Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Cara Mega Menimang Jokowi

9 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Barangkali ini maksud Joyoboyo dalam ramalannya tentang zaman yang terbalik-balik. Ada orang ngebet menjadi presiden, sudah diusung partainya, iklannya sudah pula muncul berulang-ulang di televisi, tapi tak pernah nyantol di hati rakyat. Di sisi lain, ada orang yang mengaku tak pernah berpikir menjadi presiden, tapi menurut rakyat, dialah yang seharusnya memimpin negeri.

Ramalan Joyoboyo boleh dikesampingkan. Namun fakta menunjukkan Joko Widodo, yang kini masih Gubernur DKI Jakarta, melesat tinggi mengungguli calon presiden lain dalam berbagai survei. Padahal Jokowi selalu berkata "belum mikir". "Macet, banjir, keruk waduk, menertibkan pedagang kaki lima, mengurus Jakarta sudah repot," katanya. "Urusan politik tanya PDIP, tanya Bu Mega."

Dalam Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan pekan lalu di Ancol, Jakarta, Jokowi menjadi primadona. Kader berbagai daerah meminta PDI Perjuangan memunculkan namanya sebagai calon presiden. Bahkan pada pidato pembukaan, setiap kali Megawati Soekarnoputri menyebut nama Jokowi, tepuk tangan gemuruh. Megawati, dalam pidato bersemangat regenerasi itu, seakan-akan menjawab harapan kader partainya dengan menyebutkan menangkap getar-getar Bung Karno dari Jokowi.

Sinyal dari Mega sudah terlalu gamblang. Mega, sebagai ketua umum partai, sudah mengantongi mandat, hanya dari tangan dialah lahir calon presiden dari PDI Perjuangan. Rupanya, Mega mulai memperhatikan nasihat suaminya, Taufiq Kiemas, yang semasa hidup memintanya tak lagi mencalonkan diri. Sinyal bahwa Mega tak mau mencalonkan diri lagi membuat kader Partai Banteng berani lantang menyebut nama seseorang di luar trah Bung Karno. Selama ini kader PDI Perjuangan begitu "takut dan manut" kepada Mega dalam hal calon presiden.

Para kader perlu menunggu. Soalnya, rapat kerja nasional itu tak buru-buru memunculkan nama calon presiden, tapi hanya menyebutkan kriteria. Cuma, kriteria itu sudah sangat menjurus kepada Jokowi: Jawa, Islam, pernah menjadi kepala daerah. Meskipun masih ada calon selain Jokowi yang memenuhi kriteria itu, ketokohan mereka "belum berbunyi".

Menyimpan Jokowi tentu merupakan strategi. Pemilu presiden masih sepuluh bulan lagi. Jokowi bisa jadi sasaran tembak jika rapat itu memunculkan namanya sekarang. Banyak peluru untuk menembaknya. Pertama, konsistensi Jokowi yang selama ini menyebut "belum mikir" untuk maju. Jika rapat memunculkan namanya dan ia menerima begitu saja, tudingan—seperti yang dilansir politikus Gerindra—bahwa Jokowi tidak konsisten dan rakus kekuasaan akan sulit dibantah.

Kedua, penjegalan prosedural seperti yang sudah disebutkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta. Jika Jokowi jadi calon presiden, harus ada izin dari Dewan di DKI itu. Lalu soal prestasi Jokowi yang belum kelihatan, karena baru "seumur jagung" memimpin Ibu Kota. Bisa jadi muncul penjegalan program yang dilakukan lawan-lawan politiknya untuk membuktikan Jokowi gagal.

Pembelaan bisa dilakukan, memang. Misalnya, Jokowi memang "belum mikir" menjadi calon presiden, tapi partai menugasi dan masyarakat menghendakinya. Soal prestasi? Bisa ditunjukkan keberhasilan menata Waduk Pluit, Tanah Abang, dan program lelang jabatan. Juga soal keberpihakan Jokowi pada pluralisme, seperti mempertahankan Lurah Susan yang nonmuslim di Lenteng Agung dari protes sebagian warga muslim.

Pembelaan akan menguras energi. Maka bisa dipahami bila Partai Banteng menyimpan dulu nama Jokowi. Tak melansir nama Jokowi sekarang, tapi membiarkan kader daerah menyebutnya sebagai calon presiden, sepertinya menjadi rumus Mega dan petinggi Partai Banteng untuk memenangi pemilu legislatif. Strategi "menjual Jokowi" cara Mega itu bahkan diyakini akan menjaring suara pemilih cukup besar untuk memungkinkan PDIP mengusung calon presiden sendiri.

Dengan strategi itu, bisa saja mereka yang tak memilih PDIP selama ini, tapi tertarik pada sosok Jokowi, akan beralih ke Partai Banteng dalam pemilu legislatif nanti. Menurut pengalaman selama ini, dalam memilih presiden—seperti juga pengalaman dalam pemilihan gubernur dan bupati—rakyat melihat figur dan bukan program kerja. Adanya gerakan Jokowi Presidenku (JPK) dengan jaringan di berbagai kota membuktikan Jokowi dikehendaki bukan hanya oleh kader Partai Banteng.

Akan jadi masalah kalau suara PDIP tak cukup untuk mengusung calon sendiri. Koalisi bisa runyam jika partner PDIP memaksakan calon wakil presiden dari kalangan politikus. Idealnya, Jokowi didampingi profesional berwawasan internasional, yang bisa menutup kekurangan pengalaman dia di bidang ekonomi dan diplomasi internasional. Pendamping Jokowi itu tentu, lagi-lagi, tergantung Mega: apakah sang ketua partai sungguh rela mengabsenkan trah Sukarno jika PDI Perjuangan kelak berkuasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus