BETAPA rumitnya hidup tanpa mata. Atau memiliki cacat badan
lainnya. Juga, banyak orang yang belum bisa membayangkan apa
kemewahan itu. Seperti apa rumah orang kaya, dan apa saja isi
rumah besar yang disebut hotel.
Dan 28 September yang lalu, bertemulah kedua "unsur" yang tidak
pernah bertemu tersebut. Di Ruang Emas (Golden Ballroom) Jakarta
Hilton -- ruang yang biasanya dipakai oleh orang-orang gedean
atau orang-orang berduit mengadakan pesta. Petang itu, tidak
kurang dari 400 anak-anak dari 11 panti asuhan diundang oleh
Hotel Jakarta Hilton untuk berhalal-bihalal. Hal ini telah
dilakukan dua kali oleh hotel tersebut, yang rupanya telah
menjadi tradisi Hotel Hilton di mana-mana. Yang pertama, mereka
lakukan waktu hari Natal tahun kemarin. Tahun ini, hari
Lebaranlah yang kebagian.
Musik Terapi
Ruang Emas yang luas itu kemudian diatur lain dari biasa. Di
tengah, ada beberapa bulatan yang merupakan meja bagi mereka
yang tidak melihat atau bagi mereka yang bisa duduk di bawah
Untuk anak-anak yang tidak bisa duduk di bawah, disediakan meja
bulat biasa dengan dikelilingi kursi-kursi. Di panggung, saling
bergantian pertunjukan beragam dari anak-anak panti asuhan
tersebut. Di sudut kiri, tampak band Rocking Chairs selalu siap
mengisi berbagai lagu, sementara tarian atau pembacaan sajak
sedang dipersiapkan di panggung.
Band Rocking Chairs adalah kelompok 6 anak muda yang karena
lahir atau kecelakaan bernasib malang, yaitu kehilangan daya
berjalan mereka sehingga harus terpaku terus di kursi beroda.
Suasana pokoknya cukup semarak. Beberapa bapak atau ibu
pengasuh, sibuk melayani anak-anak tersebut baik dalam hal
makan, maupun persiapan acara di panggung.
"Malamnya, saya tidak bisa tidur," tutur Siti Nurhaini, pelajar
kelas I SMP (Madrasah) di Grogol, Jakarta. Tambahnya lagi:
"Sebab wak Haji bilang, kita diundang oleh Hotel Hilton besok
sore." Nurhaini adalah penghuni Panti Asuhan Nurul Yaqin, milik
Haji Mide Daeng Pabeta. Pak Haji yang satu ini memang berasal
dari Sulawesi Selatan tapi telah 15 tahun lebih bermukim di
Jakarta. Dengan beberapa gerakan tangan, Kurniasih menjelaskan
kepada orang rumah dan tetangganya, betapa senangnya dia di
hotel bagus itu. Biarpun tidak bisa ngomong, Kurniasih
mengatakan lantai hotel itu sehalus kulit tangannya, banyak
perempuan cantik, makanannya enak dan perutnya jadi kenyang.
Baju dan kaos kaki yang diperolehnya dari pesta halal bihalal
itu, didekapnya terus ketika dia tidur. Hadiah itu dibungkusnya
kembali rapi-rapi, seakan sayang untuk dipakai.
Satu acara yang ditampilkan petang itu dan dirasa masih baru
untuk Indonesia: musik terapi, ditampilkan oleh anak-anak YPAC.
Musik terapi ialah musik pengobatan yang khususnya ditujukan
kepada anak-anak spaspic, anak yang menderita gangguan pada
pusat syarafnya, sehingga tidak dapat menggerakkan otot-otot
tangan atau kaki. "Di luar negeri, pengobatan anak-anak cacat
mental lewat musik sudah lama dijalankan," kata Nyonya Wisuda,
salah seorang pimpinan YPAC. "Tapi di Indonesia, baru pertama
kali diperkenalkan oleh Nyonya Bardach ini," sambungnya.
Sepatu Baru
Nyonya Ruth Bardach adalah satu dari sekian banyak orang asing
yang mengamalkan tenaga dan kepandaiannya untuk anak-anak cacat.
Dia berasal dari Texas. Ketika dia ikut suaminya di Hongkong,
nyonya yang suaminya bekerja di kedutaan ini diminta untuk
memimpin Sunday Bay Children Ortbopedia Home bermain musik. Dari
latihan di hari Minggu beberapa tahun itulah Ruth Bardach
ketagihan mengajar terus sampai berlangsung 3 tahun.
Ketika suaminya dipindah ke Jakarta, "ketagihan" itu tetap
diteruskan. Anak didiknya di YPAC kini ada kira-kira 40 orang,
mulai dari umur 5 sampai 18 tahun. Latihan biasanya berlangsung
selama 1,5 tahun, "dan yang saya ajarkan ialah dengan memberi
contoh memukul alat-alat musik," jawab Ruth Bardach. Pelajaran
diberikan dua kali dalam seminggu, selama satu jam berlatih.
Kata Ruth Bardach lagi: "Anak-anak tuna rungu bisa saja diajar
musik ini dengan memakai cara diberikan getaran atau vibrasi
dari suatu alat musik." Ruth Bardach selain mengajar anak-anak
cacat, dia juga mengajar para pamong anak-anak cacat tersebut.
"Alangkah baiknya kalau hotel lain juga mengadakan acara serupa
ini," kata seorang ibu yang mengantar anaknya yang tuna rungu
dan bisu. Mereka yang "normal" kemudian merasa bersyukur kepada
Dia dan merasa bahagia setelah menyaksikan acara petang itu.
"Ah, tahun depan saya akan menyumbang lebih besar lagi," ujar
seorang karyawan hotel tersebut. Rupanya dia sudah terlalu
terbiasa melihat yang cantik-cantik dan yang kaya-kaya selama
dia bekerja di hotel besar tersebut.
"Hadiah-hadiah tersebut," kata Titi Karsono yang jadi Kepala
Hubungan Masyarakat Jakarta Hilton, "adalah hadiah dari karyawan
yang saling menyumbang sebisanya." Para karyawan juga
menyumbangkan uang dan tenaganya untuk menghiasi Ruang Emas.
Sedangkan makanan, mulai dari kuwe-kuwe, nasi dan lauk serta
eskrim, adalah hotel.
"Sungguh, saya terharu sekali melihat acara ini," kata seorang
karyawan hotel yang lain. "Tapi tadi kenapa datang terlambat,
Pak Haji?", tanyanya lagi kepada seorang haji yang mempunyai
puluhan anak yatim piatu. Wak Haji dengan senangnya cepat
menjawab: "Kapan tadi saya beli sepatu baru dulu buat anak-anak.
'Kan masuk hotel gede, malu dong kagak punya sepatu." Kali ini,
Jakarta Hilton cuma bisa menampung sekitar 400 orang lebih.
Sulitnya jumlah panti asuhan dan penghuninya yang ada di Jakarta
jauh di atas jumlah tersebut. Sehingga seleksi harus benar-benar
dilakukan, baik bagi panti asuhan dan juga bagi penghuni dari
satu panti asuhan. "Kali ini, kami hanya menghubungi panti
asuhan yang gampang kami capai dengan telepon atau mudah
transportasinya," ujar Titi Karsono lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini