Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UANG memang kerap membuat orang gelap mata. Untuk memilikinya, ada yang ambil jalan pintas dengan melakukan kejahatan, termasuk memalsukan uang. Bulan lalu Kepolisian Bogor menangkap Nuriyah dan Eyang Aswong, yang diduga mengedarkan uang palsu. Melalui praktek perdukunan, keduanya menggunakan trik penggandaan uang untuk menyebarkan fulus tiruan yang jumlahnya mencapai Rp 1,2 triliun.
Tindak kejahatan seperti itu terjadi hampir setiap tahun. Majalah Tempo pun pernah melaporkan laku kriminal pemalsuan ini. Yang berbeda, dalam rubrik Kriminalitas edisi 22 Desember 1984 itu diungkapkan bahwa mata uang yang dipalsukan Bisri, 39 tahun, Hadi Mulyono (29), dan Edy Anwari (31) adalah ringgit Malaysia.
Kisahnya berawal pada Agustus 1983. Ketika itu, Haji Yunus, penduduk Desa Gempol Dampet, pulang dari Malaysia. Tenaga kerja yang sering mondar-mandir Jombang-Malaysia ini mendapat pesanan dari seorang bos di Malaysia, Andi, untuk menjajaki pencetakan ringgit palsu. Yunus juga mendapat pesanan mencetak kartu tanda pengenal tenaga kerja Indonesia, yang memang sedang laku keras di Malaysia.
Setiba di kampung, Yunus mengontak Bisri, kakak iparnya, yang kebetulan bertugas di bagian percetakan kabupaten. Pembicaraan menjadi matang setelah Yunus bersua dengan Edy Anwari, teknisi percetakan itu. Dengan contoh uang pecahan 50 ringgit, Edy merancang teknisnya. Mereka juga mengajak Hadi Mulyono bekerja sama.
Sejak itu, tiga petugas percetakan milik Pemerintah Kabupaten Jombang, Jawa Timur, tersebut suka kerja lembur. Mereka sibuk mencetak uang ringgit Malaysia, juga membuat kartu tanda pengenal bagi pendatang dari Indonesia yang bermukim di negeri jiran itu.
Cetakan pertama sebanyak seribu lembar bernilai 50 ribu ringgit—Rp 22 juta lebih ketika itu. Ongkos cetak tiap lembar Rp 400. Sebagai tanda jadi, Edy dan Hadi menerima uang muka Rp 200 ribu, sekaligus untuk pesanan pembuatan identity card.
Kerja kawanan ini sama sekali tidak diketahui karyawan percetakan. Mereka memang kadang kerja lembur. Untuk menyarukan kegiatan gelap itu, mereka membuat model ringgit palsu berupa gambar uang 50 ringgit di satu sisi dan di belakangnya ada kolom nama, agama, umur, dan alamat calon pemegang. "Ini adalah tanda pengenal bagi tenaga kerja di Malaysia asal Jombang," kata Edy bila tepergok pegawai lain yang kebetulan mampir ke percetakan.
Nyatanya, Edy, Bisri, dan Hadi memang mencetak ringgit palsu bernilai 50 ringgit. Berapa yang sudah dikirim ke Malaysia dan beredar di sana, polisi belum mengungkapkan. Alasannya, barang bukti yang disita hanya tujuh lembar dari tangan Yunus. Konon, Yunus bertolak ke Malaysia untuk menunjukkan bukti pencetakan ringgit palsu itu kepada Andi, tapi si pemesan rupanya tidak puas terhadap uang palsu tadi karena belum dilengkapi tanda tangan dan nomor registrasi.
Edy merasa kecewa mendengar uang palsunya tidak disetujui. Selesai menghilangkan jejak dengan membakar sisa uang palsu yang dicetak, 16 September tahun itu, ia melapor kepada polisi, yang segera menangkapi mereka. Tapi tindakan Edy dan kawan-kawan itu justru membuat repot polisi Jombang. Soalnya barang bukti dari tangan Yunus belum bisa dikategorikan sebagai mata uang Malaysia palsu. "Barang buktinya belum cukup," ujar Letnan Kolonel Adnan Sya'bah, Kepala Kepolisian Resor Jombang. Yang menyulitkan lagi, kasus itu terbongkar setelah pelakunya sendiri yang melapor.
Namun polisi tetap mengusut para pemalsu mata uang Malaysia itu. "Tindakan mereka bisa disebut membuat hubungan tidak harmonis antara Indonesia dan Malaysia," kata Adnan. Ada kemungkinan ketiganya diancam tuduhan subversi. Polisi berharap dua anggota Interpol yang tengah mengusut kasus tersebut di Malaysia menemukan bukti baru yang meyakinkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo