Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK seorang pun pemimpin di Indonesia ini yang tidak mengatasnamakan rakyat. Dari presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, kepala desa, sampai pemimpin partai dan LSM, bahkan pemerintahan Soeharto pun dengan seluruh jajarannya tidak pernah lupa mengatasnamakan rakyat.
Kita semua tahu bahwa rakyat itu terdiri atas berbagai profesi dan golongan. Lantas, golongan mana yang disebut-sebut para pemimpin Indonesia itu? Untuk pemerintah barangkali sudah jelas. Seperti dikatakan Max Weber, dalam suatu negara selalu ada yang disebut ”the ruling class” dan ”the ruled class”. Rakyat dalam hal ini tentu saja merupakan ”the ruled class”, sedangkan pemerintah termasuk dalam golongan ”the ruling class”.
Dalam era reformasi ini, mestinya partai-partai merupakan representasi dari salah satu golongan yang ada di masyarakat Indonesia. Sampai hari ini, mereka mewakili golongan dan lapisan masyarakat yang mana, belum jelas. Semua menyebut dirinya wakil rakyat, sementara programnya masih kabur dan tidak jelas. Padahal, kita tahu, sebagian besar lapisan bawah rakyat Indonesia belum tersentuh oleh gerakan reformasi. Sebut saja, misalnya, nasib kaum tani dan buruh. Mereka sepertinya tak dilirik oleh ”wakil-wakil rakyat” untuk diperjuangkan nasibnya.
Di pihak lain, mahasiswa kerap membela dan memperjuangkan rakyat kecil di daerah-daerah terpencil. Sekalipun jumlah mereka kecil, mahasiswa itu telah membuktikan kepeloporannya dalam setiap perubahan besar yang terjadi di Tanah Air.
Tampaknya, partai politik sekarang ini masih pada taraf mengatasnamakan rakyat saja. Bahkan, mereka berkesan lebih mementingkan diri sendiri dengan menaikkan gaji mereka sampai Rp 11 juta untuk anggota dan Rp 13 juta untuk ketua, seperti yang terjadi di DPRD Jawa Timur. Di Jawa Barat, pembangunan terhenti dengan alasan tidak ada dana, sementara dana untuk pakaian dinas gubernur tidak dihentikan atau setidaknya dikurangi. Bagaimana sikap para anggota DPRD yang terhormat, termasuk para aktivis partai, menyaksikan kemewahan itu? Kok, tidak pernah ada yang mengomentari, apalagi memprotesnya? Rupanya, rakyat hanya menjadi komoditi murahan, yang dijajakan dan diobral di mana-mana.
H. SUPARMAN AMIRSYAH
[email protected]
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo