UANG logam Rp 5 buatan Bank Indonesia 1970 maupun 1979
sekarang tak cukup untuk membeli sekeping krupuk. Meskipun
demikian, jangan dibuang. Ia akan jadi harta karun. Sebab
puluhan tahun kemudian alat pembayaran itu dapat bernilai ribuan
dollar.
Sekarang saja para numismatis (ahli mata uang lama) selalu
mengincar uang-uang kuno, baik keluaran abad-abad lampau maupun
yang baru berusia puluhan tahun. Dan sanggup membelinya dengan
harga tinggi. Bahkan dalam sebuah lelang di Universitas Johns
Hopkins (AS) akhir November 1979, sebuah mata uang logam
Kolumbia buatan tahun 1787 laku AS$ 725.000, lebih dari Rp 453
juta.
Lelang serupa juga berlangsung di California (AS) akhir Maret
lalu --menampilkan ratusan jenis coin (yang logam) terkenal dari
permulaan abad 17. Seperti diketahui Lydia adalah sebuah negara
bagian Junani di abad ke-7 sebelum Masehi yang pertama kali
memakai uang logam sebagai alat pembayaran resmi. Waktu itu
coin-nya terbuat dari campuran emas dan perak.
PPKMU
Di Indonesia hampir setiap hari dapat dibaca iklan bersedia
membeli mata uang kuno, emas dan perak, dengan harga tinggi di
beberapa suratkabar -- yang dipasang para penggemar (sekaligus
pedagang) mata uang lama. Hay Yin Coins salah sebuah toko yang
melakukan bisnis jual-beli uang itu di Jalan Agus Salim,
Jakarta, misalnya, sanggup membeli uang logam 3 gulden Belanda
buatan tahun 1818-1832 dengan harga Rp 250.000 sekeping.
Hay Yin pemilik toko itu, sudah 7 tahun melakukan jual-beli mata
uang kuno. Kini dia memiliki 5.000 lembar uang kertas dan
sekitar 300 uang logam dari perak. Sedang Lay Hoi Long, pedagang
lain yang mempunyai kios di Hayam Wuruk Plaza, Jakarta, kini
memiliki 10 kg mata uang logam, terdiri dari 500 mata uang
perak, 3.000 keping mata uang tembaga dan sekitar 300 mata uang
dari nikel. Baik Hay Yin maupun Hoi Long tak memiliki mata uang
emas. "Sebab harganya selalu terseret oleh harga emas di
pasaran," tutur Hay Yin.
Menjual mata uang kuno memang tidak selaris tahu goreng. "Malah
banyak yang menjual ketimbang yang beli," kata Hay Yin. Tetapi
menurut pengakuan Lay Hoi Long, jual-beli di tokonya seimbang.
Karena itu dia juga berani pasang iklan. Yang tidak sanggup
dibelinya ialah mata uang asing dari abad-abad yang lalu karena
harganya terlalu mahal. Lagi pula di Indonesia belum ada peminat
yang mau menguber sekeping uang logam tua dengan harga jutaan
atau puluhan juta rupiah.
Organisasi para kolektor yang mempunyal kegemaran mengumpulkan
mata uang di Indonesia didirikan 8 tahun lalu, dengan nama
Perhimpunan Penggemar Koleksi Mata Uang (PPKMU). Jumlah
anggotanya baru sekitar 200 orang. Memang hingga kini belum
menerbitkan katalog yang indah (dengan gambar-gambar uang) atau
majalah yang khusus untuk para penggemar uang kuno, seperti Rare
Coin Review yang terbit di California. PPKMU baru mampu
menerbitkan brosur stensilan yang masih berstatus surat edaran.
"Tetapi yang perlu, perkumpulan ini berusaha mencegah larinya
uang negeri ini ke luar negeri," ujar M.A. Affendi, Sekretaris
PPKMU.
Sebab biar bagaimanapun, seluk-beluk uang di Indonesia cukup
menarik. Dalam brosur PPKMU, H. Natasuwarna dari Cianjur, Jawa
Barat, menguraikan hikayat Gaika Hyoji Gumpyo yang kalau
diterjemahkan dengan bahasa zaman itu berarti "uang balatentara
(Jepang) dengan satuan asing." Jepang, selama perang Asia Timur
Raya, mengeluarkan mata uang sendiri di tiap daerah yang
ditaklukannya. Uang satuan asing itu nilainya -- waktu itu --
sama dengan yen, yaitu untuk kawasan Filipina, Malaya, Birma dan
Hindia Belanda (Indonesia). Untuk kawasan Hindia Belanda dicetak
seri ha dengan pecahan 10, 5, 1 dan « gulden dan 1 cent. Bagi
mereka yang sekarang masih mempunyai uang zaman itu tentu
bagaikan menyimpan harta karun. Para peminat uang kuno
menilainya dengan harga tinggi.
Lembaran Gaika Hyoji Gumpyo itu diawali dengan huruf kontrol SA
dan SB. Huruf S di sini, konon singkatan dari kata Sumatra
karena menurut rencana Jepang, mereka, akan menaklukkan Sumatera
dulu, kemudian baru melebar ke Malaya dan pulau-pulau lainnya.
Ternyata Pulau Jawa ditaklukkan lebih dulu karena lebih mudah.
Uang Permesta
Tahun 1942 pemerintah kerajaan Dai Nippon membangun Nampo
Kaihatsu Kinko, semacam bank pembangunan untuk mengurus moneter
taklukannya di kawasan selatan. Di Jakarta kemudian dicetak mata
uang dengan gambar pemandangan Indonesia, seperti Candi
Borobudur, Rumah Minang, Patung Bali atau Wayang Kulit Arjuna
untuk 10 sen, dan hanya kepala Arjuna untuk nilai 1 sen.
Selain uang dari zaman Jepang yang laku keras di Indonesia ialah
uang Permesta. Pasarannya yang bernilai 5.000 rupiah, bisa laku
sampai AS$ 100 --dibanding dengan uang 100 gulden NICA
(Netherland-Indisch Civil Administration) yang hanya laku
sekitar AS$ 80.
Selama perang kemerdekaan, cukup banyak dikeluarkan jenis uang
di Indonesia. "Coba lihat ini," kata Affendi, Sekretaris PPKMU,
sambil memperlihatkan uang Palembang buatan tahun 1949. Mata
uang ini unik juga: dicetak di atas kertas buku tulis dan hanya
sebelah. Uang ini waktu itu ditandatangani Bambang Utoyo selaku
Komandan Teritori Palembang waktu itu.
Juga ada lembaran uang Pematang Siantar bertahun 1948, mata uang
Bukittinggi buatan tahun 1947, yang ditandatangani Tengku
Mohamad Hasan yang waktu itu menjabat Gubernur Sumatera.
Uang Sumatera ini sah dan laku kalau ditempeli materai yang
hanya bisa didapat dan dibeli di kas negara. Jadi kalau akan
membeli beras yang berharga 10 rupiah sekilo misalnya,
diharuskan lebih dulu membeli materai seharga 10 rupiah.
Uang PRRI juga ada. Hanya cukup dibubuhi kalimat "alat
pembajaran jang sah". Bahkan menurut katalog Departemen
Keuangan, perkebunan-perkebunan asing di Sumatera pernah juga
mempunyai alat pembayaran sendiri. Uang ini hanya berlaku bagi
para kuli kontrak waktu itu yang didatangkan dari Jawa.
Asal tidak palsu, uang-uang lama itu pasti dicari penggemarnya
dengan harga tinggi. Palsu tidaknya uang tersebut, cuma para
ahli itulah yang paham yaitu para anggota PPKMU. Dan yang palsu
serupa itu memang sering ditawarkan kepada penggemar uang lama
-- tapi tentu tak berharga sama sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini