Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Raden Saleh Sampai Dengan ...

57 buah lukisan dipamerkan di balai senirupa Jakarta. Dari karya yang tampil, raden saleh (1807- 1880) merupakan pelukis naturalis kata yang belum ada taranya.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

57 buah lukisan, termasuk 8 patung, mengisi 3 ruang tengah Balai Senirupa Jakarta, dengan gaya berbeda-beda. Maklumlah: ini pameran karya Raden Saleh. Sudjojono Suparto dan Zaini, para pelukis ternama penerima Anugerah Seni dari Pemerintah. Dan Balai Seni Rupa yang antik itupun sekali lagi - sampai akhir April ini mencoba membuktikan diri sebagai sebuah tempat "pameran selektif" seperti yang tertulis dalam pengantar pelulis Kusnadi. Raden Saleh muncul di pameran ini dengan Perkelahian Dengan Singa, Badai Di Lautan, Turun Ke Desa. Pelukis ini (1807-1880) secara psikologis telah memberikan bukti bahwa orang pribumi punya potensi besar dalam pelukis, pada saat Belanda masih menganggap kita ini orang terkebelakang. Memang lukisannya kita hampir tidak bisa objektif lagi. Karena selalu dibayangi oleh jasa-jasanya. Dia kan tokoh legendaris. Tapi harus diakui memang bahwa pelukis ini tetap merupakan pelukis naturalis pribumi yang belum ada taranya. Ia memiliki kepekaan dramatik, yang membuat ketrampilan tehniknya tidak hanya hadir sebagai demontrasi kelihaian pegang kwas. Perkelahian Dengan Singa, misalnya, di samping memberi kita pesona pada penggarapan detail, juga mengingatkan kita akan makna perjuangan untuk hidup. Demikian juga halnya dengan Balai Di Lautan. Sudjojono (lahir 1917), dengan 19 buah karyanya adalah langkah lanjutan dari kepekaan dramatik Raden Saleh. Dedengkot Persagi ini seorang nasionalis, yang telah menunjukkan pribadi dalam warna dan pilihan subjek. Goresan, pulasan serta kendali yang mencuat dari kanvas-kanvasnya bukan saja menyarankan ketrampilan tetapi juga keterlibatan yang akrab dengan kehidupan. Ia pernah merekam suasana revolusi fisik dengan kanvas-kanvas besar yang meyakinkan. Tetapi dalam pameran ini, rupanya ada yang telah berubah. Di samping kita masih sempat merasakan keahliannya menyatu pada objek untuk mengutarakan sesuatu, (Potret Rose Istriku, Maya Masih Kecil, Kembang Untuk Rose, Zaman Emas) Sudjojono memunculkan lukisan seperti Kalau orang Hampir Tenggelam Awal Merah, Orang Tilpon. Lukisan-lukisan ini terasa sebagai teka-teki. Tidak tegas, apa dia memang mau melantunkan nilai-nilai yang abstrak, atau hanya sekedar mencoba-coba keahlian. Soalnya kedalaman yang muncul dari kanvas-kanvasnya yang lalu, menjadi kendor. Kera Kelana, misalnya contoh betapa ide. Kegairahan bekerja pelukis ini tetap ngebet, tetapi telah kehilangan keintimannya. Gejala ngubek dalam kemahiran teknik, kita jumpai juga pada Zaini yang muncul dengan 20 buah karyanya. Tak syak lagi Zaini telah berhasil memindahkan misteri dan puisi dari pastel-pastelnya ke atas kanvas. Kita menemukan sesuatu yang samar dan kadangkala getaran musik seperti halnya pada lukisan Belukar Merah, Danau, Bulan Di Bukit. Kita juga menentukan sesuatu yang dramatik dan puitis pada lukisan Burung. Ia seorang yang produktif, getol dan cermat. Tapi kelebihannya ini sering membuat lukisannya selesai secara teknis, tapi tak hadir. Pada akhirnya memang Suparto, dengan 15 lukisan dari 8 patung, yang paling segar. Pelukis dekoratif, naif yang kadangkala primitif ini sempat menggabungkan kegairahan bekerja dengan pencarian terus-menerus. Dari tahun ke tahun terasa ada yang tumbuh mengental dan kemudian secara diam-diam berdialog dalam karya-karyanya. Kalau di tahun 1967 tampak lukisannya Mempelai Wanita yang abu-abu dan sangat sederhana, di tahun 1976 muncul Tanggapan dengan ornamen-ornamen yang rame, dengan warna enteng kekuning-kuningan. Sementara itu di tahun 1975 ada lukisan Ikan yang cerah dan gembira dengan warna-warna kembang gula. Kemudian adalah lukisan Air Mata dan Burung Camar dengan warna-warna berat, ramai, meskipun tetap dengan bentuk-bentuk sederhana. Kedua lukisan yang terakhir ini menyarankan sesuatu yang primitif. Suparto adalah seorang pemberontak dengan mulut terkatup. Yang diberontaknya adalah hukum-hukum wadag. Dengan demikian ia mendapatkan kebebasan dalam bentuk, sehingga fantasinya dapat diumbar. Dari bentuk-bentuk yang kelihatannya bodoh, pelukis ini telah mengibaskan jiwa yang dinamik. Hal ini juga dengan halus keluar dari karya-karya patungnya. Meskipun belum mencapai takaran seperti kanvas-kanvasnya, dengan 8 patung tersebut keluguan, yang jadi ciri utama ia berkarya, tetap terpelihara dengan teknik yang tidak mengecewakan. Kalau tata lampu dalam ruangan lebih menolong, baik Suparto maupun 3 pelukis lainnya, pasti akan lebih muncul. Museum tentunya memikirkan ini. Kalau kurang biaya, mengapa tidak pungut bayaran saja? Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus