Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Operasi Gelap Tetangga Selatan

2 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI sudah dilakukan sejak zaman baheula, penyadapan lintas negara adalah aksi yang tak bisa dibenarkan. Menyadap untuk kepentingan nasional sebuah negara dipastikan akan mengganggu kepentingan nasional negara lain. Saling sadap sesungguhnya sebuah aksi saling mencuri—perbuatan yang diam-diam kerap diberi pembenaran: asal tidak ketahuan, ya, boleh-boleh saja.

Pada zaman kerajaan kuno, operasi spionase dilakukan melalui cara sederhana—misalnya memotong pesan rahasia merpati pos. Pada masa yang lebih modern, terutama di era Perang Dingin, operasi intelijen dilakukan sangat masif dengan melibatkan teknologi dan agen banyak negara.

Ketika dunia semakin terbuka, intelijen ternyata tak turut berubah. Mereka tetap hidup mengendap-endap di alam gelap. Operasi primitif itu pula yang dilakukan Australia ketika menyadap para petinggi Indonesia, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penyadapan Agustus 2009, yang dibocorkan Edward Snowden, bekas agen Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat, hampir dipastikan hanya sepotong episode operasi intelijen oleh negara itu.

Dalam perspektif Australia, Indonesia bisa jadi dianggap sebagai "ancaman dari utara". Meski dalam berbagai persoalan Australia sangat bergantung pada Indonesia—misalnya menangkal aliran masuk manusia perahu dari wilayah konflik, seperti Irak dan Afganistan—kedua negara sering memiliki kepentingan berbeda.

Operasi intelijen Australia di Jakarta sebetulnya tidak mustahil dibuktikan keberadaannya. Pada zaman Soeharto, misalnya, badan telik sandi Indonesia menangkap seorang diplomat Australia yang dituduh terlibat kegiatan intelijen. Diplomat ini kemudian dipulangkan ke negaranya.

Dokumen Snowden kemudian juga menjelaskan dengan gamblang kegiatan mata-mata yang dilakukan Australia, termasuk di Indonesia. Dokumen strategi global Badan Keamanan Amerika Serikat—antara lain "Signal Intelligence Strategy 2012-2016" yang ditulis Snowden pada Maret 2012 dan kemudian dibocorkannya—menyebutkan Australia sebagai bagian dari rencana permainan tingkat tinggi itu.

Melihat peta besar ini, pendekatan Presiden Yudhoyono pada awal kasus ini meledak terasa kurang pas. Alih-alih berkomunikasi langsung dengan Perdana Menteri Australia Tony Abbott guna menyampaikan protes, Kepala Negara berkicau di jejaring sosial Twitter. "Diplomasi media sosial" ini tidak segera menyelesaikan masalah. Apalagi Abbott kemudian juga menolak meminta maaf atas penyadapan terhadap Yudhoyono, Ibu Negara Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, dan sejumlah menteri.

Sikap lebih keras baru diambil kemudian. Presiden Yudhoyono mengirim surat kecewa kepada Abbott, memanggil pulang Duta Besar Indonesia untuk Australia, juga membekukan kerja sama militer kedua negara, yang meliputi operasi penangkalan imigran gelap, latihan militer gabungan, dan pertukaran data intelijen. Tindakan diplomatik itu sudah tepat guna menunjukkan kekecewaan Jakarta.

Sayang, Presiden Yudhoyono tampaknya cepat puas dengan respons mengambang Perdana Menteri Abbott. Padahal surat balasan Abbott atas keberatan Presiden itu tidak secara tegas menyatakan permintaan maaf, tapi hanya menyebutkan pentingnya hubungan baik kedua negara. Yudhoyono hanya meminta disusun "kode etik yang mengatur protokol dan menjadi pedoman hubungan diplomatik kedua pihak".

Mengingat kepentingan masing-masing, hubungan kedua negara perlu segera diperbaiki. Pemerintah harus menekan keras Canberra agar mengoreksi pendekatan intelijennya. Mereka seharusnya menghormati konsensus internasional untuk tidak memata-matai negara sahabat. Apalagi Konvensi Wina juga hanya membolehkan kedutaan melakukan kegiatan pengumpulan data yang bersifat terbuka.

Sembari berharap Australia, juga Amerika Serikat, mereformasi pendekatan intelijennya, Indonesia perlu meningkatkan standar pengamanan komunikasi antarpejabat, terutama untuk hal yang bersifat rahasia. Protokol pengamanan komunikasi sepatutnya dipatuhi semua pejabat guna mencegah kebocoran informasi.

Pemerintah Indonesia juga perlu aktif dalam gerakan internasional untuk menghentikan penyadapan ilegal. Usulan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berhubungan dengan hal ini sudah digalang Jerman dan Brasil. Gerakan ini perlu agar negara-negara besar tidak seenaknya memata-matai negara lain. Tanpa itu, mereka akan terus melakukan operasi gelap di tengah dunia yang semakin terbuka.

berita terkait di halaman 34

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus