Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Sisa sejarah di lembah leles

Di lembah leles kabupaten garut ditemukan peninggalan sejarah berupa makam arief muhammad & puing- puing candi cangkuang, peninggalan abad ke-8. rekon struksi dan pemugaran candi dilakukan. (ils)

22 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SULTAN Agung, raja Mataram abad XVII, berkali-kali gagal menyerang VOC pada masa gubernur JP Coen di Batavia. Suatu hari ia nengutus Arief Muhammad, salah seorang panglima tentaranya dan menantu Sultan Sumenep (Madura), untuk sekali lagi menyerang Batavia. Malu karena gagal, Arief tak berani kembali ke Mataram. Ia menetap di Garut bersama beberapa pengikutnya. Sampai akhir hayat ia menjadi ulama Islam terkemuka di sana. (lihat box). Hampir abad kemudian, 1893, seorang Belanda, Volderman, menulis dalam buku Notilen Bataviaasch, Genootschap, bahwa di bukit Pulo di tengah danau Cangkuang, Leles (Garut), terdapat makam kuno dan arca yang sudah rusak. Tulisan singkat ini sempat bikin gusar Uka Tjandrasasmita sarjana purbakala Islam dan Direktur Sejarah dan Peninggalan Nasional Departemen P dan K. Bulan Desember 1966, Uka ikut dalaun team penelitian yang diketuai oleh Prof Harsoyo. Menyelidiki-sejarah Leles, penelitian itu disponsori oleh Idji Hatadji, Direktur CV Haruman. Penasaran Ketika itulah Uka berhasil mengungkapkan teka-teki yang selama ini masih gelap, meskipun Vorderman sudah melontarkan sedikit isyarat. Uka berhasil menemukan makam Arief Muhammad dan sebuah area Syiwa duduk di atas lembu Andini yang sudah rusak. Makam Arief sudah jelas, sebah masih dianggap keramat oleh penduduk sekitarnya. Tapi arca Syiwa, sungguh memancing keinginan-tahu Uka. Selama ini di Jawa Barat belum pernah ditemukan sebuah candi pun. Mungkinkah arca itu bagian terpenting dari sebuah candi zaman Hindu? Ketika Uka meneliti beberapa batu nisan Arief Muhamad, ia terkejut. Batu-batu itu. menurut jenis dan kwalitasnya, ternyata berasal dari bangunan sebuah candi. Ia pun semakin penasaran. Batu-batu sejenis ditemukan pula, berserakan sejauh 500 meter. Ketika penggalian diteruskan, Uka dan anggota team penelitian lainnya bersorak gembira. Mereka menemukan lapisan batu teratur, yang tampak seperti fondasi sebuah bangunan candi, kurang lebih 2 meter sebelah utara makam. Beberapa peninggalan pra-sejarah juga ditemukan: alat-ala dari batu obsidian (batu kendan) dan pecahan-pecahan termbikar dari zaman Neolitik serta batu-batu besar dari zaman Megalitik - kira-kira 3.000 tahun lalu. Ini sangat menarik. Dengan begitu, Cangkuang pernah dihuni oleh 4 kebudayaan secara beruntun: Neolik, Megalitik, Hindu, Islam. Wilayah pendukung jenis kebudayaan ini Lembah Leles, terletak rata-rata 700 meter di atas permukaan laut. Sebagaimana dataran tinggi Bandung, Lembah Leles dulu mungkin merupakan sebuah danau yang sangat luas. Di sekitar danau memang ditemukan beberapa alat dari batu yang berasal dari dataan tinggi Bandung. Tempat lain yang juga kaya akan batu-batu semacam itu ialah Semarang (bukan Semarang Jateng), sebelah barat laut kota Garut. Tempat pengambilan bahan-bahannya, diperkirakan adalah Nagreg, yang merupakan batas tertinggi antara Leles dan Bandung. Adukan Semen Penelitian yang dimulai lagi tahun 1974 berhasil menemukan bagian-bagian dari kaki candi, hingga lengkaplah sudah sebagian besar bangunannya. Mulai dari fondasi, kaki, tubuh, atap I, atap II dan puncaknya. Setelah lengkap baru dicoba menyusunnya kembali dan dibuat gambar rekonstruksinya, hingga akhiruya dapat dilihat bentuk yang sebenarnya. Maka sejak 1974 pemugaran dilakukan secara bertahap dengan biaya Rp 31.485.000. Dan 9 Desember 1976 yang lalu telah diresmikan oleh Menteri P dan K Syarif Thayeb. Candi ini kecil saja. Tunggi cuma 8,5 meter, dasar bangunannya 4,5 meter persegi. Patung Syiwa setinggi 40 senti terletak dalam sebuah ruang ukuran 1,5 meter persegi, tinggi 2 metur. Di bawahnya berlubang sedalam 7 meter. Meski hanya sekitar 35%, dari jumlah batu yang ditemukan berasal dari bangunan asli, toh rekonstruksi itu berhasil juga. Sisa kelengkapannya dibuat kemudian (dari adukan semen dan batu koral), tiruan dari bentuk yang asli, yang diperkirakan bakal tahan ratusan tahun. Melihat bentuknya yang sederhana, dra Setyawati Sulaiman, Ketua Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional memperkirakan, candi Cangkuang dibangun sekitar abad ke 8. "Sezaman dengan kerajaan Galuh di Jawa Barat atau kerajaan Senjaya di Jawa Tengah", ujar Uka. Dinding-dindingnya masih polos tanpa lukisan atau relief-relief. Batu-batunya mudah tergeser, lantaran antara yang satu dan lainnya tak ada kaitan sebagai pengancing. Justru kelemahan konstruksi inilah sebagai bukti dari pembuatan candi pada taraf pertama. Tapi Inelihat komposisinya, tampak jelas kemegahannya, sekaligus membuktikan ketinggian kebudayaan nenek moyang Lembah Leles masa lampau. Bagi Jawa Barat, candi ini merupakan hal yang sangat penting. Selain merupakan salah satu candi tertua di Indonesia juga satu-satunya candi yang pernah ditemukan di Jawa Barat sampai saat ini. Dilihat dari sudut sejarah kebudayaan juga amat penting: ia mengisi kekosongan sejarah antara zaman Purnawarman (abad V-VI) dan zaman Pajajaran (abad XII -- XIV).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus