SEAKAN-akan terencana rapi. Tahun 1988 Widayat pensiun sebagai pengajar Fakultas Seni Rupa dan Desain di ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta. Tahun berikutnya naik haji. Tahun ini ia berpameran tunggal di Bentara Budaya Jakarta, 19 Januari sampai 2 Februari. Seolah Widayat hendak memperlihatkan tenaga, semangat, dan kegembiraan yang tetap, malah bertambah: 47 lukisannya memenuhi tiga ruangan. Semua bertarikh 1989! Ia melampaui kebanyakan pelukis lebih muda, ketika mengibarkan panji pameran "70 Tahun Widayat". Penghargaan yang diterimanya tak terbilang. Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia diterimanya pada 1972. Tahun 1974 ia menerima Penghargaan Dewan Kesenian Jakarta, dalam Biennale Lukisan, tahun itu. Widayat menempuh masa pembentukannya ketika corak dekoratif dalam seni lukis kita masih merupakan arus kecil yang tidak kentara. Ia sendiri memulai seninya dengan melukis pemandangan alam dan sosok manusia -- keinginan "naturalistis" -- sebelum belajar di ASRI. Ini tampak dalam lukisannya Pasar di Gunung. Kemudian, ia belajar banyak dari Hendra Gunawan, yang cenderung pada lukisan semangat, kepada pemiuhan (distorsi) dan stilisasi (penggayaan), juga motif-motif hias. Dari Sindusisworo ia mendapat pelajaran ragam hias. Kedua-duanya di ASRI. Tetapi yang amat penting ialah ia dipengaruhi Kartono Yudhokusumo, pelukis dekoratif yang dikaguminya. Widayat menyerap kecenderungan dekoratif, mengembangkannya, dan sebagai pengajar di ASRI, menyemangatkan bakat-bakat muda. Keyakinannya kepada seni lukis corak hias alias dekoratif seperti tidak tergoyahkan. Baginya, melukis ialah menghias. "Lukisan itu," ujarnya tegas, "berfungsi sebagai benda hias, untuk digantung di dinding rumah, di kantor, di art gallery, di museum, dan lainnya." Dan bagi Widayat itu berarti, melukis itu duduk bersila, memegang kuas kecil, pergerakan banyak di pergelangan dan sendi jari. Dengan kata lain: "menulis" -- seperti halnya seorang pembatik "menulis". Dengan cara ini, ia dapat membuat garis halus, bintik, dan bentuk, atau raut renik. Menghias ialah membagi-bagi bidang dan mengisinya, menggubah ketertiban dan irama. Dan baginya, irama dalam lukisan adalah irama hidup yang kaya dengan keragaman atau variasi, irama yang digerakkan tenaga hidup, atau tenaga tumbuh dan yang bertemu dengan berbagai kekuatan dari lingkungan. Melukis anggrek, katanya, bukanlah melukiskan keindahan bunga, melainkan menggambarkan "wataknya sebagai bunga anggrek". Kesukaan Widayat kepada alam yang hidup, kepada satwa dan tumbuhan, memang luar biasa. Ini tampak pada kanvas-kanvasnya, juga museum angan-angannya. "Kalau saya bangun museum koleksi saya," katanya, "pasti ayam, burung, dan binatang lainnya akan saya tambah." Itu tidak berarti Widayat melukis dengan sepotong alam di depan mata sebagai model. Ia selalu melukis dari angan-angan. Dengan cara ini, satu ingatan tertentu leluasa bertemu dan berpadu dengan berbagai ingatan, kenangan, bahkan khayalan, lantas lumat menjadi satu. Corak atau gaya dekoratif juga mendesakkan cara kerja tertentu. Penciptaan motif atau pola, yang diulang atau dijajar, berarti pembentukan atau pencarian skema yang berlaku umum, menyisihkan ciri-ciri khusus atau individual. Proses menyaring dan menyederhanakan adalah proses mencari "wajah yang universal", mencari type, mencari prototype. Pada Widayat, ini seiring dengan bangkitnya "kesadaran mitos" yang menggapai khayal, atau citra, yang punya makna besar, simbolik. Adam dan Eva, prototype semua manusia, berada di Firdaus, prototype semua kebun atau taman. Perahu Nuh, penyelamatan atau pelestarian satwa dan kehidupan. Phoenix, burung yang berumur ratusan tahun, membakar diri untuk lahir remaja kembali. Gaya Widayat mendorong kita meninggalkan yang kongkret dan khusus, lalu pergi kepada yang abstrak serta yang umum. Ayam jantan yang berkokok dengan megah bukankah sangkakala kejayaan satwa, matahari kehidupan? Berdiri di depan Ratu Rimba, Pohon Persinggahan, atau Wanita dan Burung, sukar menganggapnya sebagai sajian gambaran obyek-obyek kongkret dan individual. Tetapi kelestarian atau kekekalan bisa berarti pula tetap hadirnya barang yang telah lama lampau. Topeng-Topeng Primitif membawa pikiran kepada kepercayaan akan pewujudan arwah di dalam topeng. Dan Ikan Coelachant menampilkan ikan purba -- dan itu dalam fosil tampaknya. Dalam pengakuannya, Widayat kadang lelah dengan lukisan jenis yang biasa dibuatnya. Ia membuat selingan. Dan ini memang amat khas: membuat lukisan tentang orang banyak (juga orang kebanyakan atau rakyat jelata) dengan macam-macam tampang dan mimik. Antara lain, itu tampak dalam Pergi ke Pasar, Nonton Sekaten, Debat Kusir, dan lain-lain. Coraknya santai, lebih informal, atau katakanlah "lebih buruk" atau "kekanak-kanakan". Terkadang, sosok berupa raut tidak beraturan. Ini mengingatkan kepada bongkah batu kasar (terutama pada Lima Figur) yang memberi kesan primitif atau arkaik, kuno. Dan dalam karya pelukis ini -- pada 1952 bersama G. Sidharta dan Hadrio mendirikan kelompok PIM, Pelukis Indo-nesia Muda -- apakah tidak sedang ditandaskan bahwa rakyat adalah asal-mula, purwa, dasar? Sanento Yuliman dan Hendro Wiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini