ADIWOSO punya mimpi besar. Insinyur tamatan universitas beken California Institute of Technology ini yakin dapat menyaingi Perumtel dalam memberi pelayanan jasa telepon. Asalkan diberi kesempatan, ia merasa mampu menyediakan telepon yang lebih murah dan cepat terpasang. Tentu saja ini bukan mimpi di siang bolong. Gagasan yang ingin direalisasikan di Indonesia adalah membuat jaringan Personal Communication Network (PCN), alias teknologi terbaru di bidang telepon yang tidak menggunakan kabel, melainkan gelombang radio sebagai saluran komunikasinya. Dan pesawat telepon yang digunakan berukuran kecil dan dapat dilipat, hingga disebut telepon saku. Gagasan itu dilontarkannya di pameran Intertelec '90 di Pekan Raya Jakarta, Selasa pekan lalu. "Saya mengusulkan agar STDI 2 dibatalkan saja, dan kita langsung melompat ke PCN," katanya. Usul ini memang punya alasan yang masuk akal. Karena tak perlu menggali kabel, PCN dapat segera dipasang. Selain itu, harganya terbukti lebih murah. STDI 2 (Sentral Telepon Digital Indonesia 2) yang masih ditenderkan itu investasinya jatuh sekitar 2.000 dolar AS per sambungan, sedangkan PCN menjanjikan biaya 700-an dolar saja. Harga pesawat teleponnya pun ternyata murah. Dalam perkiraan majalah terkemuka Businessweek, hanya sekitar 50 dolar. Maklum, pesawat telepon itu berukuran saku dan jangkauan gelombang radionya beradius 500-an meter saja. Walhasil, pesawat telepon PCN tak membutuhkan batere yang besar dan berat macam telepon mobil. Pasalnya, telepon mobil harus mampu menjangkau jarak 5 sampai 30 km, yakni jarak antarstasiun relay sistem telepon mobil cellular. Adapun untuk PCN, jarak antarstasiun relay itu hanya sekitar 500 meter. Jadi, kalau sistem PCN dirancang untuk menjangkau seluruh kota Jakarta, maka setiap radius 500 meter harus ditebar relay ini. Menurut Adiwoso, penebaran relay ini tidaklah sulit. "Soalnya, relay-nya hanya sebesar kotak sepatu, jadi bisa ditempel di tiang listrik," katanya dengan yakin. Sedangkan untuk daerah bergedung tinggi seperti di Jalan Thamrin, bisa diletakkan repeater dengan memanfaatkan lubang untuk lift. Bahkan untuk daerah perkantoran yang padat, PCN juga menyediakan sarana mirip sentral telepon kantor (PABX), yang menurut Adiwoso lebih canggih lagi. Misalnya saja orang luar mampu mendapatkan sambungan ke pesawat ekstensi secara langsung tanpa lewat operator. "Kalau perlu, pesawat yang memanggil bisa diidentifikasi nomornya sebelum pesawat diangkat. Pesawat telepon juga bisa diprogram agar memberi nada sibuk bila pemanggil berasal dari nomor-nomor tertentu," katanya. Itu semua tentu janji yang menggiurkan. Sayangnya, belum ada bukti kongkret. "Masih ada beberapa hambatan teknologi yang harus diatasi," kata pakar telekomunikasi Prof. Dr. Iskandar Alisjahbana. Misalnya saja apakah jaringan PCN dapat berjalan baik bila repeater yang dipasang sudah banyak jumlahnya. "Memang, secara teoretis dan laboratoris PCN sudah terbukti, tapi di lapangan masih harus diuji," kata Iskandar. Namun, diakui oleh Iskandar, Pemerintah Inggris sudah melisensi tiga perusahaan untuk membuat jaringan PCN pada 1992 nanti. "Jumlahnya sekitar 3,7 juta sambungan dengan biaya sekitar 2 milyar dolar saja," kata Adiwoso, yang mengaku sudah memegang hak keagenan PCN di Indonesia itu. Di Amerika Serikat pun keabsahan PCN ini belum lulus 100%. Menurut ketua otorita telekomunikasi AS (Federal Communication Commission = FCC) Alfred C. Sikes, hasil uji coba PCN akan diumumkan dalam beberapa bulan ini. Adiwoso tampaknya yakin benar terhadap keunggulan PCN. Maklum, hasil pengujian di laboratorium memang menjajikan banyak keunggulan. Biaya penggunaan pulsa, misalnya, diperkirakan hanya seperempat dari biaya telepon mobil cellular biasa. Maka, karena harga pesawatnya juga jauh lebih murah dari telepon mobil, lebih banyak konsumen yang mampu memilikinya. Walhasil, pengembalian modal investasi pembuatan jaringan PCN bisa berlangsung cepat. Tapi Pemerintah RI tak seoptimistis Adiwoso atau Margaret Thatcher. "Masih terlalu dini untuk menentukan telepon saku sebagai pilihan," kata Dirjen Postel S. Abdulrachman. "Apalagi sebagai pengganti sistem STDI 2 yang sudah kita pelajari itu," tambahnya. Tapi bukan berarti Pemerintah RI menutup mata terhadap perkembangan teknologi yang menggiurkan ini. Ditjen Postel telah menghubungi Pemerintah Inggris agar membuat percobaan sistem PCN di Indonesia sebagai proyek percontohan. "Dalam skala kecil untuk daerah yang tak terlalu padat penduduknya," kata Abdulrachman. Adapun Iskandar lebih optimistis daripada Pak Dirjen. "Saya kira PCN cocok untuk menjadi STDI 3 kita," katanya. Namun, keputusan mengenai hal ini sebaiknya ditunda sampai 1992. "Yakni setelah sistem di Inggris terbukti berjalan baik," kata bekas rektor ITB ini. Kalau terbukti PCN baik, teknologi ini tentu akan memukul sistem yang ada sekarang, seperti telepon mobil. Namun, teknologi telepon mobil pun sebenarnya terus berkembang. Dengan mendekatkan jarak antar-relay-nya dua kali lipat, misalnya, Ericsson sudah mampu membuat pesawat telepon mobil berukuran saku. "Kami perkirakan akan masuk ke Indonesia tahun depan," kata Don Roestam, Manajer Pemasaran PT Erindo Utama, agen Ericsson di Jakarta. Telepon ini, menurut Don Roestam, saat ini sudah dipakai di Australia. "Harganya sekitar 8 juta rupiah," tambahnya. Tommy Tamtomo, Bambang Harymurti (Jakarta), dan Gatot Triyanto (Amerika Serikat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini