Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIR-AKHIR ini berkembang isu tentang adanya upaya menjadikan ”Sidang Tahunan” MPR pada Agustus 2000 mendatang menjadi ”Sidang Istimewa”. Sementara itu, Ketua MPR Amien Rais sendiri telah pula mengisyaratkan rencana mengganti sidang tahunan tersebut dengan istilah ”Sidang Umum yang Diperluas”. Apa sebenarnya makna yang tersembunyi di balik istilah itu semua? Dan bagaimana pula dengan tata tertib MPR yang telah ditetapkan sebagai acuan yang mengatur jadwal dan tata kerja MPR?
Berdasarkan Tata Tertib MPR Tahun 1999-2004, telah ditetapkan bahwa setiap tahun, pada bulan Agustus, MPR melaksanakan sidang tahunan guna mendengarkan pidato kenegaraan presiden sebagai pengantar RAPBN dan sekaligus evaluasi terhadap hasil kerja yang telah dilaksanakan pemerintah selama satu tahun. Namun, hal itu bukan berarti pertanggungjawaban presiden. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden hanya akan menyampaikan pertanggungjawabannya menjelang berakhirnya masa tugas kepresidenannya, yaitu pada tahun 2004.
Kini muncul gagasan untuk mengubah sidang tahunan tersebut menjadi sidang istimewa. Tentunya hal ini perlu menjadi pemikiran kita semua, khususnya para anggota majelis yang "mewakili rakyat": mungkinkah hal tersebut dilaksanakan?
Jika sidang tahunan telah terjadwal sebagai kegiatan rutin setiap tahun majelis, maka sebuah sidang istimewa bersifat insidental dan memerlukan persyaratan tertentu pula, antara lain jika presiden dianggap atau nyata-nyata telah melanggar Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan idiil dan sumber tertib hukum tertinggi di negara ini. Sementara itu, sebagai mandataris MPR, presiden akan mempertanggungjawabkan mandat yang telah diberikan majelis kepadanya, seperti GBHN dan ketetapan MPR lainnya, pada saat mengakhiri tugasnya. Karena itulah tentunya kita perlu mempertanyakan: adakah rencana tersembunyi di balik gagasan mengubah sidang tahunan tersebut menjadi sebuah sidang istimewa? Dan apa pula yang dijadikan sebagai dasar hukumnya?
Kita semua sadar bahwa naiknya Gus Dur ke kursi kepresidenannya saat ini adalah konstitusional dan mendapat legitimasi dari rakyat melalui MPR. Dan masa tugas yang dijalaninya baru seperlima dari lima tahun masa tugas yang dipercayakan kepadanya. Tentunya, berdasarkan konstitusi, belum dapat dilakukan sebuah pertanggungjawaban. Sementara itu, dalam setahun masa tugasnya, adakah Presiden telah melanggar Pancasila dan UUD 1945? Bahkan, sebagian pengamat berpendapat justru Gus Dur telah melakukan berbagai perubahan dan perbaikan terhadap berbagai kekeliruan pemerintah sebelumnya yang justru dinilai tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Karena itulah saya mempertanyakan dan sekaligus menegaskan, mungkin kepentingan politik kelompok telah menjadi lebih utama dari kepentingan bangsa ini. Tentunya sungguh ironis dan sangat menyedihkan jika sifat tersebut benar-benar telah menyelimuti para anggota majelis terhormat yang menyatakan diri sebagai reformis dan ingin menegakkan supremasi hukum.
Karena itu, saya mengimbau dan mengetuk nurani para anggota majelis agar dapatlah kiranya lebih mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan kelompok dan bertindaklah sesuai dengan konstitusi yang ada. Jangan mecari-cari ide dan memanipulasi peraturan untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Hai, para wakil rakyat, ingatlah nasib bangsa kita yang sedang terpuruk, oleh krisis ekonomi, karena prilaku penguasa pada masa Orde Baru dan penerusnya yang hanya 517 hari itu.
NUZIRWAN
Jakarta Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo