Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEDIA hiburan yang ”digandrungi” dewasa ini antara lain sinema elektronik alias sinetron dan telenovela. Dua bentuk hiburan ini begitu digemari oleh sebagian masyarakat kita. Sebab, selain kisah-kisah yang ditampilkannya begitu menarik dan mengundang rasa penasaran bagi para penggemarnya, sinetron dan telenovela dipenuhi bintang cantik dan rupawan—sehingga tidak jarang pemirsa terkagum-kagum kepada para bintang yang bermain dalam acara tersebut.
Kedua bentuk hiburan ini cukup mendapat tempat di hati banyak pemirsa televisi. Itu terbukti dengan dicapainya perolehan rating yang cukup tinggi oleh beberapa sinetron dan telenovela yang tengah diputar. Sinetron dan telenovela mempunyai perbedaan yang prinsipiil. Sinetron adalah produksi dalam negeri, sementara telenovela ”dari negeri orang”.
Substansi ceritanya tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama menampilkan tema percintaan, perselingkuhan, konflik rumah tangga, perebutan harta, dan lain-lain. Namun, yang paling menonjol dari tontonan ini adalah ”kelas” yang menjadi status dari para pemainnya, dalam arti: pemainnya umumnya kaum ”atas” alias orang yang hidup dalam kemewahan.
Memang tidak semua sinetron atau telenovela melulu menampilkan hal kemewahan. Tapi sinetron yang menampilkan tema sosial yang menceritakan masalah wong cilik tidak sebanyak sinetron yang isinya cuma menampilkan kemewahan tadi. Padahal, persentase wong cilik jauh lebih besar. Hal ini memang cukup ironis. Bagi media hiburan asing seperti telenovela, kemewahan yang ditampilkan dalam substansinya memang bukan sesuatu yang mengada-ada. Pada kenyataannya, tingkat kehidupan masyarakatnya memang lebih makmur dan sejahtera tentunya. Sebab, kita tahu telenovela diproduksi oleh negara yang secara ekonomi, budaya, dan sosial berbeda dengan kita. Jadi, tidak aneh, dalam setiap telenovela, para bintangnya tampak begitu ”wah” dan serba berkecukupan—karena memang mereka jauh lebih makmur.
Bagaimana dengan sinetron kita? Sinetron kita cenderung menampilkan kemewahan dan wajah-wajah indah rupawan, walaupun jumlahnya di negara kita ini cuma sepersekian persen. Yang menjadi pertanyaan: bagaimana jika sinetron seperti itu disaksikan oleh masyarakat kita yang dalam kehidupannya sama sekali jauh dari apa yang ada di sinetron tersebut? Kita tahu bahwa daya jangkau siaran televisi swasta yang menjadi medium sinetron telah mencapai desa-desa atau tempat-tempat yang tadinya sulit dijangkau. Tidakkah masyarakat yang tinggal di tempat-tempat itu merasa asing atas sinetron yang disaksikannya? Tidakkah mereka merasakan kehidupannya jauh berbeda dengan apa yang mereka saksikan di televisi? Atau jangan-jangan masyarakat ”terbius” oleh sinetron yang cuma berisi masalah kaum ”atas”?
Bisa jadi masyarakat yang menyaksikannya bermimpi atau berangan-angan menjadi seperti para pemain yang ”wah” tadi. Bagaimanapun, ini berpulang juga pada masyarakat. Masyarakatlah yang harus memilah-milah mana yang ”selayaknya” mereka tonton dan mana yang cuma tontonan ”khayalan” di siang bolong. Dengan kata lain, masyarakat harus selektif dalam menerima sesuatu.
Jadi, jangan bodohi masyarakat kita dengan hal-hal seperti itu! Ini bukan berarti sinetron menjadi sesuatu yang keliru. Namun, perhatikanlah keadaan masyarakat kita yang sebenarnya. Jangan melulu membuat sinetron yang cuma menceritakan orang kaya.
Dalam hal telenovela, masyarakat yang menjadi penggemarnya janganlah terlalu ”mengagung-agungkan” bintang idolanya. Jika datang ke sini (Indonesia), sang idola disambut bak raja. Bahkan, tidak sedikit penggemar yang rela menunggu berjam-jam serta berpanas-panas dan kehujanan hanya demi menantikan seorang manusia yang secara fisik tidak jauh berbeda dengan kita.
HENRIKO AGUSTUS
Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo