Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah bom bikinan parung

Bom yang dipakai meledakan kantor BCA dan pasar glodok dipesan melalui Amir Widjaja, 32. Terbuat dari bahan mercon yang dipadatkan. (nas)

19 Januari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI mana asal bom yang menghancurkan kantor BCA dan toko Jaya? Alkisah, pada 16 September, di rumahnya, sepekan setelah penstiwa Tanjung Priok, Rachmat Basoeki kedatangan seorang tamu. Sang tamu, Tashrif Tuasikal, kenalan lamanya: keduanya pernah sama-sama ditahan dalam perkara Gerakan 20 Maret 1978 yang dipimpin Abdul Qadir Djaelani. Tashrif memberitahu Rachmat: ada sekelompok orang yang merencanakan meledakkan depot minyak Pertamina di Plumpang, PAM (Perusahaan Air Minum) Jakarta, PLN, serta Perumtel Jakarta. Rachmat Basoeki tidak setuju. Alasannya: perusakan bangunan-bangunan itu bisa merugikan masyarakat, dan pasti tidak akan mendapatkan simpati masyarakat. Pada 24 September, bersama Hasnul Arifin, Tashrif menemui Rachmat lagi. Tashrif memberitahu, "Bahan peledak sudah tersedia, dan yang akan melaksanakan telah siap." Yang belum ada tinggal sasaran dan dananya. Ia tidak menjelaskan dari mana bahan pcledak diperoleh dan siapa pelaksana peledakan. Rachmat Basoeki mengusulkan, yang diledakkan seharusnya sasaran yang secara ekonomis tidak merugikan masyarakat, tapi secara propaganda menguntungkan. Jatuhnya korban jiwa juga perlu dihindarkan agar tidak menjadi bumerang yang merugikan citra "perjuangan". Ia menyarankan agar kantor-kantor Bank Central Asia (BCA) yang diledakkan, "Karena BCA, yang dimiliki Liem Sioe Liong, merupakan lambang dominasi ekonomi Cina di Indonesia." Rachmat kemudian mengambil buku telepon dan memberikan alamat cabang-cabang BCA di Jakarta lengkap dengan nomor teleponnya, yang kemudian dicatat Tashrif. Rachmat menyarankan agar setelah bom dipasang, kantor BCA tersebut ditelepon hingga para karyawan dan nasabah selamat. Tashrif setuju dan meminta Rachmat mencarikan dana. Ia meminta Rp 1 juta, dengan perincian Rp 900 ribu untuk tiga buah bom dan Rp 100 ribu untuk biaya transportasi. Esoknya, Rachmat Basoeki menemui H.M. Sanusi di rumahnya. Ia menagih janji Sanusi membelikan skuter Vespa buat dia, yang akan dipotong dengan komisi penjualan tanah Sanusi di Gsarua yang dimakelari Rachmat. Rachmat Basoeki rupanya tidak tahu, saat itu sebetulnya Tashrif sudah memiliki bahan peledak. Ia juga tidak tahu bahwa pada 24 September itu juga Tashrif telah meminta Eddy Ramli melakukan observasi di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya. Kabarnya, tujuan Tashrif bukan untuk meledakkan monumen itu pada 1 Oktober, seperti yang dikatakannya pada Eddy, tapi sekadar untuk mengetes keberanian dan kemampuan Eddy. Tashrif sebetulnya telah dua pekan memiliki bahan peiedak itu. Menurut suatu sumber, bahan peledak itu sebenarnya jauh hari sebelumnya telah dipesan oleh Abdul Qadir Djaelani pada Amir Widjaja, seorang kenalannya yang juga ikut serta dalam Gerakan 20 Maret 1978. Konon, pada 7 September Tashrif diberitahu Amir Biki tentang rencananya meledakkan pabrik terigu Bogasari di Tanjung Priok, dan bahan peledak itu sedang disiapkan. Tashrif diminta mencari tenaga lapangan sebagai pelaksana peledakan. Keterangan ini sulit dikonfirmasikan karena Amir Biki telah meninggal, tertembak pada 12 September. Saksi mata juga tidak ada karena Tashrif mengaku, pertemuannya dengan Biki adalah perundingan empat mata. Esoknya, 8 September, menurut sumber yang sama, Tashrif menemui Djaelani di Kramat Raya 45. Djaelani menyuruh Tashrif menemui Amir Widjaja untuk menanyakan pesanannya. Pada 9 September, Tashrif menemui Amir Widjaja di rumahnya di Cipinang. Ia mendapat jawaban: pesanan belum siap, dan baru bisa diambil esok malamnya. Siapa Amir Widjaja? Kenalan lama Abdul Qadir Djaelani ini bekas mahasiswa Fakultas Teknik Jurusan Kimia Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang berwiraswasta menjadi pengusaha ubin. Amir Widjaja, 32, memesan peledak itu di Parung, yang dikenal sebagai daerah penghasil mercon, dengan dalih "bom untuk menangkap ikan". "Bom yang dipesan itu terbuat dari bahan mercon biasa yang dipadatkan," kata seorang pejabat. Yang menarik, kabarnya, jumlah bom yang dipesan ternyata lebih dari tiga. Sesuai dengan perjanjian, pada 10 September malam, Tashrif kembali ke rumah Amir Widjaja. Bahan peledak sudah siap. Tatkala Tashrif mau membawa tiga buah bom yang dibungkus karton Indomie itu dengan naik Bajaj, Amir Widjaja berkeberatan. Ia kemudian mengantarkan Tashrif pulang dengan mobilnya. Rupanya, setelah bom ada di tangan, Tashrif menghubungi Eddy Ramli dan Zayadi, dan mengajak mereka turut serta dalam proyek peledakan yang direncanakan. Kerusuhan di Tanjung Priok meledak pada 12 September malam. Belum jelas sejauh mana huru-hara itu mengganggu rencana peledakan yang konon disusun Amir Biki. Yang jelas, Tashrif kemudian rupanya memanfaatkan bom itu dengan "menawarkannya pada Rachmat Basoeki. Rachmat tidak tahu bahwa tenaga pelaksana yang direkrut Tashrif tcrnyata teman-temannya sendiri, seperti Eddy Ramli dan Yunus. Dana yang diusahakan Rachmat dari Sanusi dapat diperoleh. Belum jelas ber. apa jumlah yang sebenarnya, sekalipun Tashrif mengaku jumlahnya Rp 500 ribu. Dalam suatu wawancara, Rachmat mengaku, yang diberikan pada Tashrif sebetulnya "uang saya pribadi". Juga masih belum jelas mengapa Tashrif pada Rachmat mengatakan bahwa ia memerlukan Rp 1 juta untuk mcmbeli bahan peledak. Padahal, bahan peledak itu sudah ada padanya. Yang mungkin perlu dibeli cuma timer (belakangan yang dipakai tcrnyata timer kipas angin). Tashrif kemudian memang membagi sejumlah uang kcpada Eddy Ramli, Zayadi, dan Yunus untuk ongkos transpor pada 4 Oktober pagi. Pagi itu, secara berturut-turut tiga buah bom itu meledak. Dua orang tewas di toko Jaya, Glodok, akibat bom yang diledakkan Yunus. Belasan orang lagi luka-luka akibat ledakan di kantor BCA Jalan Gajah Mada dan Pecenongan, termasuk Zayadi sendiri. Kabarnya, dalam pemeriksaan, Yunus, Eddy Ramli, dan Zayadi mengaku tidik pernah disuruh Tashrif menelepon tempat yang dipasangi bom, untuk menghindarkan jatuhnya korban. Amir Widjaja sendiri, ayah dua anak yang dikenal pendiam dan taat beribadat, sempat buron sekitar tiga minggu, sebelum tertangkap 26 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus