Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FILM A Few Good Men, yang dibintangi antara lain Tom Cruise dan Demi Moore, berkisah tentang upaya pembelaan tim pengacara militer terhadap dua orang prajurit marinir AS yang didakwa membunuh seorang rekannya di sebuah pangkalan marinir. Menurut kedua terdakwa itu, tindakan penganiayaan yang mereka lakukan sekadar untuk memberikan pelajaran kepada rekannya yang lemah dan tidak berdisiplin, dan itu semata-mata karena mereka menjalankan perintah atasan.
Film ini selanjutnya berkisah seputar usaha keras dan kegigihan tim pengacara kedua terdakwa mengumpulkan bukti-bukti untuk mendapatkan kebenaran. Puncaknya, dalam satu persidangan, para pengacara itu berhasil mendesak sang atasan, seorang kolonel—komandan pangkalan marinir tersebut—mengakui perintahnya kepada kedua prajurit terdakwa itu untuk memberikan ”pelajaran” kepada si prajurit yang malang. Sang kolonel berkilah bahwa ”pelajaran” itu perlu untuk mendisiplinkan para prajurit, membuat mereka kuat, tangguh, dan selalu siap menghadapi segala ancaman terhadap bangsa dan negara. Negara tidak bisa menolerir prajurit-prajurit yang lemah.
Pada akhir cerita film ini, kedua prajurit itu tetap dinyatakan bersalah, tapi si kolonel pun tetap dimintai pertanggungjawabannya di depan pengadilan.
Yang kedua adalah film The Siege, dibintangi aktor Bruce Willis dan Denzel Washington, yang mungkin belum (atau dilarang) beredar umum. Alkisah, sebuah kota tengah diganggu serangkaian aksi pengeboman dan penyanderaan oleh satu kelompok teroris. Agen-agen polisi federal menggelar operasi intelijen khusus demi segera menangkap otak kejahatan itu. Di sisi lain, untuk kepentingan yang sama, pihak militer pun melakukan operasi intelijen tersendiri terhadap para teroris itu. Kedua alat negara ini masing-masing menggunakan cara dan pendekatan mereka sendiri.
Dalam film ini, dikisahkan terjadi konflik antara keduanya karena pendekatan yang berbeda itu. Aparat sipil dirasa tidak kunjung mampu menciptakan keamanan, maka militer kemudian memberlakukan keadaan darurat (state of emergency). Satuan-satuan militer diperintahkan menguasai kota, jam malam diberlakukan, dan kota segera diisolasi. Masalah keamanan kota itu sepenuhnya berada di bawah komando dan tanggung jawab seorang jenderal panglima darurat militer. Atas nama keamanan dan keselamatan negara, tentara langsung melakukan penangkapan, penahanan, dan interogasi terhadap siapa saja yang mereka curigai sebagai pengacau keamanan.
Aksi berlebihan militer ini menyebabkan seorang warga kota tewas. Kerja keras polisilah yang justru berhasil menuntaskan jaringan teroris pengacau keamanan itu, sekaligus mengakhiri status state of emergency tersebut. Tragisnya, sang jenderal panglima darurat militer terpaksa ditahan polisi atas tuduhan pembunuhan terhadap seorang warga sipil.
Sekuel kedua film di atas (kalau ada) mungkin akan bercerita seputar nasib si kolonel dan jenderal itu di depan sidang pengadilan. Apakah ”demi kepentingan bangsa dan negara” versi kedua perwira ini bisa meloloskan mereka dari hukum? Bagaimana pula dengan ”demi kepentingan bangsa dan negara” versi si pengacara atau polisi?
Kisah-kisah di atas berlatar kehidupan di lingkungan militer dan interaksi komunitas militer dengan komunitas lain di Negara Amerika Serikat. Kedua cerita di atas sepenuhnya fiksi dan tentunya tidak pula dimaksudkan untuk menjelek-jelekkan atau menghancurkan secara sistematis angkatan bersenjata mereka sendiri.
Kalaupun ada kemiripan karakter atau jalan cerita dengan karakter atau cerita-cerita di Indonesia kita sehari-hari, hal itu tentunya adalah suatu kebetulan belaka. Indonesia bukanlah Amerika Serikat atau Hollywood. Namun, tidak ada salahnya sekadar belajar atau mengambil hikmah dari kisah-kisah ala Hollywood seperti di atas. Omong-omong, demi kepentingan bangsa dan negara, siapa sih ”para ksatria itu”? Who are those few good men? Si prajurit, si pengacara, si kolonel, si polisi, atau sang jenderal?
KAWANDIYONO SANTOSO
Jetisharjo JT II/492
Yogyakarta 55233
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo