1933 adalah tahun sulit bagi Sukarno. Sekeluar dari penjara ia
menghadapi pertengkaran sengit antara Partindo lawan PNI-Baru.
Sejak PNI-Baru masih bernama "Golongan Merdeka" (Sudjadi), nama
inipun dipilih untuk menegaskan bahwa mereka adalah golongan
yang merdeka dari Partindo (Sartono).
Permusuhan dua kubu non-kooperasi itu menjadi sengit ketika
Sartono membubarkan PNI. Lebih-lebih lagi ketika Syahrir dan
Hatta sudah pulang ke tanah air. Kedua partai radikal ini
berebut klaim: siapa lebih memahami perjuangan. siapa lebih
pintar menganalisa situasi penjajahan, dan siapa pula yang lebih
dekat dengan rakyat. Apa boleh buat!
Keluar dari penjara Sukarno tak segera memilih salah satu
partai. Malah ia bersumpah 'selama hayat dikandung badan' akan
berjuang mempersatukannya. Usahanya ternyata gagal total. Sekali
peristiwa, ketika ia ingin menghadiri rapat PNI Baru di Bandung,
ia ditolak mentah-mentah dengan alasan bukan anggota partai.
Kejadian ini membuat Sukarno masgul dan sakit hati. Tibalah
saatnya untuk memutuskan masuk Partindo. 'Kini saya masuk Partai
Indonesia. Supaya orang melihat di mana Bung Karno duduk'.
Rupanya pertengkarannya dengan Hatta-Syahrir tentang 'persatuan'
dan 'non-kooperasi' menjadi pasal dasar yang menyebabkan mereka
tak bisa ketemu. Meskipun diajak, Syahrir benar-benar tak mau
ketemu muka dengan Sukarno, demikian juga Maskun.
Ditangkap De Jonge
Sejak masuk Partindo Sukarno sibuk mengadakan rapat-rapat
massal. Ia berkeliling, antara lain ke Kebumen, Ambarawa,
Semarang dan Batang. Dari 17 rapat hanya 4 dapat dilangsungkan
sampai selesai. Selebihnya distop polisi.
Gubernur Jenderal De Jonge (1931-1936) memang ganas. Belanda
satu ini berkata: 'Belanda memerlukan 300 tahun yang berikut di
Indonesia agar bangsa ini bisa sampai pada tahap siap untuk
berdiri sendiri'. Ditambahkannya pula: 'Kita telah memerintah
negeri ini selama 300 tahun dengan cambuk dan pentung, dan kita
masih akan menggunakannya 300 tahun mendatang.'
De Jonge yang gugup dengan peristiwa pemberontakan kapal Zeven
Provincien (Februari 1933) makin kalap. Dan ketika Sukarno
merencanakan aksi simultan di Ja-Tim, ia pun ditangkap tanggal 1
Agustus 1933. Dalam tahanan keluarlan keempat pucuk surat yang
'tak seorangpun ingin percaya' itu.
Adapun keempat surat tersebut semuanya ditujukan kepada Jaksa
Agung Belanda. Di salah satu surat tersebut diselipkan surat
untuk pengurus Partindo. Yang berisi pengunduran diri dari
partai tersebut karena tak bisa lagi menyetujui prinsip
perjuangan partai tersebut. Di masa depan Sukarno akan bekerja
sama dengan pemerintah penjajah.
Surat yang sarat rintihan duka lara tersebut antara lain
berbunyi (dalam bahasa Belanda): "Saya memanjatkan permohonan
ini ke hadapan paduka dan pemerintah agar berkenan kiranya
membebaskan diri saya. Saya berjanji akan meninggalkan
gelanggang politik .... Saya mohon dengan sangat .... agar diri
saya dilindungi dari tuntutan hukum ... Saya berterimakasih, dan
jika sudah bebas nanti saya akan nenunjukkan rasa terimakasih
itu dalam tindakan saya. Sekarang ini saya telah berubah sikap
.... Kasihanilah saya yang menanggung sengsara ini ....
Syarat-syarat yang mesti saya penuhi demi pembebasan diri saya
.... saya bersedia menerima tuntutan macam apa pun .... "
Tak ada yang sangsi bahwa surat tersebut benar asli. Tentu
saja meskipun surat itu misalnya bernilai sastra tinggi, tak
akan turut dimuat dalam kumpulan karangan Sukarno. Namun surat
minta undur dari Partindo telah beredar luas. Dan gegerlah dunia
pergerakan.
Jiwa renta
Ada yang mengatakan langkah Sukarno itu karena pertimbangan
keluarga. Ada yang mengatakan bahwa ia mengikuti nasihat para
sahabatnya dari kubu kooperator, dengan alasan bahwa ia akan
lebih berguna di barisan kooperator daripada non-kooperator. Ada
pula yang mengatakan bahwa tindakan tersebut hanyalah satu
taktik untuk mencegah agar teman-teman seperjuangannya tidak
mendapatkan perlakuan yang lebih ganas dari De Jonge.
Tapi kebanyakan (baik lawan maupun kawan) menganggap bahwa
Sukarno terbukti lemah wataknya. Khususnya saat ia menghadapi
ancaman fisik. Di tahanan ia mengalami depresi mental yang tak
tertanggungkan.
Tapi beberapa hati kemulian ketika suasana masih geger, Sukarno
diinterogasi. Dicatat komentar dari pihak Belanda hari
berikutnya 'tak ada alasan untuk mempercayai pertobatan
Sukarno'. Penulis biografi Sukarno, Dr. Bernard Dahm menulis:
Sukarno tak pernah berubah menjadi teman Belanda. Ia bertobat
hanya dari pemujaannya terhadap prinsip belaka.
Tahun 1941 (setelah hampir 8 tahun di pengasingan) Dr. G.F.
Pijper, penasihat pemerintah di Volksraad mengunjungi Sukarno di
Bengkulu, meminta agar ia mau menulis artikel yang pro Belanda
demi pembebasannya. Sukarno menolak permintaan itu dengan geram.
Bagaimanapun, keempat surat dari penjara itu tetap tersembunyi
sebagai teka-teki. Tak bisa diungkap apa gerangan maksud
sebenarnya. Sukarno sampai akhir hayatnya memang banyak
menyimpan teka-teki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini