WAGINI seorang dara menginjak usia 17 tahun. Berwajah manis dan
bertubuh sedang tumbuh. Beberapa bulan lalu, Wagini sempat jadi
bahan gunjingan orang. Bahkan namanya sempat menghiasi kolom
beberapa surat kabar Medan. Tidak itu saja. Rumahnya di kampung
Perlanaan (kecamatan Bandar, kabupaten Simalungun, Sumatera
Utara), sempat ramai dikunjungi orang.
Soalnya begini. Rabu, 21 Desember 1976, malam hari Wagini
sedang tidur di bale-bale di kamar tidurnya. Bersamanya ada pula
dua orang adiknya. Tengah malam. Wagini tersentak dari tidurnya.
Sesuatu yang hidup dan dingin telah menjilati wajahnya. Di
keremangan lampu sentir, Wagini melihat bahwa benda bernyawa
yang telah membangunkan tidurnya adalah seekor ular berwarna
hitam dengan garis-garis kuning. Faham sudah apa yang terjadi.
Wagini begitu memuncak ketakutannya. Dia tidak berani dan tidak
bisa bergerak. Diam kaku.
Si Tiung
Eh. si ular yang bertubuh hitam kuning itu malah naik ke dada
Wagini dan nongkronglah dia di sana. Sementara itu, si ular yang
oleh penduduk situ biasa diberi nama ular tiung,
sebentar-sebentar mengeluarkan lidahnya menyapu sekujur muka si
dara. Dan jidat, Ieher Wagini basah kuyup oleh keringat dingin.
Begitu terpaku Wagini di tempat tidurnya, tak berani beringsut
sedikit pun karena dia takut kalau-kalau si tiung akan
memagutnya. Barulah setelah tiung beranjak turun dari tubuh
Wagini, serentak itu pula si gadis meloncat dari tempat tidur
sambil memekik: "Ular . . . ular . . . ulaar!".
Ayah tiri Wagini, Pak Nyono dan ibunya Jemi segera terjaga dari
tidurnya mendengar jeritan ini. Demikian pula tetangga kanan
kiri. Sambil menunjuk ke tempat tidurnya, dia menceritakan apa
yang dialaminya. Betul. Seekor ular, sepanjang hampir satu
meter, terlihat melingkar di bawah tempat tidur Wagini. Semua
yang melihat, jadi ternganga karena ular itu biasanya terkenal
sebagai ular yang berbisa dan jahat.
Orangpun semakin banyak berkumpul. Keputusan belum bisa diambil,
apakah ular akan diusir atau dibunuh. Tapi suara tentang si
tiung adalah binatang jadi-jadian atau binatang keramat, semakin
santer. "Kalau tidak, mengapa Wagini tidak digigitnya?", begitu
desis orang banyak.
Eh, Dia Lagi
Maka diputuskanlah untuk memanggil seorang dukun untuk mengusir
si tiung dengan baik-baik. Karena dia tidak juga mau beranjak
keluar kamar Wagini, biarpun banyak orang berkumpul di situ.
Sang dukun, dengan mantera-mantera dan ucapan: "Wagini orang
susah, anak yatim. Jangan diganggu tuan". Tidak diketahui apakah
kemauan si tuan tiung itu sendiri atau karena teriakan dukun,
jam 09.00 besok paginya tiung beringsut dari kamar tidur untuk
keluar. Tanpa bersuara dan banyak ulah, dia lewati pintu dapur
bagian belakang rumah untuk kemudian menghilang ke semak-semak.
Tetangga Wagini semakin percaya bahwa ular tersebut adalah ular
jelmaan. Kepala kampung setelah mendengar sassus ini, dengan
nada kurang percaya berkata. "Di belakang rumahnya banyak semak.
Apa nggak banyak ular di situ?". Dan dua malam berikutnya,
penduduk gempar.
Si tiung ada lagi punya ulah. Seusai Wagini membaca Qur'an
sekitar setengah sebelas malam, wanita ini menuju sumur di
belakang rumahnya. Untuk buang air kecil. Begitu Wagini akan
memasuki rumahnya kembali, si tiung bagaikan menghadang Wagini
-- telah melingkar lagi di tengah pintu dapur. Dan ributlah
Wagini. Dalam waktu singkat, orang-orangpun berkerumun lagi.
Sama seperti di malam pertama, ular tetap diam dan tenang tidak
mau pergi biarpun ramai orang datang menonton. Dukunpun
dipanggil lagi. Dengan mantera, barulah tiung mau beranjak dari
situ, untuk kemudian menghilang di balik semak. Gunjing dan
silat kata dalam bentuk yang lebin gencar melanda kampung itu.
Di rumah maupun di kedai-kedai kopi. Banyak yang percaya bahwa
tiung akan muncul lagi karena dia adalah jelmaan ayah Wagini
yang telah meninggal dan sangat sayang pada Wagini.
Tapi, setelah beberapa hari kemudian ular itu tak muncul-muncul,
pergunjingan tentang Wagini dan si tiung nyaris berhenti dan
dilupakan orang. Sampai suatu pagi, dia muncul kembali. Kali
ini, tiung melingkar di pohon endong (semacam pohon kamboja) di
samping rumah Wagini.
Biarpun dukun telah dipanggil, tapi kali ini tiung tidak mau
juga pergi. Bahkan meski anak-anak nakal melemparinya dengan
batu, sedikitpun si tiung tidak mau bergerak. Karena merasa iba
Wagini kemudian menambah sebilah kayu untuk memindahkan si
tiung. Anehnya, tiung kemudian menurut kemauan Wagini. Ular itu
kemudian dimasukkannya ke dalam sebuah peti. Agar lebih nyaman,
peti itu sebelumnya dilapis dengan sehelai kain batik.
Eh, Terlibat PKI
Hari-hari berikut, rumah Wagini banyak dikunjungi orang. Semakin
melebar pergunjingan tentang ular Wagini, semakin banyak pula
orang datang. Kini bahkan dari luar daerah: Perdagangan,
Pematang Siantar, Lima Puluh dan Kisaran. Pendek kata, rumah
Wagini jadi tempat orang melepaskan nazar, tempat memanjatkan
berbagai keinginan, minta kaya, anak dan minta apa saja. Mereka
yang datang, biasanya memberikan uang, menaburkan bunga rampai
dan membakar kemenyan. Banyak yang percaya, bahwa ular tersebut
adalah jelmaan dari ayah Wagini yang telah meninggal.
Dan hal ini cukup merepotkan Musda (Musyawarah Daerah)
kecamatan Bandar. Sampai seorang pejabat memberi komentar:
"Issue-issue negatif dan issue ular sebagai penjelmaan ayah
Wagini almarhum, bisa mengeruhkan suasana". Tambahnya lagi:
"Apalagi menjelang Pemilu begini". Paino, ayah Wagini, di tahun
1966 telah disingkirkan massa karena dia adalah pentolan PKI di
kampung itu.
Bahkan ada pula yang beranggapan kalau kisah ular ini adalah
rencana buatan dan sengaja. Maksudnya, bukan hal yang tak
mungkin kalau ular ini dilepas oleh pawang ular untuk kemudian
diaturlah kejadian seperti itu. Maksudnya untuk mengeruhkan
suasana atau setidaknya untuk cari duit. Dan diputuskanlah oleh
Musda bahwa si tiung harus dienyahkan. Jelmaan PKI ini (kalau
betul) harus disapu bersih.
Menangislah Wagini
Musda kemudian turun tangan. Maka pada suatu sore menjelang
magrib, Kepala Kampung Perlanaan, Abdul Hamid, dengan ditemani
oleh anggota polisi dan Koramil, dengan resmi mendatangi rumah
Wagini. Tiung diciduk atau lebih tepat disita, untuk kemudian
disingkirkan ke sebuah tempat rekreasi yang jauhnya 15 km dari
rumah Wagini.
Rupanya, Musda pun sedikit ragu akan berita betul tidaknya ular
jelmaan ini, karena ular yang mudah dibunuh itu, tak ada yang
berani mematikannya. "Ular itu mereka ambil dengan paksa dari
rumah saya", ujar Wagini. Gadis yang sempat akrab dengan si ular
ini menangis melepas kepergian ularnya. Si tiung kemudian dibawa
ke kantor Kepala Kampung dan dari situ, disertai iring-iringan
sepeda motor sebanyak 15 buah, ular dibawa ke Danau Pondok Laut.
Dan dihanyutkan ke sungai yang ada di sisi danau, dengan upacara
kecil dan dipimpin oleh Abdul Hamid sendiri. Ini semua
berdasarkan nasehat dukun, agar ular yang dibuang cukup jauh itu
tidak kembali lagi.
Sehilangnya tiung dari rumah, Wagini banyak termenung. Gadis ini
jadi murung dan sedih. Menurut ceritanya dua hari sebelum ular
disingkirkan, Wagini mimpi seorang tua telah memberinya seorang
anak bayi yang telah mati. Apa makna mimpi itu, tidak ada yang
tahu. Yang nyata, tiung pergi untuk tidak kembali.
"Saya besok mau menengok ular itu di Pondok Laut", ujar Wagini
dengan sendu, sambil memegang selembar foto si tiung. "Ini untuk
kenang-kenangan" tambah Wagini. Syarief Damanik, seorang tua
yang telah menetap di kampung itu lebih dari 15 tahun berkata
tentang kisah ular ini: "Selama saya di sini, belum pernah saya
jumpa ular seperti itu, ular yang ganas dan berbisa. Sudah tentu
ular jadi-jadian. Kalau tidak, apa lagi". Tidak diketahui dengan
pasti, apakah Wagini sering ke Pondok Laut untuk melepaskan
kangennya pada si tiung. Juga tidak ada yang tahu apakah Wagini
berhasil bertemu dengan si tiung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini