SEORANG ekonom yang cukup terkenal di Jakarta berpendapat, usaha penerbitan termasuk yang beruntung di tengah iklim bisnis yang umumnya lesu sekarang. "Makin banyak perusahaan yang tutup, makin banyak orang yang menganggur, makin besar pula minat baca mereka," demikian kurang lebih pendapatnya. Ekonom itu agaknya berseloroh. Tapi yang pasti, ucapannya itu tidaklah didukung oleh suatu data, suatu riset, yang, seperti ditulis Bondan Winarno dalam rubrik Kiat, masih merupakan sesuatu yang tersembunyi di Indonesia. Untuk mengetahui selera pembacanya, setiap dua tahun sekali majalah TEMPO melakukan riset sendiri. Survei pembaca terakhir, yang dipimpin Budi Matindas, psikolog dan konsultan TEMPO, terjadi pada 1983, yang akan diperbaharui lagi dalam tahun 1985 ini. Tapi untuk mengenali pasaran secara lebih akurat, survei pembaca belum dirasa cukup. Sebab, selain pembaca, kami masih perlu mengetahui keinginan para agen: pembeli pertama TEMPO. Survei keagenan yang baru saja selesai kami lakukan, antara lain ingin mengetahui: apa sebenarnya yang diinginkan para agen, riwayat usaha mereka, tingkah laku dan prospek usaha mereka. Tak mudah memang. Selain mungkin baru pertama kali dilakukan oleh sebuah usaha penerbitan, para agen itu umumnya masih menjalankan usahanya secara sederhana, dan masih bersifat "tertutup". Tapi jawaban yang diperoleh dari sekian banyak agen yang tersebar di seluruh provinsi menunjukkan bahwa mereka umumnya (70%) telah bersedia menjawab daftar pertanyaan dari kami. Dari jumlah tersebut, sebanyak 23% merupakan usaha warisan orangtuanya, dan banyak juga (50%) memiliki usaha lain. Tapi yang menggembirakan adalah sebanyak 42% telah mengageni majalah TEMPO sejak awal terbitnya pada 1971, dan umumnya mulai dengan jatah pengambilan di bawah 50 eksemplar. Banyak di antara mereka yang maju, dan mempunyai jatah ribuan. Tapi yang paling menyenangkan adalah sebagian besar (90%) menyatakan mgm mengembangkan usahanya, dan terbuka untuk diajak kerja sama. Agen, sesuai dengan beleid pimpinan PT Grafiti Pers, penerbit TEMPO, memang dipandang sebagai partner usaha, seperti juga biro-biro iklan. Melalui kerja sama dengan agen itulah majalah kami kini bisa mencapai sekitar 150.000 eksemplar setiap terbit. Dwiyana Sutardja, insinyur ITB yang kini memimpin Bagian Pengembangan Pemasaran dan Riset di TEMPO, merasa bahwa hasil riset keagenan ini belum sempurna betul, dan perlu diperbaiki setiap dua tahun, seperti halnya survei pembaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini