SECARA berturut-turut, sejak awal pekan lalu, disidangkan perkara mereka yang dituduh terlibat dalam peristiwa Tanjung Priok 12 September dan peledakan kantor BCA 4 Oktober. Sejumlah tokoh terkenal akan duduk scbagai terdakwa atau saksi. Antara lain Abdul Qadir Djaelani, Tony Ardie, A.M. Fatwa, H.M. Sanusi, dan H.R. Dharsono. Mungkin karena itu jumlah pengunjung cukup banyak. Banyak yang terpaksa mengikuti jalannya sidang di pelataran pengadilan. Penjagaan yang ketat, tapi rapi, sejauh ini membuat sidang berjalan cukup lancar. Hingga Senin pekan ini telah disidangkan antara lain: Rachmat Basoeki, Sanusi, Eddy Ramli, Hasnul Arifin, Yunus, dan Khaerul Syah. Semua persidangan diharapkan selesai April mendatang. Para terdakwa dibagi dalam tiga kelompok. Mereka yang melakukan tindak pidana perusakan yang direncanakan dan terlibat dalam penyerbuan ke Polres dan Kodim Jakarta Utara pada 12 September malam termasuk kelompok pertama. Mereka akan dituntut dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Yang dimasukkan dalam kelompok kedua adalah mereka yang dituduh menggerakkan massa untuk menyerbu kantor Polres dan Kodim Jakarta Utara. Mereka akan dituntut dengan UU No. II/PNPS/1963. Yang juga akan dituntut dengan undang-undang antisubversi ini adalah kelompok ketiga: mereka yang dlanggap menglpas-nglpas, yang membuat massa melakukan kegiatan."Tanpa kegiatan awal ini tidak akan terjadi peristiwa Tanjung Priok," kata seorang pejabat. Termasuk kategori ini, antara lain, adalah tertuduh Mawardi Nur, Tony Ardie, Abdul Qadir Djaelani, dan A.M. Fatwa. Walau semua tersangka belum tertangkap (seperti Syarifin Maloko dan M. Nasir), yang berwajib rupanya telah mengambil kesimpulan. "Kedua peristiwa itu, kerusuhan Tanjung Priok dan peledakan BCA, tidak berdiri sendiri-sendiri," kata seorang pejabat yang mengetahui. Dengan kata lain, "Kedua peristiwa itu berkaitan," katanya. Tapi seberapa jauh kaitannya? Mengapa peristiwa Tanjung Priok sampai meledak? Apakah benar ada "komplotan" yang merencanakannya? Apa pula sasarannya? Menurut sumber resmi, sejak 1983, suasana Tanjung Priok sebenarnya sudah mulai menghangat, terutama pada ceramah dan pengajian di beberapa masjid. Isu yang paling sering diangkat adalah asas tunggal Pancasila. Ada juga beberapa isu lain: "kristenisasi", kesenjangan kaya miskin, dominasi ekonomi Cina, penggusuran, izin untuk dakwah, dan keluarga berencana. Banyak penceramah yang secara keras mencaci maki kebijaksanaan pemerintah. Penceramah yang banyak pendengarnya antara lain Abdul Qadir Djaelani, Salim Kadar, Syarifin Maloko, dan M. Nasir. Sedangkan salah satu masjid yang dikenal "keras" adalah masjid PTDI di Jalan Tawes. PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam) di Tanjung Priok rupanya tidak punya hubungan dengan PTDI (Pendidikan Tinggi Dakwah Islam) yang didirikan dan dipimpin sejumlah purnawirawan ABRI, seperti Letjen Soedirman. PTDI (perguruan) yang dipimpin H. Osmani Alhamidi, 71 - yang dikenal dengan panggilan "Abu" - diresmikan pada 1961, dan semula bernama Akademi Dakwah Islam. Semula terletak di Gang 28 di Jalan Sindang. Pada 1967 dibuka cabang di Pasar Minggu, yang dipimpin Abdul Qadir Djaelani, tapi ditutup dua tahun kemudian. Kini, PTDI memiliki sekitar 500 murid. Sedangkan tsanawiyah dan aliyah khusus putri, yang dibuka pada 1968, punya sekitar 180 murid. Dalam berbagai ceramahnya "Abu", demikian sumber yang mengetahui, sering menyebut "panglima". Yang dimaksudnya: Abdul Qadir Djaelani. Menurut beberapa sumber, rupanya waktu itu telah ada kesepakatan antara sejumlah tokoh di Tanjung Priok, termasuk Amir Biki, untuk "mengangkat" Qadir sebagai "panglima", dan Alhamidi sebagai "imam". Pertengahan Mei 1984, Amir Biki mengorganisasikan semacam unjuk perasaan di depan masjid Al-Hidayah. Tujuan aksi: untuk memaksa agar bioskop Tugu Theatre di depan masjid Al-Hidayah ditutup, karena dianggap terlalu dekat dengan tempat Ibadat. Lebih dari seribu orang bersalat Jumat menutup jalan di depan bioskop itu. Tapi peristiwa itu rupanya mengawali suatu keretakan antara kelompok tua dan muda. Diikutsertakannya banyak mahasiswa PTDI oleh Amir Biki di luar pengetahuan Alhamidi agaknya menjengkelkan Abu. "Sejak peristiwa itu Abu mulai tak senang pada Amir Biki," kata sebuah sumber di PTDI. Alhamidi tampaknya khawatir, unjuk perasaan itu bisa mempersulit "rencana besar". Amir Biki dinilainya kurang hati-hati. Salah satu bagian dari rencana itu kabarnya adalah suatu unjuk perasaan besar-besaran menentang asas tunggal Pancasila, yang konon akan di selenggarakan pada 1 Oktober 1984 di Gedung DPR Senayan dan Istana Merdeka. Muktamar I PPP yang diselenggarakan di Ancol, dan memutuskan menerima asas Pancasila, rupanya mengecewakan berbagai kelompok Islam di Tanjung Priok. Kecaman terhadap Pancasila dan pemerintah makin keras dan terbuka. Banyak pihak yang heran mengapa ceramah-ceramah seperti itu dibiarkan pihak keamanan tanpa ada tindakan. Menurut seorang pejabat tinggi, pihak keamanan bukannya tidak mengetahui adanya ceramah keras seperti itu. "Ibaratnya seperti orang merokok. Abunya tentu saja tak boleh dibuang di sembarang tempat. Asbak diperlukan untuk tempat abu. Nah, Tanjung Priok itu memang sengaja dijadikan semacam 'asbak', tempat penyaluran emosi," ujar pejabat tersebut. Isu agama agaknya juga berhasil untuk membangkitkan emosi massa. Antara lain tentang pembangunan gereja di tengah permukiman Islam yang didirikan "tanpa konsultasi" dengan masyarakat setempat. Akibat ceramah Qadir Djaelani malam Jumat 24 Agustus 1984 di Masjid Tipar Cakung, misalnya, esoknya terjadi perusakan gereja di Kelapa Gading. Pekan berikutnya yang diserbu adalah gereja di Kelurahan Sukapura, Cilincing. Akibatnya, sejumlah pelaku dan pimpinan penyerbuan ditahan yang berwajib di Polres 702, Jakarta Utara. Sementara itu, pada 31 Agustus terjadi suatu insiden di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru. Hari itu PII mengadakan acara halalbihalal. Entah mengapa Syarifin Maloko ditahan petugas keamanan. PII kemudian meminta bantuan Amir Biki. "Dengan surat Bang Amir, ternyata keesokan harinya Syarifin Maloko dilepaskan," ujar seorang anggota panitia silaturahmi. Beberapa hari kemudian di Masjid Tipar Cakung diselenggarakan pengajian dan takbiran menyongsong Idul Adha. "Ribuan massa malam itu berkumpul menutup jalan," cerita sejumlah saksi. "Malam itu kami memberitahu Polres, bila tahanan tak dilepas sebelum pukul 11 malam, massa akan bergerak," kata sebuah sumber. Sambil menunggu batas waktu ultimatum, massa mendengarkan pengajian dan bertakbir. Entah mengapa, mungkin untuk mencegah terjadinya bentrokan, para tahanan itu dilepaskan sebelum pukul 11 malam itu juga. Massa rupanya menganggap hal itu sebagai suatu "kemenangan", yang agaknya akan diulangi pada 12 September malam. Suasana jadi berbeda, ketika 10 September lalu telah telah terjadi pembakaran sepeda motor Sertu Hermanu, dan pemukulan Serma Rochmat. Obsesi Abdul Qadir Djaelani tampaknya masih seperti yang dikumandangkan-nya pada 1978: melaksanakan "rcvolusi Islam" di Indonesia. Itu terungkap dari berbagai ceramah yang diberikan Djaelani. Dalam salah satu ceramahnya, misalnya, ia menyebut-nyebut "Pancasila buatan manusia", "lahir dari kejawen, kebatinan", sedang seharusnya "satu-satunya hukum hanya Islam". Ia menyeru pada hadirin agar bertekad "mati syahid untuk keagungan Islam di Indonesia". Djaelani juga meminta hadirin melanjutkan perjuangan "sampai Islam tegak di negara ini". Katanya, "Anda harus atur rapi barisan. Caranya di setiap masjid, musala, kampung, membikin kelompok yang ada ketua dan wakilnya, agar gampang dikontak dan diberi komando. Tunggu saatnya. Kalau minta komando dari saya, ya saya komandokan." Ucapan ini mendapat sambutan ramai dari yang hadir. Maka, tatkala pada 8 September tersiar kabar: "ada anggota ABRI masuk dan menggeledah musala tanpa membuka sepatu" dan "musala dikotori dengan air got", masyarakat Gang IV dan Gang V Tanjung Priok segera percaya. Dasar kabar angin, dengan cepat berkembang menjadi "ada anggota ABRI yang beragama Kristen masuk masjid tanpa membuka sepatu". Akibatnya, suasana panas. Dalam sidang pengadilan pekan lalu, Sersan Satu Hermanu, yang menjadi Babinsa (bintara pembina desa) Kelurahan Koja, mcngaku pada 7 September itu ia mencopot sepatunya sebelum masuk musala Assa'adah, di Gang IV Koja Selatan. Hari itu crmanu, yang sebagai saksi di pengadilan disumpah secara Islam, meminta kepada heberapa remaja yang ada di musala untuk mencopot beberapa pamflet yang tertempel di bangunan itu. Pamflet itu antara lain berisi imbauan kepada remaja Islam untuk kembali ke sekolah dan masjid, serta imbauan pada wanita Islam untuk memakai jilbab (kerudung). Seorang di antara remaja itu kemudian mencopot sendiri pamflet itu. Esoknya, 8 September, Hermanu menemukan di musala Assa'adah tertempel lebih banyak pamflet. Pamflet yang tertempel di papan pengumuman dengan gampang bisa dilepasnya. Tapi yang tertempel di tembok luar tidak bisa dicopotnya. Hermanu kemudian melumuri pamflet itu dengan air got yang kehitaman. Pada 10 September, membonceng sepeda motor, Hermanu dengan Serma Rochmat pulang dari Koramil. Ketika melintas Gang IV dan V Koja Selatan, mereka berhenti. Hermanu ingin membeli rokok. Mendadak ia didatangi dua pemuda yang belum dikenalnya, Syarifuddin Rambe dan Syofwan. Dua hari sebelumnya, Syarifuddin dan Syofwan diberitahu Achmad Sahi, pengurus musala Assa'adah: ada anggota Babinsa masuk musala tanpa mencopot sepatu, lalu merobek pamflet. Sahi sendiri mendengar kejadian itu dari beberapa pemuda lain. Syarifuddin meminta Hermanu mengikutinya ke pos RW 05 yang ada di mulut Gang V. Seraya mengajak, kata Hermanu, "ia menuduh saya telah masuk musala Assa'adah tanpa membuka sepatu, dan memaksa saya untuk minta maaf kepada masyarakat." Hermanu menolak. "Saya masuk musala dengan mencopot sepatu saya. Buat apa saya minta maaf? Saya merasa tidak bersalah," kata Hermanu dalam sidang pekan lalu. Tapi, ujar Hermanu lagi, "Karena ABRI manunggal dengan rakyat, dan selaku Babinsa, saya turuti juga kemauan kedua orang itu." Hermanu ikut masuk dalam pos RW 05 itu. Tatkala dalam pos itulah ia mendengar massa, yang telah lama berkumpul, berteriak dari luar. "Kafir. Pecahkan saja kepalanya. Keluarkan Babinsa. Allahuakbar", teriak massa menurut Hermanu. Berbarengan itu, pasir dan batu dilemparkan ke arah pos. Serma Rochmat, rekan Hermanu, mendukung kesaksian temannya. "Saya, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, mengglring ketiga orang itu ke dalam pos RW 05." Rochmat mengaku terkena lemparan pasir dan pukulan tangan, setelah dorong-dorongan pintu dengan massa. "Saya berusaha sekuat tenaga mempertahankan pintu agar tak terbuka. Tapi tcnaga saya habis. Pintu terbuka. Seorang lelaki, berkulit sawo matang, saat itu mengenakan baju kuning gading, menarik dan memukul saya, sehingga pipi saya memar." Sebagian massa, yang tak bisa menjangkau Hermanu, lalu melampiaskan amarah pada sepeda motornya. Salah seorang di antaranya, Mohammad Noor, diketahui memukul tangki sepeda motor Honda yang sudah terguling itu dengan batu sebesar kepala. Entah siapa yang menyulut scpeda motor itu hingga terbakar. Tetapi seorang anggota provost Polres Jakarta Utara yang pekan lalu didengar kesaksiannya, Serda Dullah, yakin bahwa Noor turut menggulingkan motor, juga melemparkan puntung rokok, sehingga sepeda motor yang telah pecah tangkinya itu terbakar. Tapi Noor pada TEMPO membantah. Ia mengaku cuma memukul sepeda motor dengan batu. Duduk perkara yang sebenarnya mungkin bakal segera terungkap dalam sidang mendatang. Noor kemudian ditangkap patroli polisi. Juga Achmad Sahi, Syarifuddin Rambe, dan Syofwan. Keempatnya secara bergantian kini tengah diadili Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Penahanan keempat pemuda itulah yang menimbulkan percikan emosi massa, yang rupanya percaya pada berbagai versi desas-desus: dari "masjid disiram air got" sampai "tentara Kristen masuk masjid tanpa membuka sepatu". Esoknya, Amir Biki, yang dianggap berhasil membebaskan Syarifin Maloko, diminta bantuannya untuk melepaskan keempat pemuda yang ditahan itu. Tapi Amir tidak segera berhasil. Maka, tibalah hari itu, Rabu 12 September. Sebuah panggung didirikan di Jalan Sindang, di perempatan lorong 102. Puluhan pengeras suara diikat di tiang listrik sepanjang Jalan Sindang. Acara itu memang sudah lama direncanakan: pengajian remaja yang diisi ceramah beberapa ustad, antara lain Syarifin Maloko, Salim Kadar, Ratono, dan M. Nasir. Ternyata, dalam acara yang dimulai pukul 20.00 itu Amir Biki untuk pertama kalinya ikut memberi ceramah. Ia bahkan yang mengultimatum agar keempat pemuda yang ditahan itu dibebaskan sebelum pukul 23.00. Bila tidak akan terjadi "banjir darah" (TEMPO, 22 September 1984). Tampaknya, malam itu cara membebaskan tahanan yang berhasil pada malam Idul Adha akan diulangi. Tapi, seperti telah diketahui, hasilnya jauh berbeda. Kali ini sikap ABRI tegas. Ultimatum Amir Biki tidak dilayani pihak yang berwajib, hingga terjadilah Peristiwa Tanjung Priok. Banyak kalangan Islam di Tanjung Priok yang menyesalkan peristiwa itu. Dalam khotbahnya, Alhamidi esok siangnya menilai peristiwa itu "indisipliner" karena tidak berdasarkan "perintah panglima". Bagaimanapun, sejumlah korban telah jatuh, dan suatu lembaran hitam sejarah sudah terjadi. Pangab/Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani, yang mengungkapkan peristiwa itu sekitar 14 jam sesudahnya, telah mengerem timbulnya berbagai isu. Sikap Jenderal Benny, yang tidak serta merta menuduh suatu pihak atau kelompok mendalangi peristiwa itu, banyak dipuji. Ia juga menyebut kerusuhan Priok bukan suatu peristiwa agama. Toh desas-desus masih ada. Misalnya tentang jumlah korban. "Padahal, penjelasan resmi pertama Jenderal Benny itu berdasar laporan yang masuk beberapa jam setelah kejadian, hingga tidak seluruhnya akurat," kata seorang pejabat Mabes ABRI. Penjelasan yang lebih panjang lebar kemudian memang diungkapkan Jenderal Benny pada Komisi I DPR awal Oktober. Desas-desus itulah yang menyebabkan timbulnya gagasan sekelompok orang yang tidak puas untuk melakukan "balas dendam", atau untuk ikut memanaskan situasi. Hingga kemudian terjadilah peristiwa peledakan kantor BCA. Namun, bila benar bom yang dipakai Tashrif adalah yang dipesan oleh Abdul Qadir Djaelani, jauh hari sebelumnya, siapa tahu ada semacam skenario lain yang belum terungkap. Sidang pengadilan dalam beberapa pekan mendatang, mudah-mudahan, akan menyingkapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini