak Sim wafat di rumah sakit PGI Tjikini, menggambarkan persahabatan di antara mereka "bagaikan kuntum bunga yang indah". Koko antara lain menulis bahwa Pak Sim dalam karier gandanya -- sebagai militer, teolog sekaligus intelektual -- secara terus -- menerus berusaha mempertemukan tiga dimensi kehidupan nasional kita, yaitu modernisasi dan pembangunan moral dan agama serta tatanan politik dan peranan militer. Sim secara terus-menerus berusaha mempertemukan dimensi moral, keperluan pembangunan, dan pengaturan kekuasaan. "Dalam usaha ini dia tidak selalu berhasil, karena memang kesenjangan-kesenjangan institusional maupun historis dan psikologis tidak mudah dijembatani dalam waktu singkat," tulis Soedjatmoko. Simatupang telah berusaha mempertemukan moralitas dengan politik, dan secara lebih umum dalam pendidikan politik dan peningkatan kecerdasan bangsa. Adapun profil Simatupang sebagai negarawan digambarkan oleh sahabatnya, Frans Seda, dalam sebuah lirik yang puitis di awal karangannya: Dia sepertinya tak habis-habis duduk berpikir. Dia memang selalu rajin membaca. Dia tak pernah kehabisan argumentasi. Dia senantiasa merenungkan semua permasalahan. Karyanya merupakan doa yang terus-menerus bagi bangsa dan negara.... Ketika masih dirawat di rumah sakit, Pak Sim pernah minta bekas menteri keuangan itu membacakan salah satu bab dari Alkitab, Surat Pertama Rasul Paulus kepada Jemaat di Filipi, yang rupanya sangat tepat menggambarkan profil pribadinya: ... Karena bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan. Tetapi, jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.... BSH, Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini