MATAHARI masih di ufuk timur, ketika seorang ibu berjalan menuju
Pasar Rejowinangun, pasar terbesar di Kota Magelang. Di
punggungnya menggunung berbagai ragam sayuran, sedangkan di
dadanya ia mendekap seorang bayi.
Wanita itu tampak lebih tua dari usia yang sesungguhnya. Kainnya
yang terbuat dari lurik sudah tampak lusuh. Setagennya, melilit
hampir sampai ke bokong, kebiasaan berbusana wanita Jawa tak
lama setelah melahirkan anak. Pada dahinya bahkan ada pilis,
semacam ramuan bedak yang bisa membuat mata terang, terutama
bagi wanita yang habis melahirkan.
Sampai di pasar, seorang temannya membantu menurunkan beban yang
ada di punggungnya. Tapi bayi yang ada dalam dekapan masih
digendongnya. Mbok bakul (wanita pedagang wiraswasta ukuran
mini) tersebut kemudian menuju, sebuah rumah yang terletak di
sudut timur pasar. Di rumah yang berlantai semen, setengah
tembok dan menyimpan segala bau-bauan pasar itulah bayi si mbok
bakul dititipkan.
Cuma Rp 50
Ke-16 buah tempat tidur bayi di rumah penitipan itu penuh
terisi. Di ruangan lain, ada pula sebuah tempat tidur besar
untuk anak yang lebih besar. Rumah setengah tembok itu termasuk
kompleks pasar. Kebetulan di daerah itu tak sedikit ibu yang
harus bekerja, baik sebagai mbok bakul di pasar ataupun sebagai
pekerja pabrik rokok yang ada di dekat Pasar Rejowinangun.
Setiap hari ada 20 sampai 30 bayi atau anak di bawah usia 5
tahun yang dititipkan di situ. Ini berarti ada tempat tidur yang
berisi lebih dari satu bayi.
Tempat penitipan bayi ini adalah salah satu usaha Yayasan Ibu
yang didirikan Gabungan Organisasi Wanita Kodya Magelang.
Bermula pada 1952, ketika para nyonya pejabat Kotamadya Magelang
meninjau keadaan para wanita yang berdagang di pasar. Di Pasar
Rejowinangun nyonya-nyonya itu menyaksikan para mbok bakul
menyusui bayinya sambil melayani pembeli. Keadaan ini cukup
memprihatinkan. Bahkan sering bayi-bayi tersebut tergolek begitu
saja di antara barang-barang dagangan dan ada yang sudah bisa
berjalan berkeliaran ke mana saja. Melihat hal ini, ibu-ibu dari
Gabungan Organisasi Wanita kemudian melemparkan usul kepada
Walikota Magelang. Dan mendapat sambutan. Maka berdirilah rumah
penitipan bayi -- walaupun tidak sempurna (udara segar tidak
ada, selalu kekurangan uang). Tapi agaknya berhasil menolong
langsung ibu-ibu di pasar itu.
Rumah titipan itu menerima bayi mulai berusia satu bulan sampai
anak 5 tahun. Uang titipan cuma Rp 50. Bisa dibayar mingguan
atau harian. Si ibu harus memperlihatkan KTP-nya dan betul-betul
diperiksa apakah dia buruh pabrik, bakul pasar atau cuma ibu
yang sekedar mau belanja di pasar itu saja. Yang terakhir ini
ditolak. "Karena belanja 'kan tidak sampai satu hari," ujar
Nyonya Soehardjo, bendahari Yayasan Ibu. KTP juga diperlukan,
karena pernah seorang ibu yang mempunyai anak satu tahun
menitipkan bocahnya di Yayasan Ibu. Eh, si ibu itu tidak pernah
kembali. Walhasil anak tersebut masuk Panti Asuhan Negara dan
beruntung kemudian ada sepasang suami istri yang memungutnya.
Syarat lain untuk menitipkan bayi di Yayasan Ibu ialah si anak
harus dalam keadaan sehat. "Ini untuk mencegah jangan sampai
yang lain ikut sakit." sambung Nyonya Soehardjo. Pelayan dengan
tarif yang cuma Rp 50 ini agaknya cukup baik. Si anak diberi
makan dan dimandikan. Bagi ibu yang masih menyusui anaknya, pada
jam-jam tertentu dihaluskan setop kerja dulu untuk menyusui.
Anak-anak yang telah berusia 3 tahun, bahkan diajar menyanyi dan
menggambar. "Kami sediakan kapur untuk menggambar," ucap Nyonya
Soehardjo. Hampir tidak ada beda dengan bentuk-bentuk penitipan
anak yang menamakan diri dengan istilah playgroup. Tapi tentu
ada perbedaan, sebab di playgroup dipungut bayaran lebih mahal,
meskipun keadaannya jauh lebih mewah.
Anak-anak di Yayasan Ibu diasuh oleh 3 orang wanita. Kepala
pengasuh mendapat semacam gaji sebesar Rp 5.000 sebulan dan dua
pengasuh lainnya, masing-masing Rp 4.000. Gaji sebesar itu untuk
jam kerja dari pukul 07.00 pagi sampai 05.00 sore. "Susahnya
kalau ada ibu yang menjemput anaknya lebih dari jam tersebut,"
kata Nyonya Soehardjo, "sebab kamipun mempunyai kepentingan
pribadi untuk rumahtangga kami."
Untuk jadi pengasuh di sini, tentu tidak diperlukan ijazah atau
keterangan yang berisi pendidikan resmi. Asal bisa momong anak,
cukuplah. "Dan saya menganggap anak-anak itu seperti anak saya
sendiri," kata Nyonya Suginah (33 tahun), salah seorang
pengasuh. Dia dulu juga dibesarkan di Panti Asuhan "Meteseh",
Magelang. Dia mempunyai seorang anak dan suaminya seorang tukang
reparasi jam. "Dari pada menganggur di rumah," ujar Suginah
tentang pekerjaannya sebagai pengasuh, "cuma repotnya kalau
semua berbarengan menangis."
"Kami tahu tempat ini tidak memenuhi syarat kesehatan," ujar
Nyonya Soehardjo, ibu dari seorang anak sekaligus nenek dari 2
orang cucu, "tapi bagaimana lagi, tidak ada tempat yang lebih
baik dari ini." Usaha para ibu ini juga mendapat perhatian dari
Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah. Antara lain berupa bantuan
Rp 20 untuk setiap anak setiap hari. "Tapi uang dari Kanwil itu
kami terima setiap 3 bulan sekali," ujar Nyonya Soehardjo lagi,
"bahkan adakalanya 6 bulan." Obat-obatan disediakan juga
secukupnya. Paling tidak vitamin C. Menu setiap hari nasi tim,
sayuran dengan lauk-pauk tempe atau tahu. Sesekali dapat telur.
Air kacang hijau setiap hari. Dua kali dalam seminggu, si anak
diberi susu atau air tomat.
Lebih menarik dari semua itu adalah karena usaha sederhana tapi
penuh manfaat ini barangkali masih susah dicari duanya. Di
kota-kota lain, apalagi di Jakarta, tempat penitipan bayi memang
bukan usaha baru -- tapi dengan keadaan yang jauh lebih mewah
dengan tarif yang hanya mungkin bagi orang-orang tertentu --
karena diusahakan memang untuk mencari keuntungan.
Di Jalan Gunung Sahari III di Jakarta misalnya ada juga
penitipan bayi (sekaligus rumah bersalin). Tetapi rata-rata
hanya 10 orang anak saja sehari. Tempat penitipan ini lebih
bersifat bisnis. Menurut seorang pengurusnya bayi yang
dititipkan biasanya karena sang ibu bekerja, atau sedang masuk
rumah sakit atau ya sedang ke luar negeri. Yang diterima hanya
bayi yang sehat saja, dengan keterangan lengkap dari orangtua si
bayi. Kesehatan bayi harus diperiksa dulu oleh dokter rumah
bersalin tersebut.
"Dan kami tidak menerima titipan yang lamanya misalnya cuma 5
hari," ujar si pengurus. Lama penitipan minimal satu bulan,
dengan uang muka harus dibayar dulu. Tarif tergantung usia si
bayi. Bayi yang baru lahir sampai usia 3 bulan Rp 1.300/hari.
Bayi 3 sampai 6 bulan Rp 1.600/hari, 6 sampai 9 bulan Rp
1.900/hari dan bayi 9 sampai satu tahun, Rp 2.200/hari. Bayi
yang mendapat perawatan khusus (misalnya karena lahir dini)
dengan tarif khusus pula: Rp 3.500/hari.
Tarif di atas tidak termasuk ongkos makan dan pengobatan. Sebab
ongkos makanan disesuaikan dengan kebiasaan makan si bayi
tersebut sekaligus taraf hidup orang tuanya. Jadi ada yang biasa
makan susu impor atau cukup dengan susu lokal saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini