Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Si Mbok Menitipkan Bayinya

Di magelang ada tempat penitipan bayi bagi anak-anak mbok bakul dengan tarif rp 50,- sehari. (ils)

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI masih di ufuk timur, ketika seorang ibu berjalan menuju Pasar Rejowinangun, pasar terbesar di Kota Magelang. Di punggungnya menggunung berbagai ragam sayuran, sedangkan di dadanya ia mendekap seorang bayi. Wanita itu tampak lebih tua dari usia yang sesungguhnya. Kainnya yang terbuat dari lurik sudah tampak lusuh. Setagennya, melilit hampir sampai ke bokong, kebiasaan berbusana wanita Jawa tak lama setelah melahirkan anak. Pada dahinya bahkan ada pilis, semacam ramuan bedak yang bisa membuat mata terang, terutama bagi wanita yang habis melahirkan. Sampai di pasar, seorang temannya membantu menurunkan beban yang ada di punggungnya. Tapi bayi yang ada dalam dekapan masih digendongnya. Mbok bakul (wanita pedagang wiraswasta ukuran mini) tersebut kemudian menuju, sebuah rumah yang terletak di sudut timur pasar. Di rumah yang berlantai semen, setengah tembok dan menyimpan segala bau-bauan pasar itulah bayi si mbok bakul dititipkan. Cuma Rp 50 Ke-16 buah tempat tidur bayi di rumah penitipan itu penuh terisi. Di ruangan lain, ada pula sebuah tempat tidur besar untuk anak yang lebih besar. Rumah setengah tembok itu termasuk kompleks pasar. Kebetulan di daerah itu tak sedikit ibu yang harus bekerja, baik sebagai mbok bakul di pasar ataupun sebagai pekerja pabrik rokok yang ada di dekat Pasar Rejowinangun. Setiap hari ada 20 sampai 30 bayi atau anak di bawah usia 5 tahun yang dititipkan di situ. Ini berarti ada tempat tidur yang berisi lebih dari satu bayi. Tempat penitipan bayi ini adalah salah satu usaha Yayasan Ibu yang didirikan Gabungan Organisasi Wanita Kodya Magelang. Bermula pada 1952, ketika para nyonya pejabat Kotamadya Magelang meninjau keadaan para wanita yang berdagang di pasar. Di Pasar Rejowinangun nyonya-nyonya itu menyaksikan para mbok bakul menyusui bayinya sambil melayani pembeli. Keadaan ini cukup memprihatinkan. Bahkan sering bayi-bayi tersebut tergolek begitu saja di antara barang-barang dagangan dan ada yang sudah bisa berjalan berkeliaran ke mana saja. Melihat hal ini, ibu-ibu dari Gabungan Organisasi Wanita kemudian melemparkan usul kepada Walikota Magelang. Dan mendapat sambutan. Maka berdirilah rumah penitipan bayi -- walaupun tidak sempurna (udara segar tidak ada, selalu kekurangan uang). Tapi agaknya berhasil menolong langsung ibu-ibu di pasar itu. Rumah titipan itu menerima bayi mulai berusia satu bulan sampai anak 5 tahun. Uang titipan cuma Rp 50. Bisa dibayar mingguan atau harian. Si ibu harus memperlihatkan KTP-nya dan betul-betul diperiksa apakah dia buruh pabrik, bakul pasar atau cuma ibu yang sekedar mau belanja di pasar itu saja. Yang terakhir ini ditolak. "Karena belanja 'kan tidak sampai satu hari," ujar Nyonya Soehardjo, bendahari Yayasan Ibu. KTP juga diperlukan, karena pernah seorang ibu yang mempunyai anak satu tahun menitipkan bocahnya di Yayasan Ibu. Eh, si ibu itu tidak pernah kembali. Walhasil anak tersebut masuk Panti Asuhan Negara dan beruntung kemudian ada sepasang suami istri yang memungutnya. Syarat lain untuk menitipkan bayi di Yayasan Ibu ialah si anak harus dalam keadaan sehat. "Ini untuk mencegah jangan sampai yang lain ikut sakit." sambung Nyonya Soehardjo. Pelayan dengan tarif yang cuma Rp 50 ini agaknya cukup baik. Si anak diberi makan dan dimandikan. Bagi ibu yang masih menyusui anaknya, pada jam-jam tertentu dihaluskan setop kerja dulu untuk menyusui. Anak-anak yang telah berusia 3 tahun, bahkan diajar menyanyi dan menggambar. "Kami sediakan kapur untuk menggambar," ucap Nyonya Soehardjo. Hampir tidak ada beda dengan bentuk-bentuk penitipan anak yang menamakan diri dengan istilah playgroup. Tapi tentu ada perbedaan, sebab di playgroup dipungut bayaran lebih mahal, meskipun keadaannya jauh lebih mewah. Anak-anak di Yayasan Ibu diasuh oleh 3 orang wanita. Kepala pengasuh mendapat semacam gaji sebesar Rp 5.000 sebulan dan dua pengasuh lainnya, masing-masing Rp 4.000. Gaji sebesar itu untuk jam kerja dari pukul 07.00 pagi sampai 05.00 sore. "Susahnya kalau ada ibu yang menjemput anaknya lebih dari jam tersebut," kata Nyonya Soehardjo, "sebab kamipun mempunyai kepentingan pribadi untuk rumahtangga kami." Untuk jadi pengasuh di sini, tentu tidak diperlukan ijazah atau keterangan yang berisi pendidikan resmi. Asal bisa momong anak, cukuplah. "Dan saya menganggap anak-anak itu seperti anak saya sendiri," kata Nyonya Suginah (33 tahun), salah seorang pengasuh. Dia dulu juga dibesarkan di Panti Asuhan "Meteseh", Magelang. Dia mempunyai seorang anak dan suaminya seorang tukang reparasi jam. "Dari pada menganggur di rumah," ujar Suginah tentang pekerjaannya sebagai pengasuh, "cuma repotnya kalau semua berbarengan menangis." "Kami tahu tempat ini tidak memenuhi syarat kesehatan," ujar Nyonya Soehardjo, ibu dari seorang anak sekaligus nenek dari 2 orang cucu, "tapi bagaimana lagi, tidak ada tempat yang lebih baik dari ini." Usaha para ibu ini juga mendapat perhatian dari Kanwil Departemen Sosial Jawa Tengah. Antara lain berupa bantuan Rp 20 untuk setiap anak setiap hari. "Tapi uang dari Kanwil itu kami terima setiap 3 bulan sekali," ujar Nyonya Soehardjo lagi, "bahkan adakalanya 6 bulan." Obat-obatan disediakan juga secukupnya. Paling tidak vitamin C. Menu setiap hari nasi tim, sayuran dengan lauk-pauk tempe atau tahu. Sesekali dapat telur. Air kacang hijau setiap hari. Dua kali dalam seminggu, si anak diberi susu atau air tomat. Lebih menarik dari semua itu adalah karena usaha sederhana tapi penuh manfaat ini barangkali masih susah dicari duanya. Di kota-kota lain, apalagi di Jakarta, tempat penitipan bayi memang bukan usaha baru -- tapi dengan keadaan yang jauh lebih mewah dengan tarif yang hanya mungkin bagi orang-orang tertentu -- karena diusahakan memang untuk mencari keuntungan. Di Jalan Gunung Sahari III di Jakarta misalnya ada juga penitipan bayi (sekaligus rumah bersalin). Tetapi rata-rata hanya 10 orang anak saja sehari. Tempat penitipan ini lebih bersifat bisnis. Menurut seorang pengurusnya bayi yang dititipkan biasanya karena sang ibu bekerja, atau sedang masuk rumah sakit atau ya sedang ke luar negeri. Yang diterima hanya bayi yang sehat saja, dengan keterangan lengkap dari orangtua si bayi. Kesehatan bayi harus diperiksa dulu oleh dokter rumah bersalin tersebut. "Dan kami tidak menerima titipan yang lamanya misalnya cuma 5 hari," ujar si pengurus. Lama penitipan minimal satu bulan, dengan uang muka harus dibayar dulu. Tarif tergantung usia si bayi. Bayi yang baru lahir sampai usia 3 bulan Rp 1.300/hari. Bayi 3 sampai 6 bulan Rp 1.600/hari, 6 sampai 9 bulan Rp 1.900/hari dan bayi 9 sampai satu tahun, Rp 2.200/hari. Bayi yang mendapat perawatan khusus (misalnya karena lahir dini) dengan tarif khusus pula: Rp 3.500/hari. Tarif di atas tidak termasuk ongkos makan dan pengobatan. Sebab ongkos makanan disesuaikan dengan kebiasaan makan si bayi tersebut sekaligus taraf hidup orang tuanya. Jadi ada yang biasa makan susu impor atau cukup dengan susu lokal saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus