DUA bulan lalu, Gubernur Tambunan dari Sulawesi Tengah telah
mengutus Husni Alatas (almarhum) untuk meninjau proyek
transmigrasi Sitiung di Sumatera Barat. Maksud Gubernur agar
wartawan daerahnya bisa melihat dan mentrapkan apa yang ada di
Sitiung yang mungkin bisa dicontoh bagi proyek-proyek
transmigrasi yang ada di Sulawesi Tengah. Seperti diketahui
Propinsi Sulawesi Tengah termasuk daerah yang akan menggalakkan
transmigrasi dalam waktu-waktu mendatang.
"Ada pemeo mengatakan", tulis Husni (jauh sebelum nyawanya
direnggut oleh kecelakaan pesawat Twin Otter), "di mana ada
orang, di situ tentu ada orang Padang berdagang". Ucapan ini
rupanya berlaku juga di Sitiung, yang jaraknya ada 270 km dari
kota Padang. Sebab sementara transmigran asal jebol desa itu
mengalir terus setiap minggu (waktu itu), di sana ada sebuah
toko serba ada yang diberi nama Wonositi.
Wonositi adalah asal kata gabungan Wonogiri-Sitiung. Di bawah
tulisan Wonositi pada papan narna toko tersebut, dalam tanda
kurung ada tertera: "menjual barang P & D (provisien en
dranken)", macam beberapa toko di Jakarta yang berada di seputar
daerah Sabang. Pemilik toko, urang awak jua. Namanya Indra
Satrya, usianya baru 30 tahun.
Dan tentu saja, kehadiran toko Wonositi ini merupakan pelengkap
sarana untuk transmigran yang serba istimewa ini, di samping
adanya Bank Rakyat Indonesia dan kantor pos di dalam lokasi
Sitiung. "Dengan adanya toko serba ada ini, transmigran tak
perlu lagi berpayah-payah ke Padang dan kota terdekat untuk
belanja". kata Indra Satrya.
Uang Ribuan
Sebetulnya, toko serba ada (dalam pengertian departement store)
ini masuk dalam keluarga warung atau kios saja. Kecil dan
dindingnya terbuat dari papan. Tapi Indra sang taoke mempunyai
keahlian untuk mengaturnya. Sehingga tokonya yang kecil itu
tampak semarak. Yang dijual cukup komplit: dari segala macam
keperluan bertani (pacul, sekop), sampai ke bahan pakaian.
Dijual pula bahan makanan berikut makanan kalengan. Di
langit-langit beberapa lampu petromaks dan lampu teplok
bergelantungan. Di sudut lain teronggok pula semen, papan dan
seng.
"Harga", kata Indra, "tak seberapa beda dengan harga yang ada di
kota Padang". Rupanya telah ada konsensus antara Bupati
Sawahlunto/Sijunjung, Jamaris Yunus dengan pemilik kedai, bahwa
janganlah ambil kesempatan dalam kesempitan. "Kami harus
membantu pendatang baru", kata seorang yang melayani pemheli.
Apalagi Indra Satrya mempunyai sebuah truk (mungkin pula lebih)
untuk mengangkut barang-barang kebutuhan toko dari Padang ke
Sitiung.
Mengenai nama Wonositi, inipun ada semacam konsensus antara
Bupati dan Indra Satrya. Tadinya warung ini akan diberi nama
"Ana Kabeh", artinya apa saja ada, serba ada. Kemudian Jamaris
Yunus - yang memberi kelonggaran pada Indra untuk berdagang di
situ mengusulkan Wonositi. Dan nyatanya animo pembeli cukup
besar. Uang genggaman dari yang belanja pun selalu uang besar.
Yaitu Rp 10.000 atau Rp 5.000-an, paling kecil Rp 1.000.
"Sehingga kami pernah kewalahan menyediakan uang kecil untuk
pengembalian", ujar pelayan toko. Dan ditambahkan pulalah acara
tetap kalau ada truk datang dari Padang: bawa pula uang receh Rp
5, Rp 10, dan sebagainya yang bisa ditukar di bank. Dagangan
laris, tapi salah mengerti sering masih terjadi. Pembeli banyak
yang belum lancar berbahasa Indonesia. Terpaksa pula harus
"menyewa" seorang juru bahasa. Indra Satrya sekarang sedang
mengusahakan menarik beberapa transmigran dari Wonogiri ini
untuk jadi pelayan toko. Karena usahanya juga semakin menggajah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini