Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru-baru ini, pelaksana tugas Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, Joko Driyono, menjadi tersangka dengan tuduhan menghilangkan bukti-bukti soal itu. Pada 1994, dalam edisi 5 Maret, Tempo memuat artikel berjudul “Mencecar Komplotan Sepak Bola Gajah”.
Sepulang umrah, 8 Maret nanti, agaknya Agil H. Ali harus lebih tawakal. Komisi Disiplin PSSI telah menghukum manajer tim Persebaya Surabaya ini. Ia tidak boleh menjadi ofisial selama setahun dan membayar denda Rp 500 ribu.
Bersama pelatih PSIM Yogyakarta, Berce Matulapelwa, yang diskors enam bulan tapi tak didenda, Agil dituduh mengotaki pengaturan pertandingan dalam Kompetisi Perserikatan PSSI Wilayah Timur tahun ini. Gara-garanya: Agil merasa telah ditelikung PSIS dalam pertandingan di Semarang, 26 Januari 1994.
Skor yang disepakati adalah imbang 1-1, tapi sebuah tendangan penalti menjebol gawang Persebaya dan tak terbalas hingga peluit akhir. Agil, yang gusar, lalu mengajak PSIM, Persegres Gresik, dan Persema Malang mengatur hasil pertandingan agar musuh bebuyutannya itu terdepak dari klasemen delapan besar.
Mengulang “sepak bola gajah” tujuh tahun lalu, PSIS terpuruk setelah Persebaya memberikan kemenangan kepada Persipura Jayapura dengan skor 12-0. Hebatnya, Agil dan Berce tak hanya berbisik-bisik. Mereka juga melontarkan ide ini kepada wartawan. Bahkan Agil—sehari-hari memimpin redaksi harian Memorandum Surabaya—memberikan julukan baru: “sepak bola unjuk rasa”.
Proyek Agil ini berjalan mulus, tapi hasilnya meleset dari sasaran. PSIS tak terkena penurunan peringkat. Yang terjengkang justru Persiba Balikpapan, dan pengurusnya melayangkan protes kepada PSSI. Persiba menuntut agar Agil dan Berce dihukum sebagai tukang atur skor.
Meski mereka berikrar tak akan mengulangi hal itu di depan Ketua Liga Amatir Agum Gumelar, “dosa” mereka tersebut tidak otomatis terhapuskan begitu saja. Namun mana buktinya? Satu-satunya petunjuk hanya ucapan keduanya di depan wartawan itu.
Komisi Disiplin, yang dipimpin pengacara Minang Warman, pun kemudian membicarakannya dalam serangkaian rapat tertutup. Maklum, kepepet, akhirnya bukti itu saja yang dianggap sebagai dosa.
“Ucapan mereka di media massa itu meresahkan,” kata Amran Y.S., anggota Komisi Disiplin, sambil mengutip Pasal 10 dan 11 Bab IV Peraturan PSSI—tentang perilaku yang meresahkan dan merusak citra persepakbolaan Indonesia.
Karena soal bicara dengan wartawan yang menjadi dasar, selain Agil dan Berce, hanya manajer tim Persegres, Amin Ridwan, yang kini diselidiki PSSI. Saat diributkan turut terlibat, Amin, dikutip media massa, menyatakan tak peduli PSSI akan menghukum apa saja. Amin merasa tak bersalah. “Kami ikut sepak bola unjuk rasa kemarin itu karena terpaksa,” ujarnya.
Saat itu posisi Persegres tergantung hasil pertandingan Persebaya. Jadi, begitu Agil memproklamasikan “unjuk rasa”, Amin kecut, lalu memilih ikut. Berbeda dengan PSIM. Ketua umumnya, Dasron Hamid, tak diselidiki karena tak ikut gembar-gembor di koran—walaupun mengaku timnya ikut unjuk rasa agar PSSI segera melakukan perbaikan.
“Kami ikut karena ingin mendukung PSSI,” ucap Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu. Ajaib, bukan? Dasron sendiri menampik mengomentari hukuman Komisi Disiplin PSSI kepada Agil dan Berce. “Selain belum ada keputusan resmi, saya tidak percaya omongan Amran,” katanya.
Keputusan Komisi Disiplin PSSI atas Agil dan Berce memang belum bernomor surat. Minang hendak melaporkannya kepada Ketua Umum PSSI Azwar Anas sebelum menekennya. Tapi, Rabu sore itu, Amran, yang juga merangkap jabatan sebagai juru bicara PSSI, didesak wartawan sehingga vonis PSSI tersebut bocor sebelum waktunya.
Minang kontan merasa dilangkahi. Setelah itu, terbetik berita, ia mengajukan surat pengunduran diri sebagai Ketua Komisi Disiplin PSSI. Tapi, setelah bertemu dan berbicara empat mata dengan Azwar Anas, Minang menarik surat pengunduran diri yang sudah dikirim kepada Ketua Umum PSSI itu.
“Tidak ada masalah lagi. Hukuman skors itu tetap sah,” ucap Azwar setelah memimpin sidang pengurus harian PSSI di kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Jumat pekan silam.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 5 Maret 1994. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo