Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir kembali mengemuka. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said telah selesai membuat buku putih tentang listrik tenaga nuklir. Seusai Lebaran, Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Politik Dewi Fortuna Anwarmengatakan Indonesia dan Iran sedang mengkaji kerja sama di bidang teknologi nuklir.
Pemakaian energi nuklir sudah lama direncanakan pemerintah. Pada edisi 22 Januari 1994, Tempo mengulasnya. Waktu itu muncul keinginan Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) Djali Ahimsa membangun PLTN di kaki Gunung Muria, Jawa Tengah. Ide itu langsung dikritik.
Salah satu pengkritiknya adalah Ketua Umum Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid. Dengan gaya menyindir, Gus Dur mengatakan, "Kalau PLTN jadi dibangun, saya akan puasa di sana."
Urusan Gus Dur dengan reaktor nuklir itu menyangkut masalah umat NU, yang banyak berdiam di sekitar Semenanjung Muria. Ia khawatir hahdliyin jadi korban jika reaktor itu bermasalah. Maka, ia lebih suka memegang prinsip ihtiyati, mengutamakan kehati-hatian. "Selama masih ada keraguan akan bahayanya, lebih baik dibatalkan," ujarnya.
Kritik Gus Dur itu menanggapi perkembangan baru: studi kelayakan dan laporan data awal tapak PLTN Gunung Muria yang telah selesai dikerjakan oleh Newjec Inc, konsultan dari Jepang. Hasil studi itu diserah-terimakan dari Newjec ke Djali pada 30 Desember 1993. Menurut rencana, kalau tak ada aral melintang, Dirjen Batan itu akan menghadap Presiden Soeharto pekan itu untuk melaporkan hasil studinya.
Serangan yang datang menjelang laporan itu memang membuat posisi Djali serba repot. Tapi ia kalem saja, dan hanya menangkis tembakan Gus Dur itu dengan pasal yang agak klise: "Kalau terus dilanda ketakutan yang tak keruan, kita sulit bergerak maju. Kita akan makin tertinggal." Djali tampaknya berkukuh. "Saya tetap optimistis PLTN akan terlaksana, layak diterapkan di Indonesia," katanya mantap.
Pegangan Djali adalah studi mutakhir dari Newjec tadi, yang menyangkut banyak aspek: teknologi, sistem keselamatan, penanganan limbah, pembiayaan, masalah ekonomi, hingga manajemen operasi. Masalah lokasi pun diteropong, dari segi geologi, oseanologi, meteorologi, hidrologi, sampai ke hal-ihwal kemungkinan gempa.
Penelusuran dari segala penjuru itu, menurut Djali, akhirnya memilih Ujung Lemahabang, Kabupaten Jepara, sebagai calon terkuat lokasi reaktor. Pantai di kaki Gunung Muria itu dipandang aman, jauh dari kemungkinan gempa atau tanah longsor. Daerah itu dapat menampung instalasi nuklir untuk kapasitas 7.000 megawatt. Kalau setiap reaktor menghasilkan 600 MW, sebagaimana disarankan Newjec, di situ bakal dibuat 12 unit. "PLTN layak dibangun di Semenanjung Muria," kata Djali.
Budi Hardjono, anggota Komisi VI DPR RI yang gemar mengamati masalah energi, setuju dengan gagasan PLTN. Menurut Budi, PLTN memang sedang menjadi tren dunia. Semakin lama jumlah dan porsi sumbangan listrik dari reaktor nuklir, menurut anggota Fraksi PDI itu, semakin besar. Saat itu, katanya, ada 496 unit reaktor nuklir pembangkit listrik. "Dan ada 65 unit lainnya sedang dibangun," ujarnya.
Tapi tentu bukan soal mudah untuk memutuskannya. Satu unit PLTN berkapasitas 600 megawatt konon memerlukan investasi sampai US$ 1,5 miliar. Jelas ini tergolong megaproyek. Dengan kerawanannya terhadap kritik, hanya kemauan politik yang berani yang dapat mengegolkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo