Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Perang Bubat di Tanah Jawa

Dua bulan menjelang pemilihan umum, langkah kedua kandidat presiden merangsek ke jantung pertahanan lawan layak menjadi perhatian.

23 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perang Bubat di Tanah Jawa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah survei menyebutkan calon inkumben Joko Widodo masih unggul dengan selisih lebih-kurang 20 persen suara dibanding penantangnya, Prabowo Subianto. Menusuk jantung lawan, Prabowo berupaya menyalip perolehan suara Jokowi. Sebaliknya Jokowi: berusaha keras mempertahankan selisih atau makin jauh meninggalkan lawan.

Prabowo sejak Januari lalu telah memindahkan pusat komando ke Jawa Tengah. Kantor tim pemenangan kandidat nomor urut dua itu terletak hanya beberapa ratus meter dari kediaman Jokowi di Solo. Jawa Tengah dikenal sebagai basis kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai utama pendukung Jokowi.

Adapun kubu Jokowi sibuk bergerilya di Banten dan Jawa Barat, kawasan yang tak dimenanginya pada pemilu lima tahun lalu. Di Banten, pada 2014, Jokowi hanya mendapat 43 persen suara—kalah oleh Prabowo, yang memperoleh 57 persen. Di Jawa Barat, Jokowi kalah dengan 40 persen suara.

Jawa memang menjadi magnet. Sebanyak 57,39 persen pemilih berada di pulau ini—potret suram demografi penduduk yang tak merata. Memenangi Jawa berarti memenangi pemilu. Telah lama dipercaya: kandidat presiden dari luar Jawa akan sulit diterima pemilih. Patut disayangkan, alasan mencoblos tidak selamanya rasional. Bagi pemilih, aspek suku, agama, dan identitas personal tetap menjadi pertimbangan.

Di Jawa Barat dan Banten, Jokowi berhadapan dengan sebagian masyarakat yang telanjur antipati terhadapnya. Sejarah tumbuh dan berkembangnya kelompok garis keras agama di kedua provinsi menjadi salah satu faktor yang menyulitkan Jokowi. Penetapan Ma’ruf Amin sebagai calon presiden pun tak membantu meningkatkan suara sang inkumben.

Sebuah studi menyebutkan Nahdlatul Ulama, organisasi keagamaan moderat asal Ma’ruf, tidak memiliki akar yang kuat di dua provinsi itu. Survei internal tim sukses Jokowi-Ma’ruf menyajikan data yang membuktikan efektivitas kampanye hitam terhadap Jokowi selama ini. Menurut survei itu, 14 persen pemilih di Jawa Barat percaya bahwa Jokowi adalah nonmuslim, 20 persen yakin Jokowi beretnis Tionghoa, dan 18 persen percaya di era Jokowi komunisme bangkit kembali. Fakta inilah yang diduga menjadi dasar beredarnya tabloid Indonesia Barokah. Disebarkan di banyak pesantren di Jawa dan daerah lain, media itu menyangkal isi kampanye hitam tersebut. Tak satu pun anggota tim sukses Jokowi mengaku membuat dan menyebarkan tabloid itu.

Di Jawa Tengah, Prabowo merangsek salah satunya lewat isu cantrang. Alat tangkap ikan yang merusak terumbu karang selama ini diperangi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Pelarangan itulah yang dikampanyekan tim Prabowo sebagai kebijakan yang menyengsarakan nelayan. Pembagian kartu tani untuk memudahkan distribusi pupuk oleh pemerintah Jokowi dipersoalkan tim sukses Prabowo karena merepotkan petani akibat birokrasi yang berbelit.

Jawa Tengah merupakan benteng Jokowi. Pada Pemilu 2014, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla mendapat 66,65 persen suara, mengalahkan Prabowo-Hatta Rajasa, yang hanya memperoleh 33,35 persen. Apabila pemilu diselenggarakan saat ini, sejumlah jajak pendapat memperkirakan Jokowi akan meraup 70 persen suara.

Tim sukses Prabowo meyakini angka itu tak valid. Mereka berkaca pada hasil pemilihan gubernur 2018. Meski kalah, pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah tak dinyana mendapat 41,22 persen suara—angka yang tak diperkirakan lembaga survei. Sudirman antara lain diusung Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa—tiga yang pertama kini menyokong Prabowo. Lawan Sudirman adalah Ganjar Pranowo, yang diusung PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai NasDem, dan Partai Demokrat. Kecuali Demokrat, partai-partai itu penyokong Jokowi pada Pemilu 2019.

Jawa selalu menjadi pertaruhan bagi kandidat presiden karena penduduknya yang padat. Kondisi ini melahirkan ketimpangan dalam demokrasi. Konstitusi memang mengatur pemilihan dimenangi oleh kandidat yang meraup lebih dari 50 persen suara nasional, dengan catatan meraih minimal 20 persen suara di lebih dari separuh jumlah provinsi. Tapi syarat tambahan ini dipahami hanya berlaku jika pemilihan diikuti lebih dari dua kandidat.

Para legislator, akademikus, dan pegiat demokrasi hendaknya memikirkan cara lain untuk memastikan hasil pemilihan -presiden tidak melulu ditentukan wilayah berpenduduk melimpah. Penerapan harga suara yang lebih murah untuk wilayah padat pemilih seperti dalam pemilu legislatif bisa dipikirkan sebagai solusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus