Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Berburu petir di kebun teh

Percobaan menembak petir di kawasan puncak, berhasil. kerja sama indonesia yang dipimpin prof.dr. tunggul sirait dengan jepang yang dipimpin prof. kenji horii. karakter petir bisa dipelajari saksama.

21 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH pos komando mereka dirikan di tengah perkebunan teh Gunung Mas, di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor. Di dalamnya, beberapa orang berjaga-jaga -- di antara mereka terlihat pula warga Jepang. Mereka bersiaga penuh 24 jam sehari, dengan setumpuk perkakas elektronik dan beberapa buah roket mini. "Kami sedang berburu petir," ujar seorang petugas jaga, dengan nada bercanda. Tak sepenuhnya dia berseloroh. Tim beranggotakan 27 orang yang turun ke kebun teh Gunung Mas itu memang tengah melakukan eksperimen tentang petir. Dalam tim itu terdapat beberapa tamu ahli fisika atmosfer dari Universitas Nagoya, Jepang, yang dipimpin oleh Prof. Kenji Horii. Sedangkan kelompok peneliti Indonesia -- terdiri dari staf PLN, Lapan, ITB dipimpin oleh Prof. Dr. Tunggul Sirait, guru besar teknik elektro ITB. Kelompok peneliti itu berkumpul dengan target membuat ledakan guntur dari gumpalan awan, yang di ujung musim hujan ini masih bergelantungan di daerah Puncak. Mereka "berburu" antara 4 dan 19 April ini. "Kami telah memetik hasil pertama," kata Prof. Sirait, "Dan ini merupakan kejadian pertama di Asia Tenggara." Hasil perdana itu diperoleh 6 April lalu, pukul 22.07. Ketika itu, suara guntur seketika pecah-menggeledek dan disertai kilatan cahaya, setelah tim itu menembakkan roket mini berekor ke arah perut awan yang menggantung di atas kebun teh. Ledakan suara guntur itu menandai adanya penyusutan muatan listrik secara besar-besaran pada awan "korban" penembakan. Dalam gumpalan awan tebal, menurut Sirait, terdapat dua kutub listrik: satu di puncak dan satu lagi di dasar awan. Sesekali kutub positif ada di puncak dan kutub negatif di dasar awan. Namun, hal yang sebaliknya sering pula terjadi. Kapan kutub positif ada di bawah perut awan, atau berada di puncak, masih merupakan misteri bagi ilmu pengetahuan. Namun, kutub jenis apa pun yang ada di bawah perut awan, tak bakal jadi halangan. Sebab, penembakan roket berekor itu menjadi penghubung antara awan yang bermuatan listrik dan permukaan bumi yang secara alamiah selalu mengandung muatan listrik yang berlawanan, lantaran proses induksi. Dan ekor kawat baja yang ujungnya ditanam di tanah itu berperan sebagai jembatan bagi aliran listrik. Roket yang dioperasikan di kebun teh itu berbentuk silinder bergaris tengah 41 mm, dan panjang 20 cm. Jika dihitung dengan kaki-kakinya, roket tadi panjannya jadi 40 cm dan beratnya 4 kg Roket ini buatan perusahaan Inggris Pains Wessex Schermuly Ltd., biasa dipakai untuk tindakan darurat di kapal-kapal, misalnya ditembakkan untuk menyeberangkan tali dari satu kapal ke kapal lain. Harganya sekitar Rp 500 ribu per buah. Lantaran bisa terbang membawa tali itu, roket ini dicoba tim ini untuk membawa kawat baja menembus awan. Dan seperti dibuktikan di kebun teh itu, roket ini mampu terbang setinggi 500 meter, dan memaksa awan meletupkan petirnya. Setelah kilatan cahaya berpijar, roket dan ekor kawatnya hancur terbakar. Namun, tak semua tembakan roket itu bisa menghasilkan geledek. Hanya awan matang, "Yang kuat medan listriknya mendekati 7.000 volt/m," kata Prof. Sirait. Kuat medan itu bisa diukur oleh perkakas semacam radar pendeteksi kuat medan listrik. Secara alamiah, kuat medan listrik itu akan meningkat dengan menebalnya awan. Dan jika kuat medan itu melebihi angka 7.000 volt/m, besar kemungkinan akan terjadi guntur alamiah. Dari eksperimen itu, tim ini telah merekam pula peristiwa fisika yang terjadi selama petir menyambar: medan listrik yang ditimbulkan, misalnya, medan magnetnya, suhu udara sekeliling, bahkan frekuensi suara gunturnya. Sayang, menurut Sirait, rekaman itu hanya bisa dibaca di Nagoya yang punya perkakas komplet. "Tapi datanya akan dikirimkan kemari secepat mungkin," tambahnya. Eksperimen ini sebetulnya telah dilakukan tim Prof. Sirait. Setahun lalu, Sirait juga meluncurkan roket buatan Lapan untuk menjaring petir di Ciater, Subang, Jawa Barat. Tapi ketika itu percobaannya gagal. "Awannya tertalu tinggi, jadi tembakannya luput," tuturnya beberapa waktu lalu. Tapi dia tak jera. Akhir tahun lalu, dia sempat pergi ke Nagoya belajar menembak petir dari orang Jepang. Dalam urusan menjaring petir di Jepang memang ada sejumlah pakar, di antaranya, Prof. Susumu Aiba, dari Institut Teknologi Kanazama. Prof. Aiba bahkan menciptakan roket sendiri. Dengan roket buatannya itu, Aiba San mengklaim bahwa 65% dari 200 kali tembakannya berhasil melahirkan petir (TEMPO, 4 November 1989). Lewat eksperimen itu, menurut Sirait, karakter petir bisa dipelajari secara saksama. "Hasilnya bisa dipakai untuk merancang penangkal petir yang lebih andal dari yang ada," ujarnya. Hal itu cukup penting mengingat petir sering terjadi di Indonesia. Di Bandung, misalnya, angka kejadiannya mencapai rata-rata 20 kali sambaran/km2 per tahun, dan di Tarakan (Kalimantan Timur) bahkan sampai 99 kali/km2 per tahun. Putut Tri Husodo dan Dwiyanto Rudi S. (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus