SULTAN Agung, raja Mataram abad XVII, berkali-kali gagal
menyerang VOC pada masa gubernur JP Coen di Batavia. Suatu hari
ia nengutus Arief Muhammad, salah seorang panglima tentaranya
dan menantu Sultan Sumenep (Madura), untuk sekali lagi menyerang
Batavia. Malu karena gagal, Arief tak berani kembali ke Mataram.
Ia menetap di Garut bersama beberapa pengikutnya. Sampai akhir
hayat ia menjadi ulama Islam terkemuka di sana. (lihat box).
Hampir abad kemudian, 1893, seorang Belanda, Volderman,
menulis dalam buku Notilen Bataviaasch, Genootschap, bahwa di
bukit Pulo di tengah danau Cangkuang, Leles (Garut), terdapat
makam kuno dan arca yang sudah rusak. Tulisan singkat ini sempat
bikin gusar Uka Tjandrasasmita sarjana purbakala Islam dan
Direktur Sejarah dan Peninggalan Nasional Departemen P dan K.
Bulan Desember 1966, Uka ikut dalaun team penelitian yang
diketuai oleh Prof Harsoyo. Menyelidiki-sejarah Leles,
penelitian itu disponsori oleh Idji Hatadji, Direktur CV
Haruman.
Penasaran
Ketika itulah Uka berhasil mengungkapkan teka-teki yang selama
ini masih gelap, meskipun Vorderman sudah melontarkan sedikit
isyarat. Uka berhasil menemukan makam Arief Muhammad dan sebuah
area Syiwa duduk di atas lembu Andini yang sudah rusak. Makam
Arief sudah jelas, sebah masih dianggap keramat oleh penduduk
sekitarnya. Tapi arca Syiwa, sungguh memancing keinginan-tahu
Uka. Selama ini di Jawa Barat belum pernah ditemukan sebuah
candi pun. Mungkinkah arca itu bagian terpenting dari sebuah
candi zaman Hindu?
Ketika Uka meneliti beberapa batu nisan Arief Muhamad, ia
terkejut. Batu-batu itu. menurut jenis dan kwalitasnya, ternyata
berasal dari bangunan sebuah candi. Ia pun semakin penasaran.
Batu-batu sejenis ditemukan pula, berserakan sejauh 500 meter.
Ketika penggalian diteruskan, Uka dan anggota team penelitian
lainnya bersorak gembira. Mereka menemukan lapisan batu teratur,
yang tampak seperti fondasi sebuah bangunan candi, kurang lebih
2 meter sebelah utara makam.
Beberapa peninggalan pra-sejarah juga ditemukan: alat-ala dari
batu obsidian (batu kendan) dan pecahan-pecahan termbikar dari
zaman Neolitik serta batu-batu besar dari zaman Megalitik -
kira-kira 3.000 tahun lalu. Ini sangat menarik. Dengan begitu,
Cangkuang pernah dihuni oleh 4 kebudayaan secara beruntun:
Neolik, Megalitik, Hindu, Islam.
Wilayah pendukung jenis kebudayaan ini Lembah Leles, terletak
rata-rata 700 meter di atas permukaan laut. Sebagaimana dataran
tinggi Bandung, Lembah Leles dulu mungkin merupakan sebuah danau
yang sangat luas. Di sekitar danau memang ditemukan beberapa
alat dari batu yang berasal dari dataan tinggi Bandung. Tempat
lain yang juga kaya akan batu-batu semacam itu ialah Semarang
(bukan Semarang Jateng), sebelah barat laut kota Garut. Tempat
pengambilan bahan-bahannya, diperkirakan adalah Nagreg, yang
merupakan batas tertinggi antara Leles dan Bandung.
Adukan Semen
Penelitian yang dimulai lagi tahun 1974 berhasil menemukan
bagian-bagian dari kaki candi, hingga lengkaplah sudah sebagian
besar bangunannya. Mulai dari fondasi, kaki, tubuh, atap I, atap
II dan puncaknya. Setelah lengkap baru dicoba menyusunnya
kembali dan dibuat gambar rekonstruksinya, hingga akhiruya dapat
dilihat bentuk yang sebenarnya. Maka sejak 1974 pemugaran
dilakukan secara bertahap dengan biaya Rp 31.485.000. Dan 9
Desember 1976 yang lalu telah diresmikan oleh Menteri P dan K
Syarif Thayeb.
Candi ini kecil saja. Tunggi cuma 8,5 meter, dasar bangunannya
4,5 meter persegi. Patung Syiwa setinggi 40 senti terletak dalam
sebuah ruang ukuran 1,5 meter persegi, tinggi 2 metur. Di
bawahnya berlubang sedalam 7 meter. Meski hanya sekitar 35%,
dari jumlah batu yang ditemukan berasal dari bangunan asli, toh
rekonstruksi itu berhasil juga. Sisa kelengkapannya dibuat
kemudian (dari adukan semen dan batu koral), tiruan dari bentuk
yang asli, yang diperkirakan bakal tahan ratusan tahun.
Melihat bentuknya yang sederhana, dra Setyawati Sulaiman, Ketua
Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional memperkirakan, candi
Cangkuang dibangun sekitar abad ke 8. "Sezaman dengan kerajaan
Galuh di Jawa Barat atau kerajaan Senjaya di Jawa Tengah", ujar
Uka. Dinding-dindingnya masih polos tanpa lukisan atau
relief-relief. Batu-batunya mudah tergeser, lantaran antara yang
satu dan lainnya tak ada kaitan sebagai pengancing. Justru
kelemahan konstruksi inilah sebagai bukti dari pembuatan candi
pada taraf pertama.
Tapi Inelihat komposisinya, tampak jelas kemegahannya, sekaligus
membuktikan ketinggian kebudayaan nenek moyang Lembah Leles masa
lampau. Bagi Jawa Barat, candi ini merupakan hal yang sangat
penting. Selain merupakan salah satu candi tertua di Indonesia
juga satu-satunya candi yang pernah ditemukan di Jawa Barat
sampai saat ini. Dilihat dari sudut sejarah kebudayaan juga amat
penting: ia mengisi kekosongan sejarah antara zaman Purnawarman
(abad V-VI) dan zaman Pajajaran (abad XII -- XIV).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini