SUPARTO belajar melukis tahun 1944 di Keimin Bunka Shidoso
Bandung. Kemudian dia belajar sendiri dengan banyak pengaruh
dari seni budaya primitip di museum Jakarta. Tahun 1962 ia
mulai mematung. Pada tahun 1971 ia mendapat Anugerah Seni. Kini
anaknya 10.
Di bawah ini adalah wawancara yang dilakukan di rumahnya. Ia
sedang mempersiapkan dua buah guci dengan proses teknik yang
baru.
Tanya: Kenapa anda senang pada yang primitip dan dekoratip?
Jawab: Setiap manusia saya kira punya penglihatan primitip. Itu
menjadi sumber. Saya kembali kepada sumber yang masih murni.
Karena setiap manusia mengerti segala sesuatu yang primitip. Di
samping itu, saya terpengaruh oleh lukisan Bali dan wayang,
dengan garis yang jernih dan penuh perasaah.
T: Apa saja yang ingin anda ungkap kan ?
J: Dulu hanya peristiwa-peristiwa dalam hidup. Sekarang ada
penemuan baru, baik susunan warna, tema dan ide. Masalah yang
saya garap kadang masalah manusia kadang masalah dunia,
peristiwa, cinta kasih, juga protes. Misalnya "Air Mata" itu
protes terhadap manusia yang bingung mencari nafkah. Untuk hidup
orang bisa merampok, mencuri dan sebagainya sehingga untuk bisa
bertahan dapat dikatakan orang harus mengucurkan air mata. Saya
berharap ada masanya nanti kita bisa hidup tanpa mengucurkan air
mata. Dengan seni lukis saya mengharapkan bisa ikut berjuang
untuk maksud-maksud sosial. Saya justm memperhatikan keadaan
masyarakat.
T: Dengan tidak menghiraukan anatomi apa anda merasa itu
sebagai pemberontakan:
J: Pemberontakan dan penemuan. Saya ingin mengucapkan sesuatu
dengan menarik perhatian.
T: Apakah anda terpengaruh oleh pelukis lain ?
J: Dari pelukis luar negeri ya. Misalnya Picasso, untuk
pemberontakannya. Klee, untuk penemuannya yang puitis. Rouseau,
untuk keprimitipannya. Chagall, untuk filsafatnya.
T: Bagaimana hubungan anda dengan Mulyadi W dan Widayat yang
melukis lugu seperti anda.
J: Mulyadi sebenarnya terpengaruh oleh saya, karena dulu dia
tidak melukis seperti itu. Dengan Widayat, sebetulnya kami tidak
saling mengenal sebelumnya, tapi ide memang hampir sama.
Kesamaannya adalah bahwa kami melukis dengan tidak menghiraukan
anatomi. Yang penting adalah hakekat, sehingga terasa
ke-Timur-annya. Barat itu titik tolaknya pada naturalisme. Timur
titik tolaknya hakekat. Barat selalu memperhatikan anatomi
sekalipun dia melukis dekoratip, tapi Timur tidak memperhatikan
itu.
T: Bagaimana pendapat anda tentang Seni Rupa Baru Indonesia?
J: Saya senang pada pemberontakannya. Karena itu cara baru untuk
mengungkapkan soal manusia dan dunia yang jelas sekali. Kritik
saya: mereka menggunakan bahan-bahan yang mudah rusak dan sering
mutunya perlu dipertinggi. Yang penting memang
pemberontakannya. Paling sedikit evolusi 10 tahun akan
membuatnya jauh lebih baik.
T: Berapa harga karya anda?
J: Antara 1000 - 2000 dolar. Patung sampai $ 2.500.
T: Anda juga mematung, apa lukisan tidak bisa menampung
semuanya?
J: Tiap pelukis juga punya saat-saat macet melukis, lalu
mengerjakan yang lain. Misalnya saja Picasso. Jadi untuk
keseimbangan. Di samping mematung saya juga membuat keramik.
Caranya agak lain. Saya tidak melalui proses pembakaran, tapi
langsung dicor. Bahannya dari semen putih dan tepung batu.
Patung "Ibu dan Anak" dalam pameran saya buat dengan proses
macam itu.
T: Apakah anda punya kritik ?
J: Ya. (lalu memperlihatkan TEMPO, 16 April, resensi untuk
pameran Oesman Effendi). Dia ini selalu bilang orang lain suka
nyontek. Tapi dia sendiri nyontek (menunjuk pada lukisan
"Toba"). Ini nyontek lukisan Klee yang berjudul "Sebelum Salju"
(lalu mengeluarkan sebuah buku kecil edisi bahasa Belanda).
Dahulu dia juga pernah nyontek Kandinsky, bahkan dicetak sebagai
kalender oleh BPM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini