Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Memenangkan 'Neon Box'

Kompetisi seni rupa di Indonesia tahun ini makin variatif. Juara Indonesia/ASEAN Award minggu lalu diumumkan.

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU Jaya Suprana tahu, mungkin Agus Yulianto, 26 tahun, anak muda lulusan jurusan grafis dari Institut Seni Indonesia Yogya itu, bisa tercatat dalam Museum Rekor Indonesia. Betapa tidak, belum sebulan, ia menyabet dua penghargaan seni rupa bergengsi. Minggu lalu ia dinyatakan sebagai 10 besar Indonesia/ASEAN Art Award (dulu Philip Morris Award). Surealand, karyanya yang bak mozaik mencampuradukkan gambar Nietzsche, Petruk-Gareng, Superman, Batman, dewa-dewi Cina, menyabet Rp 10 juta.

Dua minggu lagi hadiah lain menunggunya. Renungan dalam Kontradiksi, karya grafisnya, menjadi juara dua dalam Trienal Seni Grafis Indonesia 2003, yang diadakan oleh Bentara Budaya. Ia kembali menerima Rp 10 juta. Bukan soal uangnya, tapi berturut-turut juara, dengan materi karya yang berbeda?lukis biasa dan grafis?tentu sebuah prestasi. "Karya grafis saya ukurannya lebih besar," katanya. Dewan juri Indonesia Award memang membatasi karya peserta maksimal 200 x 200 sentimeter, sementara Trienal Seni Grafis tidak.

Kemungkinan perupa Indonesia bisa menyabet "dua sayembara" seperti Agus terbuka lebar, karena mulai tahun ini marak kompetisi seni rupa. Indonesia Philip Morris Award, misalnya, sudah lima kali menyelenggarakannya?sejak tahun 1994. Sekarang ada Indofood Art Award (telah memasuki periode kedua), Trienal Seni Grafis (baru pertama), dan event bukan lomba yang menyedot partisipasi para perupa mutakhir Indonesia, seperti CP Open Bienalle.

Sebaliknya, kemungkinan menjadi finalis di salah satu sayembara tapi sama sekali jeblok di sayembara lain juga bisa terjadi. Bukan tidak mungkin ada di antara finalis Indonesia Art Award yang mengirimkan karyanya?misalnya ke Indofood Award?dan kalah. Toh kriteria dewan juri berbeda. De Gustibus Non est disputandum, selera orang masing-masing, begitu kata pepatah Latin. Bagi Suwarno Wisetrotomo (yang bersana Mamannoor, Anusapati, Rizki A. Zaelani, Taufik Rahzen, menjadi dewan juri Indonesia Award), hal ini tidak menjadi masalah. "Menurut saya, bahkan bila mereka di award lain tersisih semenjak awal, ini menunjukkan karya-karya seorang perupa tidak absolut, tidak semuanya bagus, dan tafsir orang kepadanya bisa berlapis-lapis," katanya.

Suwarno hanya melihat, semakin banyak award seni rupa di Indonesia, semakin baik. "Sekarang ini masih kurang, kalau perlu tambah lagi," tuturnya. Namun, idealnya, tiap-tiap lomba memiliki standar sendiri. Memang sejauh ini Indofood Award, misalnya, tetap mengkhususkan diri pada lukisan spesifik untuk kompetisi 2003 ini dengan tema Lima Tahun Mengendapkan Perubahan (Reformasi 1998-2003). Sementara itu, Indonesia Award membebaskan tema dan tak terbatas pada medium lukisan. Jadi, bisa digital print, bisa fotografi, asal dua dimensi. Akan halnya Trienal Grafis 2003, misalnya, tidak menerima karya grafis dengan olahan digital print.

Ihwal fotografi dimasukkan, itu belajar dari "kasus" Philip Morris 2002. Philip Morris 2002 tingkat ASEAN memenangkan karya Francis Ng Teck Young dari Singapura: Constructing Construction, yang murni sebuah foto tanpa montase, hanya diperbesar melalui cetak print. Biasanya juri tingkat ASEAN adalah gabungan dari juri tingkat negara lokal. Namun tahun itu juri adalah kritikus dan kurator dari Amerika, Prancis, Taiwan, Australia, dan Korea. Pilihan mereka pada karya fotografi mengagetkan banyak orang.

Yang jadi soal, sampai sekarang Indonesia Award?nanti pada tingkat ASEAN dewan jurinya bukan dari negara ASEAN?masih terasa tidak bergema di kalangan komunitas fotografer. Belum banyak yang tahu bahwa persitiwa ini terbuka untuk karya foto. Padahal banyak fotografer kita yang memiliki eksperimen dua dimensi. Dari CP Open Bienalle, misalnya, kita melihat bagaimana foto Erick Prasetya, dengan konsep banal estetik, menyodorkan sedikit perenungan tentang apakah tangkapan foto bisa keluar dari kecenderungan kamera yang "voyeuristik".

Lima besar Indonesia/ASEAN Award 2003 adalah Ayu Arista Murti, Galam Zulkifli, Feri Eka Candra, Paul Hendro, dan Yusra Martunus. Mereka mewakili Indonesia untuk tingkat ASEAN di Thailand, April tahun depan. No 1: The Greatest Story karya Ayu, 24 tahun, dipilih karena kebaruan olahan materinya. Ayu menggunakan medium neon box. Selama ini kita tahu neon box atau adalah medium yang sering digunakan dunia iklan. Setiap sudut keramaian kota mana pun pasti terdapat puluhan papan iklan bercahaya terang. Dewan juri menganggap Ayu mampu memberikan tafsir baru atas medium ini. Ia melukis fairy tale dalam neon box. "Saya menggambar di komputer, terus ditambah lagi secara manual, baru memasukkannya dalam neon box," kata perupa dari Institut Seni Indonesia Yogya ini.

Yang menarik adalah karya Yusra Martunus, 30 tahun, Kerasan Mencair. Ada 200 buah tetesan air mata mengkilap dari cetakan aluminium ditata sederhana seperti bujur sangkar. "Ini bukan kekerasan mencair," katanya bila orang bertanya tentang benar-salahnya judul yang diumumkan Maman Noor, ketua dewan juri. Karyanya ini hampir senada dengan yang ditampilkan di CP Open Bienalle, Melunakkan yang Keras. Ratusan cetakan batang aluminium bengkok berbentuk tapal disusun rapi di dinding, tanpa diimbuhi apa-apa, mengandalkan perulangan dan kesederhanan. "Saya tidak suka menghias, memberi aksesoris atau pernik pada karya," katanya.

Polos, tapi puitis. Pantulan-pantulan mengkilap aluminium itulah yang juga disodorkan Yusra. Lulusan patung ISI ini dikenal sebagai anggota kelompok Jendela, sebuah kelompok dari Yogya yang memberikan perhatian pada materi benda sehari-hari. Ia melihat, sesungguhnya, banyak perupa yang memiliki kecenderungan berkarya seperti dirinya, tapi tak pernah mengirimkan karya ke lomba, karena menganggap sayembara-sayembara ini tak menampung gagasan mereka. Yusra merasa lega, ternyata Indonesia Award bisa menghargai itu. Di Thailand tahun depan, ditentukan apakah karyanya bersama empat karya rekannya di atas akan digdaya di tingkat ASEAN. "Kami belum bisa meraba ke mana arah estetik dewan juri ASEAN," kata Suwarno.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus