Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Si-tiung dan gadis wagini

Seekor ular masuk kamar gadis simalungun, wagini. karena selalu kembali setiap diusir dukun, ular itu akhirnya dipelihara wagini. orang kampung menganggap ular itu penjelmaan ayah wagini almarhum.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAGINI seorang dara menginjak usia 17 tahun. Berwajah manis dan bertubuh sedang tumbuh. Beberapa bulan lalu, Wagini sempat jadi bahan gunjingan orang. Bahkan namanya sempat menghiasi kolom beberapa surat kabar Medan. Tidak itu saja. Rumahnya di kampung Perlanaan (kecamatan Bandar, kabupaten Simalungun, Sumatera Utara), sempat ramai dikunjungi orang. Soalnya begini. Rabu, 21 Desember 1976, malam hari Wagini sedang tidur di bale-bale di kamar tidurnya. Bersamanya ada pula dua orang adiknya. Tengah malam. Wagini tersentak dari tidurnya. Sesuatu yang hidup dan dingin telah menjilati wajahnya. Di keremangan lampu sentir, Wagini melihat bahwa benda bernyawa yang telah membangunkan tidurnya adalah seekor ular berwarna hitam dengan garis-garis kuning. Faham sudah apa yang terjadi. Wagini begitu memuncak ketakutannya. Dia tidak berani dan tidak bisa bergerak. Diam kaku. Si Tiung Eh. si ular yang bertubuh hitam kuning itu malah naik ke dada Wagini dan nongkronglah dia di sana. Sementara itu, si ular yang oleh penduduk situ biasa diberi nama ular tiung, sebentar-sebentar mengeluarkan lidahnya menyapu sekujur muka si dara. Dan jidat, Ieher Wagini basah kuyup oleh keringat dingin. Begitu terpaku Wagini di tempat tidurnya, tak berani beringsut sedikit pun karena dia takut kalau-kalau si tiung akan memagutnya. Barulah setelah tiung beranjak turun dari tubuh Wagini, serentak itu pula si gadis meloncat dari tempat tidur sambil memekik: "Ular . . . ular . . . ulaar!". Ayah tiri Wagini, Pak Nyono dan ibunya Jemi segera terjaga dari tidurnya mendengar jeritan ini. Demikian pula tetangga kanan kiri. Sambil menunjuk ke tempat tidurnya, dia menceritakan apa yang dialaminya. Betul. Seekor ular, sepanjang hampir satu meter, terlihat melingkar di bawah tempat tidur Wagini. Semua yang melihat, jadi ternganga karena ular itu biasanya terkenal sebagai ular yang berbisa dan jahat. Orangpun semakin banyak berkumpul. Keputusan belum bisa diambil, apakah ular akan diusir atau dibunuh. Tapi suara tentang si tiung adalah binatang jadi-jadian atau binatang keramat, semakin santer. "Kalau tidak, mengapa Wagini tidak digigitnya?", begitu desis orang banyak. Eh, Dia Lagi Maka diputuskanlah untuk memanggil seorang dukun untuk mengusir si tiung dengan baik-baik. Karena dia tidak juga mau beranjak keluar kamar Wagini, biarpun banyak orang berkumpul di situ. Sang dukun, dengan mantera-mantera dan ucapan: "Wagini orang susah, anak yatim. Jangan diganggu tuan". Tidak diketahui apakah kemauan si tuan tiung itu sendiri atau karena teriakan dukun, jam 09.00 besok paginya tiung beringsut dari kamar tidur untuk keluar. Tanpa bersuara dan banyak ulah, dia lewati pintu dapur bagian belakang rumah untuk kemudian menghilang ke semak-semak. Tetangga Wagini semakin percaya bahwa ular tersebut adalah ular jelmaan. Kepala kampung setelah mendengar sassus ini, dengan nada kurang percaya berkata. "Di belakang rumahnya banyak semak. Apa nggak banyak ular di situ?". Dan dua malam berikutnya, penduduk gempar. Si tiung ada lagi punya ulah. Seusai Wagini membaca Qur'an sekitar setengah sebelas malam, wanita ini menuju sumur di belakang rumahnya. Untuk buang air kecil. Begitu Wagini akan memasuki rumahnya kembali, si tiung bagaikan menghadang Wagini -- telah melingkar lagi di tengah pintu dapur. Dan ributlah Wagini. Dalam waktu singkat, orang-orangpun berkerumun lagi. Sama seperti di malam pertama, ular tetap diam dan tenang tidak mau pergi biarpun ramai orang datang menonton. Dukunpun dipanggil lagi. Dengan mantera, barulah tiung mau beranjak dari situ, untuk kemudian menghilang di balik semak. Gunjing dan silat kata dalam bentuk yang lebin gencar melanda kampung itu. Di rumah maupun di kedai-kedai kopi. Banyak yang percaya bahwa tiung akan muncul lagi karena dia adalah jelmaan ayah Wagini yang telah meninggal dan sangat sayang pada Wagini. Tapi, setelah beberapa hari kemudian ular itu tak muncul-muncul, pergunjingan tentang Wagini dan si tiung nyaris berhenti dan dilupakan orang. Sampai suatu pagi, dia muncul kembali. Kali ini, tiung melingkar di pohon endong (semacam pohon kamboja) di samping rumah Wagini. Biarpun dukun telah dipanggil, tapi kali ini tiung tidak mau juga pergi. Bahkan meski anak-anak nakal melemparinya dengan batu, sedikitpun si tiung tidak mau bergerak. Karena merasa iba Wagini kemudian menambah sebilah kayu untuk memindahkan si tiung. Anehnya, tiung kemudian menurut kemauan Wagini. Ular itu kemudian dimasukkannya ke dalam sebuah peti. Agar lebih nyaman, peti itu sebelumnya dilapis dengan sehelai kain batik. Eh, Terlibat PKI Hari-hari berikut, rumah Wagini banyak dikunjungi orang. Semakin melebar pergunjingan tentang ular Wagini, semakin banyak pula orang datang. Kini bahkan dari luar daerah: Perdagangan, Pematang Siantar, Lima Puluh dan Kisaran. Pendek kata, rumah Wagini jadi tempat orang melepaskan nazar, tempat memanjatkan berbagai keinginan, minta kaya, anak dan minta apa saja. Mereka yang datang, biasanya memberikan uang, menaburkan bunga rampai dan membakar kemenyan. Banyak yang percaya, bahwa ular tersebut adalah jelmaan dari ayah Wagini yang telah meninggal. Dan hal ini cukup merepotkan Musda (Musyawarah Daerah) kecamatan Bandar. Sampai seorang pejabat memberi komentar: "Issue-issue negatif dan issue ular sebagai penjelmaan ayah Wagini almarhum, bisa mengeruhkan suasana". Tambahnya lagi: "Apalagi menjelang Pemilu begini". Paino, ayah Wagini, di tahun 1966 telah disingkirkan massa karena dia adalah pentolan PKI di kampung itu. Bahkan ada pula yang beranggapan kalau kisah ular ini adalah rencana buatan dan sengaja. Maksudnya, bukan hal yang tak mungkin kalau ular ini dilepas oleh pawang ular untuk kemudian diaturlah kejadian seperti itu. Maksudnya untuk mengeruhkan suasana atau setidaknya untuk cari duit. Dan diputuskanlah oleh Musda bahwa si tiung harus dienyahkan. Jelmaan PKI ini (kalau betul) harus disapu bersih. Menangislah Wagini Musda kemudian turun tangan. Maka pada suatu sore menjelang magrib, Kepala Kampung Perlanaan, Abdul Hamid, dengan ditemani oleh anggota polisi dan Koramil, dengan resmi mendatangi rumah Wagini. Tiung diciduk atau lebih tepat disita, untuk kemudian disingkirkan ke sebuah tempat rekreasi yang jauhnya 15 km dari rumah Wagini. Rupanya, Musda pun sedikit ragu akan berita betul tidaknya ular jelmaan ini, karena ular yang mudah dibunuh itu, tak ada yang berani mematikannya. "Ular itu mereka ambil dengan paksa dari rumah saya", ujar Wagini. Gadis yang sempat akrab dengan si ular ini menangis melepas kepergian ularnya. Si tiung kemudian dibawa ke kantor Kepala Kampung dan dari situ, disertai iring-iringan sepeda motor sebanyak 15 buah, ular dibawa ke Danau Pondok Laut. Dan dihanyutkan ke sungai yang ada di sisi danau, dengan upacara kecil dan dipimpin oleh Abdul Hamid sendiri. Ini semua berdasarkan nasehat dukun, agar ular yang dibuang cukup jauh itu tidak kembali lagi. Sehilangnya tiung dari rumah, Wagini banyak termenung. Gadis ini jadi murung dan sedih. Menurut ceritanya dua hari sebelum ular disingkirkan, Wagini mimpi seorang tua telah memberinya seorang anak bayi yang telah mati. Apa makna mimpi itu, tidak ada yang tahu. Yang nyata, tiung pergi untuk tidak kembali. "Saya besok mau menengok ular itu di Pondok Laut", ujar Wagini dengan sendu, sambil memegang selembar foto si tiung. "Ini untuk kenang-kenangan" tambah Wagini. Syarief Damanik, seorang tua yang telah menetap di kampung itu lebih dari 15 tahun berkata tentang kisah ular ini: "Selama saya di sini, belum pernah saya jumpa ular seperti itu, ular yang ganas dan berbisa. Sudah tentu ular jadi-jadian. Kalau tidak, apa lagi". Tidak diketahui dengan pasti, apakah Wagini sering ke Pondok Laut untuk melepaskan kangennya pada si tiung. Juga tidak ada yang tahu apakah Wagini berhasil bertemu dengan si tiung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus