Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Sekeping logam sebagai harta karun

Jual beli mata uang kuno dan adanya perhimpunan koleksi mata uang (ppkmu). bisnis uang ini cukup ramai, ada uang logam yang nilainya ratusan juta.

26 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UANG logam Rp 5 buatan Bank Indonesia 1970 maupun 1979 sekarang tak cukup untuk membeli sekeping krupuk. Meskipun demikian, jangan dibuang. Ia akan jadi harta karun. Sebab puluhan tahun kemudian alat pembayaran itu dapat bernilai ribuan dollar. Sekarang saja para numismatis (ahli mata uang lama) selalu mengincar uang-uang kuno, baik keluaran abad-abad lampau maupun yang baru berusia puluhan tahun. Dan sanggup membelinya dengan harga tinggi. Bahkan dalam sebuah lelang di Universitas Johns Hopkins (AS) akhir November 1979, sebuah mata uang logam Kolumbia buatan tahun 1787 laku AS$ 725.000, lebih dari Rp 453 juta. Lelang serupa juga berlangsung di California (AS) akhir Maret lalu --menampilkan ratusan jenis coin (yang logam) terkenal dari permulaan abad 17. Seperti diketahui Lydia adalah sebuah negara bagian Junani di abad ke-7 sebelum Masehi yang pertama kali memakai uang logam sebagai alat pembayaran resmi. Waktu itu coin-nya terbuat dari campuran emas dan perak. PPKMU Di Indonesia hampir setiap hari dapat dibaca iklan bersedia membeli mata uang kuno, emas dan perak, dengan harga tinggi di beberapa suratkabar -- yang dipasang para penggemar (sekaligus pedagang) mata uang lama. Hay Yin Coins salah sebuah toko yang melakukan bisnis jual-beli uang itu di Jalan Agus Salim, Jakarta, misalnya, sanggup membeli uang logam 3 gulden Belanda buatan tahun 1818-1832 dengan harga Rp 250.000 sekeping. Hay Yin pemilik toko itu, sudah 7 tahun melakukan jual-beli mata uang kuno. Kini dia memiliki 5.000 lembar uang kertas dan sekitar 300 uang logam dari perak. Sedang Lay Hoi Long, pedagang lain yang mempunyai kios di Hayam Wuruk Plaza, Jakarta, kini memiliki 10 kg mata uang logam, terdiri dari 500 mata uang perak, 3.000 keping mata uang tembaga dan sekitar 300 mata uang dari nikel. Baik Hay Yin maupun Hoi Long tak memiliki mata uang emas. "Sebab harganya selalu terseret oleh harga emas di pasaran," tutur Hay Yin. Menjual mata uang kuno memang tidak selaris tahu goreng. "Malah banyak yang menjual ketimbang yang beli," kata Hay Yin. Tetapi menurut pengakuan Lay Hoi Long, jual-beli di tokonya seimbang. Karena itu dia juga berani pasang iklan. Yang tidak sanggup dibelinya ialah mata uang asing dari abad-abad yang lalu karena harganya terlalu mahal. Lagi pula di Indonesia belum ada peminat yang mau menguber sekeping uang logam tua dengan harga jutaan atau puluhan juta rupiah. Organisasi para kolektor yang mempunyal kegemaran mengumpulkan mata uang di Indonesia didirikan 8 tahun lalu, dengan nama Perhimpunan Penggemar Koleksi Mata Uang (PPKMU). Jumlah anggotanya baru sekitar 200 orang. Memang hingga kini belum menerbitkan katalog yang indah (dengan gambar-gambar uang) atau majalah yang khusus untuk para penggemar uang kuno, seperti Rare Coin Review yang terbit di California. PPKMU baru mampu menerbitkan brosur stensilan yang masih berstatus surat edaran. "Tetapi yang perlu, perkumpulan ini berusaha mencegah larinya uang negeri ini ke luar negeri," ujar M.A. Affendi, Sekretaris PPKMU. Sebab biar bagaimanapun, seluk-beluk uang di Indonesia cukup menarik. Dalam brosur PPKMU, H. Natasuwarna dari Cianjur, Jawa Barat, menguraikan hikayat Gaika Hyoji Gumpyo yang kalau diterjemahkan dengan bahasa zaman itu berarti "uang balatentara (Jepang) dengan satuan asing." Jepang, selama perang Asia Timur Raya, mengeluarkan mata uang sendiri di tiap daerah yang ditaklukannya. Uang satuan asing itu nilainya -- waktu itu -- sama dengan yen, yaitu untuk kawasan Filipina, Malaya, Birma dan Hindia Belanda (Indonesia). Untuk kawasan Hindia Belanda dicetak seri ha dengan pecahan 10, 5, 1 dan « gulden dan 1 cent. Bagi mereka yang sekarang masih mempunyai uang zaman itu tentu bagaikan menyimpan harta karun. Para peminat uang kuno menilainya dengan harga tinggi. Lembaran Gaika Hyoji Gumpyo itu diawali dengan huruf kontrol SA dan SB. Huruf S di sini, konon singkatan dari kata Sumatra karena menurut rencana Jepang, mereka, akan menaklukkan Sumatera dulu, kemudian baru melebar ke Malaya dan pulau-pulau lainnya. Ternyata Pulau Jawa ditaklukkan lebih dulu karena lebih mudah. Uang Permesta Tahun 1942 pemerintah kerajaan Dai Nippon membangun Nampo Kaihatsu Kinko, semacam bank pembangunan untuk mengurus moneter taklukannya di kawasan selatan. Di Jakarta kemudian dicetak mata uang dengan gambar pemandangan Indonesia, seperti Candi Borobudur, Rumah Minang, Patung Bali atau Wayang Kulit Arjuna untuk 10 sen, dan hanya kepala Arjuna untuk nilai 1 sen. Selain uang dari zaman Jepang yang laku keras di Indonesia ialah uang Permesta. Pasarannya yang bernilai 5.000 rupiah, bisa laku sampai AS$ 100 --dibanding dengan uang 100 gulden NICA (Netherland-Indisch Civil Administration) yang hanya laku sekitar AS$ 80. Selama perang kemerdekaan, cukup banyak dikeluarkan jenis uang di Indonesia. "Coba lihat ini," kata Affendi, Sekretaris PPKMU, sambil memperlihatkan uang Palembang buatan tahun 1949. Mata uang ini unik juga: dicetak di atas kertas buku tulis dan hanya sebelah. Uang ini waktu itu ditandatangani Bambang Utoyo selaku Komandan Teritori Palembang waktu itu. Juga ada lembaran uang Pematang Siantar bertahun 1948, mata uang Bukittinggi buatan tahun 1947, yang ditandatangani Tengku Mohamad Hasan yang waktu itu menjabat Gubernur Sumatera. Uang Sumatera ini sah dan laku kalau ditempeli materai yang hanya bisa didapat dan dibeli di kas negara. Jadi kalau akan membeli beras yang berharga 10 rupiah sekilo misalnya, diharuskan lebih dulu membeli materai seharga 10 rupiah. Uang PRRI juga ada. Hanya cukup dibubuhi kalimat "alat pembajaran jang sah". Bahkan menurut katalog Departemen Keuangan, perkebunan-perkebunan asing di Sumatera pernah juga mempunyai alat pembayaran sendiri. Uang ini hanya berlaku bagi para kuli kontrak waktu itu yang didatangkan dari Jawa. Asal tidak palsu, uang-uang lama itu pasti dicari penggemarnya dengan harga tinggi. Palsu tidaknya uang tersebut, cuma para ahli itulah yang paham yaitu para anggota PPKMU. Dan yang palsu serupa itu memang sering ditawarkan kepada penggemar uang lama -- tapi tentu tak berharga sama sekali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus