CERITA sekitar Arief Muhammad cukup menarik. Ia meninggalkan 6
orang anak yang semuanya perempuan, tinggal di kampung Pulo, tak
jauh dari makam Arief Muhammad. Untuk mereka, didirikan 6 buah
rumah adat berukuran 7« x 8« m dari kayu dan bambu, bertangga dan
beratap ijuk. Sebuah di antaranya telah dipugar. Rumah-rumah ini
berjejer 3 dan saling berhadapan, tidak boleh ditambah atau
dikurangi. Yang berdiam di sana pun tak boleh lebih dari 6
kepala keluarga.
Apabila seorang anak sudah dewasa lalu menikah, paling lama
seminggu sesudahnya harus meninggalkan lingkungan ke-6 rumah
adat itu. Ia bisa kembali kalau salah seorang kepala keluarga
meninggal. Sementara kaum wanita menentukan kebijaksanaan
keluarga, pemilihan kepala keluarga ditentukan oleh keluarga
setempat.
Penghuni ke-6 rumah adat generasi sekarang adalah keturunan
ke-10 dari Embah Dalem Arif Muhammad. Mereka adalah: Iri (50
tahun) juru kunci makam yang sekarang, Iri (30 tahun), Sadili
(49 tahun), Eroh (65 tahun) Mini (55 tahun) dan Engkos (30
tahun). Salah seorang keturunan pertama Arif Muhalllmad yaitu
Hadijah, sangat terkenal kegigihannya melawan Belanda. Konon ia
sangat sakti dan tabah, hingga mendapat julukan Nyi Santosa.
Pengikut-pengikut Arief pun terkenal pula keberaniannya. Mereka
berlima, dikuburkan di beberapa bukit sekitar danau Cangkuang.
Santowaan di bukit Santowaan, Sunan Pangadegan di bukit
Pamentasan. (Ada sementara penduduk yang malah menganggap Sunan
Pangadegan lebih sakti dari Arief Muhammad). Mayagatrek yang
semasa hidupnya menjadi 'sekretaris' Arief Muhamad, di bukit
Saradan. Wirabaya di bukit Gede dan Wirajaya di bukit Leutik.
Setiap hari Kamis dan Jum'at, terutama pada bulan Maulud, siang
dan malam, banyak orang berziarah ke makam Arief Muhammad. "Tapi
hari Rabu dilarang berziarah. Menurut kepercayaan, setiap hari
Rabu itu Arief Muhammad pergi ke Mekah", ujar Pak Sura, 50
tahun, yang pernah menjadi juru kunci sejak 1962 sampai 1972.
Dan pada hari Rabu, di kampung Pulo tak ada kegiatan apa pun.
Berziarah ke sana, orang tak diizinkan memakai cincin, sepatu,
peci, topi dan payung. Larangan lain yang sampai kini masih
dipatuhi oleh penghuni rumah adat antara lain: memukul gamelan,
terutama gong dan memelihara ternak berkaki empat.
Luas danau Cangkuang 25,555 hektar, 80 permukaan airnya
tertutup oleh tanaman liar seperti enceng gondok, ganggang dan
teratai. Dengan volume air 288,340 meter kubik, danau ini dapat
mengairi sawah seluas 250 hektar di desa Cangkuang, Dungusiku
Karangsari dan Cikembulan. Di beberapa pulau kecil hidup
burung-burung yang jarang terdapat di tempat lain, misalnya
kalong, ekek dan kerak. Jalan dari Garut ke kampung Cangkuang,
hanya sekitar 13,5 kilometer dan sampai kecamatan Leles sudah
beraspal. Dari sini ke Ciakar, sekitar 2,9 kilometer merupakan
jalan desa. Dan dari kampung Cangkuang sampai kampung Pulo,
sepanjang 900 meter, adalah jalan setapak dan sebagian lewat
sawah.
Sebagai sarana rekreasi, danau Cangkuang segera akan dibersihkan
dari tanaman liar, hingga rakit-rakit rakyat bisa berlayar lebih
leluasa. Rakyat setempat sejak lama mempunyai penghasilan
tambahan dengan membuat rakit bambu dan menjadikannya sebagai
kendaraan menuju kampung Pulo tempat makam Arief Muhammad.
Selain akan 'menanam' ikan di danau sebagai penambah penghasilan
rakyat, Pemerintah Garut juga tetap mempertahankan rakit asli,
tidak akan menambah atau menggantinya dengan perahu bermotor,
perahu karet atau beca air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini