Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Putusan PK Tommy Soeharto (I)

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT keputusan hakim agung tentang PK Tommy Soeharto menimbulkan berbagai tanggapan. PK tersebut membuat timbulnya banyak pertanyaan kepada hakim agung yang menanganinya. Pertanyaannya adalah apakah hakim agung terkena suap ataukah ”bodoh”. Dua-duanya pasti jelek konotasinya. Tetapi hanya ini kemungkinan yang ada. Untuk menyebutkan ”terkena suap” tentu tidak mudah, harus ada pembuktiannya. Tetapi untuk menyebut ”bodoh” rasanya dapat dipertanggungjawabkan. Pada saat hakim agung mengadili untuk mengeluarkan PK, tentunya ada beberapa hal yang lazim selalu dipertimbangkan:
  1. M. Taufiq, Wakil Ketua MA, yang dilantik oleh Gus Dur sebagai hakim agung yang mengadili untuk PK, mengatakan alasan kemanusiaan ”klise nan filosofis”, yang tentunya benar dan dapat disetujui. Sebagai manusia, siapa pun setuju seratus persen. Tetapi untuk alasan hukum seperti ”sebagai komisaris tidak bertanggung jawab dan sudah tidak menjabat sejak 1996”, patut dites jalan pikirannya apakah melihat dan berpikir tentang kebenaran material yang ada. Apakah Taufiq membaca di dalam akta perusahaan tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab seorang komisaris dan direktur utama. Yang umumnya tercantum, bahwa ada keterbatasan otorisasi direktur utama, yang harus dan hanya dapat dilakukan oleh komisaris, terutama menyangkut masalah-masalah besar di dalam perusahaan, menyangkut perubahan aset dan permintaan kredit. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh seorang direktur utama saja atau anggota direksi lainnya, tetapi harus ada persetujuan komisaris. Peranan Tommy di sini bukan hanya sebagai komisaris, tetapi juga menggunakan apa yang disebut ”connection power” karena kedekatannya dengan presiden, yang ayahnya sendiri. Kalau Ricardo Gelael bertindak atas inisiatif sendiri, tentunya Beddu Amang tidak akan memandang ”sebelah mata”, walaupun ia seorang direktur utama. Dan ini diakui oleh Beddu Amang saat diadili bahwa persetujuannya semata-mata karena nama besar Presiden Soeharto. Apakah Ricardo sendiri yang minta kepada Soeharto? Pasti jawabnya karena Tommy yang meminta kepada bapaknya. Alasan kedua, tidak menjabat komisaris lagi sejak tahun 1996 tentunya harus lebih spesifik, tidak bisa global. Tommy tidak menjadi komisaris lagi pada September 1996, seperti dikatakan Jaksa Fahmi. Sedangkan kasusnya terjadi sejak 1995 hingga Februari 1996, ketika saat itu Tommy masih menjabat sebagai komisaris.
  2. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Dalam kasus ini tingkah laku Tommy yang melarikan diri dapat disebut sebagai memberatkan. Lalu, apakah ada yang meringankan?
  3. Tommy memberikan surat kuasa kepada pengacara. Tetapi apakah Tommy tidak ditanya keabsahan surat kuasa tersebut? Karena Tommy ”tidak diketahui keberadaannya oleh siapa pun, termasuk pengacaranya”, bagaimana ia dapat memberikan surat kuasa?
ACHMAD SABLIE Bintaro Jaya, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus