Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEPAS dari catatan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, khususnya sepanjang pemerintahan Orde Baru, aspirasi sebagian masyarakat Aceh untuk merdeka tidaklah istimewa. Ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat adalah hal wajar, mengingat hal serupa terjadi di mana pun, misalnya di Quebec, Kanada, atau di Chek dan Slovakia pasca-Perang Dingin.
Persoalannya, bila aspirasi rakyat Aceh lepas dari Republik Indonesia dapat terwujud, apakah peristiwa porak-porandanya Uni Soviet menjadi Persemakmuran Negara-Negara Merdeka tidak akan terjadi di sini?
Semua pihak—pemerintah pusat, GAM, cendekiawan, tokoh masyarakat, dan LSM—sebaiknya sadar bahwa mempertahankan Negara Kesatuan RI merupakan satu-satunya opsi yang masuk akal.
Aceh tidak perlu referendum. Wilayah tanah rencong ini memerlukan tawaran amnesti umum dan otonomi melalui peraturan pemerintah yang disetujui DPR. Selain itu, perlu pula diberikan opsi bagaimana mengelola pendapatan daerah serta hak menentukan kepemimpinan berasal dari putra daerah.
Dalam keadaan krisis seperti ini—berbagai daerah bergejolak—Aceh seharusnya tetap dipertahankan. Tuntutan referendum—sebagai wujud ketidakpuasan—sah-sah saja. Namun, pemerintahan Gus Dur-Megawati tak perlu menjanjikan sesuatu yang tidak mungkin.
R. SUMARYOTO
Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo