Di sebuah Selasa pekan silam, ketika matahari dengan garang menyiramkan seluruh tenaganya, berita itu bak udara sejuk bagi tubuh yang kuyup oleh keringat. Karaniya Dharmasaputra, redaktur pelaksana ekonomi dan investigasi majalah ini, berhasil meraih Bung Hatta Anti-Corruption Award. Dia bersama tiga orang lain yang terpilih—Erry Riyana, Moh. Yamin, dan Syamsul Qomar—dinilai sebagai orang yang bersih dari praktek korupsi dan penyuapan serta berperan aktif dalam pemberantasan korupsi dan memberikan inspirasi atau mempengaruhi masyarakat dan lingkungannya dalam pemberantasan korupsi (baca rubrik Album). Oleh sembilan anggota dewan juri yang memutuskan penghargaan ini, Karaniya terpilih untuk kategori masyarakat madani karena dia adalah wartawan yang pertama kali mengungkap hilangnya Rp 35 miliar dana Yanatera Bulog.
Dengan demikian, inilah penghargaan kedua bagi Karaniya, setelah setahun silam ia diganjar AJI Award untuk investigasi kasus Bulog II.
Bersama para redaktur pelaksana lainnya, Karaniya adalah tiang utama majalah ini. Yang istimewa dari dirinya bukan hanya kemampuannya mencium bau berita tak sedap korupsi, tapi juga karena Karaniya hampir selalu memperoleh bukti keras peliputan untuk mengungkap sebuah skandal. Kami sering bergurau dengan menyebutnya ”Mat Dokumen” karena matanya menyala-nyala jika dia atau anak buahnya berhasil memperoleh dokumen penting yang membuktikan sebuah skandal.
Lahir di Cianjur, 15 Desember 1968, sebagai putra sulung pasangan Sunjata Dharmasaputra (almarhum) dan Emmy Sunjata, sejak duduk di bangku SMP, ia mengaku sudah melahap Majalah TEMPO.
Kekagumannya terhadap profesi wartawan tumbuh karena ”TEMPO paling berani menyuarakan kritik dan perlawanan di masa kekuasaan Orde Baru yang otoriter,” kata Karaniya. Setelah 10 tahun masa kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada—karena terlalu sibuk berorganisasi—Karaniya mengalami berbagai hal yang kemudian melahirkan obsesinya untuk menumpas korupsi.
Sebagai aktivis Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia, sebuah perhimpunan agama Buddha, Karaniya merasakan pahitnya menjadi bagian dari kaum minoritas. Di zaman Orde Baru, Kara merasakan sulitnya mengurus izin penyelenggaraan upacara agama. ”Bayangkan, di negeri ini orang mau sembahyang saja diharapkan harus menyuap dulu! Setelah dibantu teman-teman wartawan, saya melihat bagaimana media bisa efektif mengerem korupsi.”
Dengan pengalamannya mengelola majalah internal Prajna Pundarika, Kara kemudian melamar bergabung dengan Majalah TEMPO yang lahir kembali pada 1998 setelah rezim Soeharto jatuh.
Selain membaca keberhasilan Karaniya dan timnya mengungkap skandal Bulog yang melibatkan nama Akbar Tandjung, para pembaca pasti masih ingat Laporan Utama TEMPO edisi Mei 2002 ketika Karaniya terbang ke Singapura untuk meliput kasus Sjamsul Nursalim. Saat itu, menurut kepolisian dan Interpol, Sjamsul sedang sakit dan terbaring lemah di salah satu rumah sakit di Singapura dengan biaya Rp 8 juta per hari, sementara Kara menemukan kamar rumah sakit yang disewa Sjamsul kosong. Kara berhasil mewawancarai Sjamsul, yang ternyata tampak sehat. Laporan Utama nomor ini pun adalah hasil temuan Kara dan timnya, yang mendapatkan dokumen keterlibatan Santayana Kiemas dalam bisnis penerbangan Indonesian Airlines. Seorang kawan mengatakan, semangat Karaniya memerangi penyimpangan keuangan bak sebungkah bara api yang tak kunjung padam.
Tentang penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption? Kara cuma berkomentar, ”Wah, tararengkyu, tapi itu hasil seluruh tim TEMPO, bukan saya sendiri, Bos (dia memanggil semua orang dengan kata ’Bos’),” katanya sembari sibuk mengais-ngais dokumen baru.
Agustus tahun depan, kami pasti akan merasa kehilangan Mat Dokumen ini, meski hanya untuk sementara. Bersama istrinya, Jurica, dan ketiga anaknya, Karaniya akan terbang ke AS untuk menempuh pendidikan S-2 atas beasiswa Fulbright. Sekali lagi, selamat!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini