Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Provokator

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M. Cholil Bisri
Pemimpin Pondok Pesantren Raudhatul Thalibin, Rembang

BARANGKALI boleh dijelaskan bahwa provokator adalah isim fa'il dari provokasi. Artinya adalah orang yang melakukan/mengerjakan pekerjaan provokasi. Provokasi atau (aslinya) provocation mempunyai makna pancingan atau peng-hasud-an. Kalau disetujui provokasi sama dengan hasud, menurut Asysyaikh Muhammad Amien Alkurdi, itu berarti kebencian atau ketidaksukaan seseorang terhadap nikmat Allah yang dilimpahkan kepada saudaranya. Dia sangat ingin nikmat Allah lengser dari saudaranya itu.

Hasud adalah sikap yang sangat buruk, sehingga Kanjeng Nabi mengatakan, "Alhasadu ya-kulu l-hasanaati kamaa ta-kulu n-naaru l-hathob." Hasud itu memakan habis (pahala) kebaikan, sebagaimana api membakar habis kayu bakar kering. Nikmat Allah dilimpahkan kepada hamba-Nya, bisa berupa ilmu, harta, takhta (kedudukan, pangkat, atau derajat sosial), pengaruh, kebesaran, ketenaran, kepemimpinan, kebahagiaan, kekeramatan, dan lain-lain. Pendek kata, yang membuat penerimanya merasa senang dan owel (keberatan) melepasnya. Adalah semua yang penulis sebut itu sasaran provokasi. Namun, sebenarnya, si penerima nikmat sudah diperingatkan dengan dhawuh: "Likulli dzi ni'matin mahsuud," semua yang menerima nikmat (pasti) dihasudi.

Alhasad itu pada dasarnya adalah "penyakit" hati. Dia sepupu dengan takabbur, angkuh, sombong, congkak, arogan, bahkan boleh jadi saudara sinoro wedi, yang selalu bersama dan enggan berpisah. Di mana ada hasad, di situ ada takabbur. Munculnya hasad dari seseorang sering disebabkan oleh anggapan bahwa dia merasa "lebih" berhak menerima anugerah yang kini dinikmati oleh orang (atau kelompok) lain. Merasa "lebih" itu juga bernama takabbur. Iblis merasa lebih ketimbang Adam, maka dia enggan menaruh hormat ketika Allah memerintahnya. Dia berkata dengan angkuhnya, "Adam diciptakan dari tanah, sedangkan aku dari api." Tapi ternyata Adamlah yang menerima nikmat. Maka, Iblis pun bertindak memprovokasi Adam agar berada dalam satu kelompok "pembangkang atas perintah/larangan Allah" bersamanya. Agar Adam juga tidak memperoleh nikmat Allah, sama dengan dia. Agar Adam juga dimurkai Allah, sama dengan dia.

Maka, Iblis pun menyandang predikat provokator hingga hari kiamat. Dia diizinkan Allah untuk mencari "pengikut" sebanyak yang dia inginkan, untuk bersamanya memprovokasi orang-orang yang sedang berteman dengan "nafsu" dan sedang berseteru dengan "hati". Orang yang sering berbicara dengan hatinya pasti sadar bahwa dirinya diincar oleh Iblis dan pengikutnya. Maka, dia tidak meninggalkan kewaspadaan. Sedangkan orang yang sedang berbicara dengan nafsunya telah terlena dan tanpa disadari telah terkooptasi oleh provokasi Iblis (atau pengikutnya). Iblis (atau pengikutnya) bisa saja berlagak seperti melayani, memperlihatkan loyalitas semu, yang diramu dengan akting profesional canggih. Lalu, pada saat yang dianggap tepat, menelikung tanpa ampun.

Sesuai dengan namanya, "insan", yang secara etimologi berarti lupa atau lengah, manusia yang keturunan Nabi Adam ini perlu sering diingatkan dan di-jawil. Apalagi jika dia menyandang predikat pemimpin. Pemimpin—menurut data sejarah—mempunyai "kegemaran" dilayani. Itu sah dan wajar. Namun, di sisi lain, pemimpin dituntut untuk menciptakan kesejahteraan. Hanya pemimpin gombal yang tidak terobsesi oleh keinginan menyejahterakan rakyat yang dipimpin. Kesejahteraan yang saya maksud adalah tersedianya sarana hidup (pangan, sandang, dan papan), terwujudnya rasa aman, dan makmurnya keadilan.

Karena itu, pemimpin tidak hanya membutuhkan orang-orang yang bersedia melayaninya, tapi juga menghajatkan orang-orang yang diajak berbicara: Khudama dan Julasa yang mempunyai porsi seimbang. Pelayan (Khudama) meladeni kebutuhan nafsu, dan kawan bicara (Julasa) melayani kebutuhan hati nurani. Khudama tanpa Julasa bisa melahirkan pemimpin otoriter. Sedangkan Julasa tanpa Khudama membuat pemimpin kehilangan kewibawaan. Kanjeng Nabi yang "Wa maayanthiqu 'an il-hawaa, in huwa illaa wahyun yuuhaa" (tidak berbicara kecuali diwahyukan) saja, selain punya orang-orang yang mengelilingi beliau seperti S. Anas bin Malik, S. Bilal bin Robah, S. Mu'adz bin Jalal, S. 'A-isyah, dan lain-lain, juga punya S. Abi Bakr, S. 'Umar bin Alkhoththob, S. Salman Alfarisi, S. Ummi Salamah, dan lain-lain. Yang belakangan ini adalah mereka yang selalu siap diajak berbicara oleh Kanjeng Nabi.

Raja Yudhistira dan Pandawa, selain memerlukan Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong, juga memerlukan Krisna. Begitu pula halnya Dursasana, yang mempunyai Togog dan Limbuk, juga punya Durna dan Sengkuni. Tidak seperti Yazid, yang hanya punya Yusuf bin Alhajjaj, atau Adipati Blambangan, yang hanya punya Dayun, pelayan setia, yang lalu berubah menjadi arogan, ngawur, dan memanjakan nafsu, tanpa sedikit pun berbaik-baik dengan hati. Alangkah celakanya negeri ini jika pemimpinnya hanya memerlukan pelayan. Akibat runyam yang diderita, yang paling dekat, adalah fenomena ketegangan dan tumbuh suburnya provokator. Andai kita mengikuti filosofi Mas Amien, pemimpin yang mengakibatkan maraknya provokator sama besar dosanya dengan provokator itu sendiri. Na'udzu bi l-lah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum