"SUNGGUH, saya cinta sekali sama dia." Ketika mencetuskan kalimat ini, ekspresi di wajahnya tidak berdusta. "Tidak ada hal lain," kata wanita itu sungguh-sungguh. Gelora asmara telah membuat wanita ini mabuk kepayang. Ia tidak peduli bahwa pria kekasihnya itu berusia 20 tahun lebih tua. Bahkan sudah berkeluarga selama puluhan tahun dan kebetulan seorang pejabat tinggi. Belakangan mereka menikah setelah pacaran selama setahun. "Bapak yang mau kami kawin, karena kalau hubungan tidak diikat, kata Bapak, seperti menyepelekan saya." Perkawinan ini tidak sampai membuat si pejabat menceraikan istrinya. "Saya yang melarang," kata wanita itu. "Nggak apa-apa, karena saya yakin, Bapak lebih cinta pada saya," tutur Asmarini, yang tentu bukan nama sebenarnya. Aneh, hubungan gelap, yang biasa dianggap saudara dekat dengan pelacuran, ternyata lebih banyak dimarakkan oleh gelora cinta. Angket TEMPO menunjukkan gejala itu. Cinta, pada kesimpulan angket, merupakan asal-muasal hubungan para responden wanita dengan pria beristri. Kemudian, berbagai kisah hubungan luar nikah yang digali wartawan TEMPO di Jakarta dan daerah-daerah kembali menyodorkan alasan yang sama. Lika-likunya mirip-mirip cinta monyet di kalangan remaja. Jadi, sangat mengharu-biru, sekaligus "membutakan". Asmarini berstatus calon janda ketika bertemu dengan si dia. Ketemunya bukan sengaja, dalam pertemuan fungsional tidak bisa disebutkan demi kerahasiaan. "Bapak tahu persoalan saya," kata Asmarini, yang ketika itu terbilang istri yang menderita. Ia menikah dengan anak orang penting, yang ternyata haram jadah. Sudah bodoh, gemar pula menempeleng istri. "Perceraian saya tertunda-tunda terus, karena saya sangat memikirkan keempat anak saya, dan karena saya hormat sekali pada mertua saya," Asmarini membongkar kisahnya. Tapi sebagai calon janda -- waktu ketemu Bapak -- ia sudah bergerak di bidang bisnis. Kegiatan ini dirintisnya ketika ia masih sering dianiaya suami brengsek itu. Tapi, sebelum terjun ke bisnis, Asmarini benar-benar ibu rumah tangga sejati. Belakangan, bisnisnya berkembang. Apalagi setelah bercerai, ia masih kebagian harta yang terkumpul selama perkawinan. Tak jelas, apakah uang, warisan, atau apa. "Emas berlian, pokoknya," kata Asmarini sambil lalu. Semua logam mulia itu kemudian dijual untuk dijadikan modal. Yang sebenarnya mau dikatakan Asmarini, bahwa ia bukan tipe wanita "tukang porot". Ia tidak pernah minta duit pada suaminya yang pejabat itu -- yang ternyata memang pejabat golongan ekonomi sederhana. Ia konon juga tidak pernah membawa-bawa nama suami ke bidang usahanya. Dulu waktu masih menantu orang penting, hal itu pun tidak dilakukannya. "Malahan saya yang selalu memberikan hadiah yang mahal-mahal kepada Bapak," katanya. Pernah sekali, cincin seharga 40 ribu dolar. Di sini kita salah sangka. Bukankah biasanya -- paling tidak menurut gosip -- justru suami yang pejabat itu yang sering membagi-bagikan mobil. "Bapak juga cinta pada saya," ujar Asmarini lagi. Matanya berbinar-binar. "Waktu permulaan Bapak ketahuan kawin dengan saya, keluarga Bapak ribut. Tapi Bapak melawan dan bisa mempertahankan saya. "Pejabat ini memang lelaki tipe pahlawan. Jantan. Barangkali terbawa kebiasaan membela orang susah. Maka, istri mudanya pun dilindungi. "Kalau anggota keluarga Bapak coba-coba menyakiti hati saya, pasti kena labrak." Pernah suatu kali telepon dari Asmarini tidak dilaporkan. "Wah, Bapak marah besar, seisi rumah kena damprat." Pejabat pujaan Asmarini tergolong tipe pria konsekuen. Sang istri muda dibolehkan hadir pada acara-acara resmi, sewaktu istri pejabat itu juga hadir. Dan karena memang berbakat, Asmarini cepat menyesuaikan diri. Ia, misalnya, bisa dengan sabar mengikuti jalannya upacara tanpa kelihatan mengantuk. "Bapak, lho, yang ingin saya tampil. Yang memilih kebaya juga Bapak," Asmarini berucap penuh rasa bangga. Namun, untuk kalangan umum, hubungannya dengan pejabat beristri itu ditutup rapat. "Demi jabatan Bapak." Tapi Bapak tentunya tak bisa mendampingi Asmarini setiap hari. Paling-paling dua kali seminggu. "Ini yang sering membuat saya merasa tidak utuh," kata wanita yang lincah itu, mengeluh. "Ya, mau bagaimana lagi." Kadang-kadang Asmarini juga kesepian, namun jangan lalu menyangka ia berpetualang dengan pria lain. Haram. "Cinta saya cuma buat Bapak," tuturnya tandas. Dan sepasang mata itu berbinar lagi. "Kalau saya, paling haram pacaran sama suami orang." Ini pegangan Kencana, peragawati terkenal Ibu Kota. "Urusannya bisa panjang. Capek. Dia enak-enak sama bininya, kita yang sakit ati, belum lagi harus mengatur-ngatu siasat segala." Prinsip Kencana, pacaran bebas pakai seks, tapi harus bebas juga dari segala persoalan. "Ini baru kebebasan namanya," ia kedengaran seperti wanita sangat berpengalaman. Karena itu, Kencana, yang sudah lewat 25 purnama, belum juga mau kawin. "Nanti dulu, deh, saya masih mau bebas termasuk nyeleweng-nyeleweng itu." Tapi Kencana bukan perempuan murahan. Sumpah-sumpah ia menyatakan, tidak pernah menggunakan daya tarik seksnya yang memang luar biasa -- untuk mencari uang jajan. Memang, keuntungan materi bukan tidak dipikirkannya. "Bohong, kalau kita nggak perlu duit," katanya. "Gila apa, pacaran untuk makan cinta doang." Tapi hadiah atau pemberian lainnya tidak utama. Kepuasan di tempat tidur nomor satu buat Kencana. "Kecuali kalau lelaki itu punya kelebihan istimewa, umpamanya pintar dan enak diajak diskusi, semua jadinya bisa dimaafkan," tambahnya. "Tapi kalau sudah yang lain enggak di tempat tidur juga enggak, wah, buang-buang waktu saja." Bukan main, Kencana ini. Seks memang urusan penting untuk dia, karena dianggap bisa mengendurkan ketegangan. "Kadang-kadang saya nggak bisa kerja baik, kalau terlalu lama tidak tidur dengan pacar," katanya. Tapi gairahnya "nggak juga jalan kalau tidak cinta." Maka, untuk menuju peraduan, Kencana lebih dulu harus digelorakan oleh cinta. Tapi jenis cintanya kok ya susah dipahami. Gampang dibagi-bagi. Pernah suatu kali Kencana jatuh cinta pada -- lagi-lagi -- anak orang penting. "Dia cerdas, kaya, dan royal," katanya. "Saya biasa kerja keras untuk dapat duit, tapi waktu pacaran sama dia, nyebut barang apa saja, tahu-tahu barang itu sudah ada di depan hidung." Hubungan ini berlangsung serius, dan makin lama makin lebih serius. Karena itulah Kencana pernah bertemu dengan orang penting, yang ayah pacarnya itu. Tapi setelah dua tahun pacaran dengan cara sembunyi-sembunyi, kencan dengan anak orang penting itu akhirnya bubar. "Pertama, karena dia kelewat royal, bosan," ujar Kencana. Kedua, karena keturunan orang penting itu rupanya kurang mantap di tempat tidur. "Akhirnya pacar saya yang betulan juga yang the best dalam segalanya," ujar Kencana, enteng. Di Solo, hubungan Retno dengan pacarnya sedikit lebih ruwet dibandingkan hubungan Kencana dengan pacarnya. Retno yang anak saudagar kaya ini menjalin hubungan gelap dengan pacarnya, yang sudah beristri dan beranak. "Saya memang cinta sama dia, karena itu saya serahkan kegadisan saya padanya, dulu," kata Retno, yang nama aslinya sengaja dirahasiakan. Alkisah, dari awal Retno memang tidak mendapat izin untuk menikah dengan pacarnya itu. Alasannya, si pacar tergolong orang kebanyakan dan sekolahnya cuma SPG. Tepatnya, sang pacar itu calon guru. Keluarga Retno yang kaya tidak rela. Akhirnya, Retno disorong untuk bertunangan dengan pria pilihan orangtua, yang masih saudara sepupu. Ia menolak karena merasa ingin setia pada pacar tercinta. Maka, Retno lari ke Bandung, tinggal di rumah salah satu sanak famili. Alasannya, mau sekolah. Di Bandung, Retno yang pengangguran menjalani kehidupan bejat. Dalam pengakuannya, ia memang berasal dari keluarga yang tidak harmonis dan tidak tertib. Tampaknya, ada masalah berat antara dia dan ibunya. Di lingkungan keluarga, Retno cuma bisa berdialog dengan ayahnya. Namun, dalam banyak percakapan, soal moral rupanya tidak terlalu dipentingkan. Jadi, kebebasan seks yang dipraktekkan Retno bisa dipastikan tidak ada hubungannya dengan keinginan menunjukkan kemandirian. Ini pangkalnya kenapa di Bandung ia hamil, kemudian melahirkan seorang anak. Sekolah Retno pun berantakan. Ia terpaksa pulang ke Solo dan kembali ke rumah orangtua. Di sini ia bertemu kembali ke rumah orangtua. Di sini ia bertemu kembali dengan pacarnya, yang sudah menjadi guru SD. Hubungan segera dilanjutkan. Kini dengan status "gelap". Retno mengaku, si pacar itu tempat dia mencurahkan segala isi hati, selain bapaknya. Dengan sanak famili yang lain, Neno tidak bisa akrab. "Dia itu baik sekali, bisa mengurangi beban penderitaan saya," Retno memuji. "Karena itu, saya tidak peduli dia sudah beristri." Dalam kasus Retno, barangkali lebih sesuai kalau si guru yang disebutkan pria simpanan. "Saya melakukan apa pun buat dia," kata wanita "penyimpan" ini. Semua kebutuhan pacar gelap itu ia cukupi. Penghasilan si pacar sebagai guru SD memang tidak seberapa. Namun hubungan sembunyi-sembunyi ini pada akhirnya terbongkar juga. Yang melakukan penggerebekan bukan istri si pacar, tapi keluarga Retno. Terjadi keributan. Keluarga Retno berusaha mencari kejelasan duduk perkara. Dari pengusutan ini, Retno baru tahu bahwa si pacar telah menipu dia "tegak-tegak". Istri pacar itu sudah lama tahu suaminya pacaran dengan Retno. Tapi ia diam saja, karena membutuhkan tunjangan keuangan. "Saya baru tahu, semua uang yang saya berikan dipakai untuk mencukupi kebutuhan istrinya," kata Retno, yang merasa diperas. Bubarnya hubungan gelap dengan pacar membuat Retno kembali mempraktekkan seks bebas. Padahal, entah kapan ia tidak bebas. Tapi belakangan ini ia beringas. "Saya dendam sama laki-laki." Petualangannya di dunia seks terutama di warnai dengan motivasi mengganggu pria-pria beristri. "Kadang-kadang untuk mengisi kekosoagan," katanya ringan. "Kadang kadang untuk membalas saki hati." Dalam banyak kasus hubungan seks bebas, memang perempuanlah yang akhirnya dirugikan. Sering malah berlipat-lipat, seperti yang dialami Sum -- ini pun bukan nama sebenarnya -- wanita asal Desa Singasari, Kabupaten Japara. Kini Sum dan kedua anaknya tinggal di Semarang, di sebuah rumah kontrakan. Untuk menghidupi kedua anaknya, ia membuka warung. Siapa sangka, dulu Sum pernah mempunyai rumah yang dibangunnya dengan biaya Rp 20 juta lebih, Sum, yang berparas cantik itu, pernah menjadi wanita simpanan seorang saudagar, sebut saja Widodo, selama 15 tahun. Mereka bertemu secara kebetulan di kantor tempat Sum bekerja. Saudagar ini seorang pemasok. Dari pria yang kini sudah almarhum, Sum mendapat dua anak. "Saya mau diajak kumpul seperti itu bukan cuma karena uang," kata Sum mengisahkan. "Saya cinta sekali pada dia, malah pernah tergila-gila. Dia baik sekali." Lima tahun pertama hubungan gelap Sum dan Widodo berlangsung dengan tenang dan harmonis. Hubungan ini begitu rapi dirahasiakan oleh Widodo, hingga tidak satu pun anggota keluarganya tahu. Namun, suatu ketika, datanglah malapetaka. Anak mereka yang berusia 4 tahun sakit, sementara Widodo sudah seminggu tidak datang. Sum, yang sangat bergantung pada Widodo, tidak bisa berbuat apa-apa. Ia panik. Diburu kecemasan, Sum menyusul Widodo. Akibatnya sudah bisa diduga. Keluarga Widodo gempar ketika Sum mengaku bahwa ia peliharaan Widodo. Terjadi keributan besar antara Widodo dan istrinya. Sanak famili Widodo juga ikut-ikutan mengambil bagian dalam sengketa itu. Perceraian tidak bisa dicegah. Istri Widoda pulang ke orangtuanya di Surabaya. Keluarga Widodo bubar. Namun, saudagar ini masih punya "keluarga cadangan". Sepeninggal istrinya, ia pindah ke rumah Sum, yang memang dibelinya untuk wanita simpanannya ini. Seorang anak Widodo ikut, dan Sum tidak keberatan merawat anak itu. Pada masa inilah perekonomian Sum bangkit. Ia mempunyai kesempatan untuk membeli tanah di desanya, membeli tanah di kawasan strategis di Semarang, dan akhirnya membangun rumah yang 20 juta itu. Sum bahagia, walau mengaku masih sering diburu rasa berdosa karena telah merusak keluarga orang. Di tengah kebahagiaan itu, berulang kali Sum minta agar Widodo menikahinya secara sah. Namun, lelaki itu menolak. Alasannya yang persis, Sum tak pernah tahu. Widodo sendiri tidak merasa perlu memberi penjelasan. Akibatnya, keinginan Sum untuk dinikahi terabaikan begitu saja, sampai Widodo meninggal. Sum segera merasakan akibatnya. Seluruh harta Sum yang dihimpunnya bersama Widodo dirampas keluarga Widodo. Mobil, rumah berserta isinya, dan barang-barang pribadi Widodo. Dalam aksi main rampas ini, Sum tak punya pertahanan. Tidak ada sepotong bukti sah yang bisa menunjukkan bahwa ia istri Widodo. Tentu saja, keluarga Widodo mengetahui kelemahan ini. Sum dan kedua anaknya diusir, sementara anak Widodo diambil kembali oleh keluarganya. "Untung, saya masih punya perhiasan yang tidak mereka ketahui, dan sedikit uang," Sum mengisahkan. Hasil penjualan perhiasaan ini digunakannya untuk mengontrak rumah dan modal berdagang. "Saya sungguh dendam pada keluarga itu. Mereka keji sekali," ucapnya pahit. "Tapi saya tetap cinta pada Mas Widodo." Namun, riwayat Sum yang mengenaskan belum berakhir. Janda tidak resmi yang berparas cantik itu dengan cepat mengundang semut-semut jantan. Hadi, kawan dekat Widodo yang tinggal di Kudus tanpa kesulitan segera menjadi kawan akrabnya, lalu menggantikan kedudukan Widodo. Catat: Hadi pun punya istri dan punya anak. Namun, watak Hadi buruk. Lebih buruk dibandingkan Widodo, yang sebetulnya juga brengsek. Si kawan ini cuma datang bila iseng, dan sekali-sekali saja memberi bantuan. Kedatangannya terbilang jarang, karena ia tinggal di kota lain. Toh Sum, yang barangkali terlampau gampang jatuh cinta, mengaku Hadi bisa menjadi tempat ia menumpahkan perasaan. "Saya sampai suka iri kalau Mas Hadi lebih memberikan perhatian pada istrinya," kata wanita malang itu. "Ia jarang datang, dan jatah seks saya rasanya kurang." Celakanya, si Hadi juga cemburuan dan otoriter. Ketika Sum menjalin hubungan dengan pria lain, Hadi, yang sebetulnya tak punya status jelas, marah berat. Dan Sum takut. "Bagaimana juga, dia satu-satunya yang masih mau membantu saya." Akhir cerita, impitan kesulitan membuat Sum semakin lemah. "Saya sudah tidak tahan dan akan pulang saja ke desa," katanya. Ia merencanakan akan kembali ke kampung asalnya, Japara -- tempat R.A. Kartini dulu mencita-citakan perbaikan nasib kaumnya. Ironis, memang. Namun tak kurang menyayat adalah pengabdian wanita pada pria, -- yang semua dilakoni karena cinta. Di pihak lain, pria tak selalu bisa menerima bahwa kalau ada cinta, mesti ada perkawinan. Malah ada yang berpendapat bahwa cinta dan perkawinan adalah dua hal yang berbeda. Dan sama sekali tak ada kaitannya. Jim, Linda Djalil, Bandelan Amarudin ----------------------------- WANITA TERIKAT ----------------------------- Faktor ekonomi 42,28% Karena cocok 39,84% Punya ikatan bisnis 14,63% -----------------------------
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini