Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONDISI kendaraan yang tidak layak dan perilaku sopir yang ugal-ugalan dipercaya menjadi penyebab maraknya kecelakaan Metro Mini di Jakarta. Namun penataan, apalagi peremajaan, Metro Mini kerap mendapat perlawanan. Akhir Agustus lalu, misalnya, ratusan sopir dan pemilik Metro Mini meluruk ke Balai Kota DKI Jakarta gara-gara pengawasan kelayakan kendaraan diperketat.
Majalah Tempo edisi 26 Maret 1994 pernah mengulas ihwal maraknya kecelakaan yang melibatkan Metro Mini. Hanya dalam dua pekan puluhan nyawa melayang dilibas bus ukuran sedang berwarna menonjol oranye itu. Peristiwa yang paling tragis terjadi pada 6 Maret 1994. Saat itu, sebuah Metro Mini trayek Semper-Senen terjun ke Kali Sunter, Jakarta Utara. Sebanyak 45 penumpang yang berjejal dalam bus terbenam di sungai berair kotor dan hitam itu. Korban tewas 32 orang, 11 orang luka berat. Sopirnya selamat dan kabur.
Selang sepekan, sebuah Metro Mini yang ugal-ugalan melindas tewas pengendara sepeda motor di Jalan Arteri Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Karena sopir melarikan diri, massa menjadi marah dan merusak bus itu. Beberapa hari kemudian sepasang suami-istri tewas disambar Metro Mini yang ngebut di bilangan Grogol, Jakarta Barat. Lalu di Pamanukan, Jawa Barat, sebuah Metro Mini yang disewa untuk mengangkut pemudik Lebaran menabrak Suzuki Carry. Enam penumpang Carry meninggal. Seperti kejadian-kejadian sebelumnya, sopir melarikan diri.
Seringnya Metro Mini menebar maut membuat masyarakat mudah naik pitam dan main hakim sendiri. Seperti di Jagakarsa, Jakarta Selatan, sejumlah Metro Mini menjadi sasaran amuk massa gara-gara ditemukan mayat seorang warga setempat di pool Metro Mini di kawasan itu. Lima Metro Mini ringsek. Salah satunya hangus dibakar. Padahal belum ada bukti adanya kaitan antara mayat itu dan Metro Mini.
Wajah seram Metro Mini memancing para akademikus dan praktisi hukum ramai-rami membicarakannya. Ahli hukum pidana dari Universitas Diponegoro, Muladi, mengatakan kecelakaan Metro Mini dipicu praktek ilegal dalam pengoperasian angkutan kota itu. Semisal praktek suap dalam memperoleh surat izin mengemudi. Dan bukan rahasia lagi, sering pelanggaran diselesaikan di luar pengadilan, melalui praktek ”damai” dengan petugas. Hal seperti inilah, menurut Muladi, yang kemudian memicu masyarakat untuk main hakim sendiri.
Pernyataan lebih keras datang dari Sekjen Ikatan Advokat Indonesia Djohan Djauhari. Ia meminta para perancang KUHP yang baru meninjau kembali Pasal 359 dan 360 KUHP. Pasal itu biasa digunakan untuk menjerat pelaku kecelakaan yang menyebabkan orang lain meninggal. ”Apakah ancaman hukuman pasal kealpaan itu tak terlampau ringan?” ujar Djohan kala itu. Ia juga mendorong ahli waris korban menuntut ganti rugi secara perdata kepada perusahaan Metro Mini.
Reaksi agak nyeleneh datang dari Soegiono, pengusaha elektronik di Jakarta. Ia membuat sayembara memburu Ramses Silitonga, sopir Metro Mini yang terjun di Kali Sunter. Siapa saja yang berhasil menangkap dan menyerahkan Ramses akan ia ganjar Rp 25 juta. Konon, dari iming-iming duit itu, profesi pemburu hadiah atau bounty hunter, yang biasanya hanya marak di film koboi Amerika, hadir di Indonesia. Detektif swasta amatir bermunculan, bersama sejumlah pensiunan tentara hingga penganggur. Mereka berlomba memburu sang sopir.
Sebagian kalangan menilai sayembara yang diadakan Soegiono melecehkan kepolisian. Tapi, di luar dugaan, polisi justru bersikap sebaliknya. Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya Letnan Kolonel A. Latief Rabar menyambut sayembara itu dengan senang hati. Menurut dia, sayembara itu adalah bukti nyata peran aktif masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo