Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raungan mesin buldoser merayapi satu tepian lereng di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Senin pekan lalu. Sebanyak 41 bangunan—lebih dari separuhnya adalah tempat tetirah—dihancurkan. Satu di antaranya berlantai empat dan tampak masih baru. Tapi tak ada ampun yang diberikan. Semua dirobohkan karena alasan yang sama: berdiri di lahan negara atau kawasan hutan lindung.
Vila memang menjamur di kawasan Puncak. Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor pernah menghitung, dalam 20 tahun, sedikitnya 3.309 hektare lahan di sana telah tertutup bangunan. Hitungannya itu berpangkal pada 1990-an.
Pada periode itu pula majalah Tempo mulai menuliskan cerita pembongkaran vila di Puncak. Tepatnya pada edisi 15 Agustus 1992. Saat itu, tiga vila dan enam bangunan lain diratakan dengan tanah.
Yang menarik, ketiga vila itu disebut-sebut sebagai milik "orang besar", yakni bekas Gubernur DKI Jakarta Letjen Purnawirawan Tjokropranolo, Pangdam Jaya Mayjen K. Harseno, dan King Yuwono, pengusaha dari Jakarta. Kesembilan bangunan yang berharga total lebih dari Rp 1 miliar itu dianggap berada di lokasi yang seharusnya untuk perkebunan teh. Lebih dari itu, menurut Kepala Humas Kabupaten Bogor saat itu, Denny M. Moechry, bangunan yang terletak di sebelah kiri jalan Bogor-Puncak tersebut didirikan tanpa izin mendirikan bangunan. "Jauh sebelumnya, sejak fondasi bangunan dibuat, sudah kami peringatkan. Tapi, sampai tiga kali diperingatkan, mereka tak peduli juga," ujar Denny.
Setelah mengeksekusi tiga vila, pemerintah daerah Bogor lalu mengincar 56 bangunan mewah lain di lokasi itu. Menurut Bupati Bogor yang menjabat pada masa itu, Edi Yoso Martadipura, instansinya akan terus menertibkan berbagai bangunan di kawasan penyangga dan resapan air tersebut. Dasarnya, kata dia, adalah Keputusan Presiden Tahun 1983 tentang Penertiban Jalur Bogor-Puncak-Cianjur dan Keppres Tahun 1985 tentang Rencana Tata Ruang.
Yang membuat kesal Bupati Edi Yoso, seperti contoh ketiga vila tadi, mereka yang mendirikan bangunan di kawasan terlarang itu kebanyakan justru orang "melek hukum". Ia mencoba menertibkannya tanpa pandang bulu. "Ibarat ikannya dapat, tapi airnya tetap jernih," ujar Edi Yoso.
Pernyataan sang Bupati dirasakan di sekitar reruntuhan vila. Lokasi itu sempat tak boleh didekati sembarang orang, apalagi diliput wartawan. Banyak pengawal berbadan tegap tampak menjaga bekas vila itu. Di kejauhan, beberapa pekerja kelihatan terus melanjutkan pembuatan jalan aspal ke puncak bukit. Sebelumnya, ada jalan aspal sepanjang 1 kilometer di situ.
Bagaimanapun penggusuran itu merupakan gebrakan episode kedua. Antara Desember 1989 dan Januari 1990, sebanyak 23 vila di area seluas 822 ha milik PT Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP) itu pernah dibuldoser. Tapi, sejak April 1990, pemda tak berani mengusik ketenangan para pemilik vila. Sebab, ada perintah status quo dari Mahkamah Agung. Alasannya, sengketa tanah antara PT SSBP dan pemilik vila belum diputus pengadilan.
Sebelumnya, disebut-sebut ada beberapa vila yang digusur, termasuk milik Letjen Purnawirawan Leo Lopulisa, yang pernah jadi Panglima Komando Wilayah Pertahanan IV di Ujungpandang. Benarkah vila itu milik para jenderal? Ketika ditemui Tempo, Mayjen K. Harseno merasa heran disebut-sebut sebagai salah satu pemilik vila yang ditumbangkan itu. "Saya telah menelepon Bupati Bogor dan saya mendukung setiap penertiban di kawaÂsan itu," katanya. Dia mengaku tak pernah mempunyai vila di Puncak. "Saya memang punya rumah di Bogor. Itu pun diberi oleh Presiden ketika saya jadi ajudan."
Menurut Mayjen Harseno, vila yang digusur itu milik King Yuwono. "Saya memang pernah diundang ke sana untuk melihat vila itu sebelum jadi. Mungkin orang lain mengira itu punya saya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo