Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

"Anna and The King"

Pengalaman Anna Leonowens di istana Siam difilmkan kembali. Sebuah penafsiran yang lagi-lagi ditolak oleh pemerintah Thailand, mengapa?

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANNA AND THE KING
Sutradara:Andy Tennant
Pemain:Jodie Foster, Chow Yun-Fat, Bai Ling
Produksi:Twentieth Century Fox
ISTANA Siam menyimpan 1.001 dongeng yang memesona. Tetapi hanya satu cerita yang tak kunjung selesai ditafsirkan oleh para pendongeng modern. Selain kisah Raja Mongkut dengan puluhan istri, puluhan selir, dan 58 putra, istana Kerajaan Siam juga menyimpan sebuah kenangan bagi seorang wanita Inggris bernama Anna Leonowens. Syahdan, sang Raja Mongkut, yang lebih dikenal dengan nama Rama IV, mengundang wanita Victoria bernama Anna Leonowens, seorang janda berputra satu, yang kemudian dititahkan untuk mengajar putra-putrinya berbahasa Inggris serta ilmu pengetahuan lainnya. Untuk seorang perempuan Inggris pada zaman Victoria, menyeberangi samudra ke belahan Timur adalah sebuah keberanian yang luar biasa. Dan untuk menghadapi seorang raja yang diperlakukan bak dewa—berarti: kata-katanya tak terbantahkan—Anna Leonowens menjadikan dirinya sebuah legenda yang tak henti-hentinya ditafsirkan melalui dunia hiburan Barat. Kenangan itu ditulis melalui buku harian yang kemudian menjadi roman berjudul The English Governess and the King of Siam, karya Anna Leonowens (1870), yang kemudian menjadi sumber inspirasi berbagai sineas dan produser pertunjukan musikal Broadway.

Siam pada 1862 dikelilingi oleh berbagai kekuatan imperialis Inggris dan Prancis. Peta dikoyak-koyak, dibentuk, diredefinisikan sesuai dengan keinginan para monsieur kolonial. Raja Mongkut, yang telah lama menyadari ancaman ini, menyadari bahwa salah satu cara untuk menahan invasi itu ke negerinya adalah dengan mempelajari bahasa dan pengetahuan untuk memahami cara berpikir imperialis.

Tugas Anna sebetulnya mengajar putra-putri dan beberapa selir sang Raja. Namun, dengan sikap kritis dan keberanian Anna, pada akhirnya dia bukan hanya menjadi guru bagi anak-anak Raja, tetapi menjadi sahabat, bahkan "penasihat" informal sang Raja. Pertemuan Anna dengan sang Raja, yang terjadi secara mendadak, tak dinyana menjadi sebuah pertemuan yang "bersejarah" bagi kedua sosok itu. Sang Raja, yang menganggap sang guru itu "terlalu muda" untuk menyangga sedemikian banyak pengetahuan, segera mengetahui bahwa "usia dan kearifan tak selalu harus saling bergandengan". Sementara itu, Anna datang dengan sikap superioritas "cara-cara Inggris adalah cara-cara yang [kemudian] digunakan oleh dunia ini, yang kemudian perlahan-lahan mempelajari bahwa dunia bukan hanya terdiri dari kebudayaan Inggris belaka".

Kali ini, sang Raja Mongkut, diperankan oleh aktor laga Chow Yun-Fat, harus diakui jauh lebih menarik, charming, memesona—di balik sikapnya yang teguh—dibandingkan dengan Mongkut versi Yul Brynner dalam film The King and I arahan sutradara Walter Lang (1956). Bukan hanya karena kini sang Raja memiliki rambut dan menampilkan senyum yang lebih sensual, tetapi karena akting Chow Yun-Fat lebih menampilkan karisma sang Raja, yang selama ini tampil dalam bentuk kalimat catatan sejarah yang kering. Raja Mongkut versi sutradara Walter Lang—meski meraih Academy Awards—memberi kesan seorang raja yang temperamental dengan bahasa Inggris yang patah-patah dan tingkah laku yang menjengkelkan. Sementara itu, Andy Tennant seolah ingin merevisi sosok itu, mengarahkan Chow Yun-Fat sebagai seorang raja yang—meski sesekali kehabisan kesabaran—jantan tetapi tetap lembut dan jenaka. Dia adalah representasi sosok monarki di abad modern.

Jodie Foster kali ini tidak tampil pada puncak penampilannya. Dalam persoalan meniru aksen, Merryl Streep tetap tak tertandingi, bahkan oleh seorang Jodie Foster. Kecemerlangan Foster, yang berperan sebagai agen FBI dalam The Silence of the Lambs, sampai saat ini belum bisa dilahirkan lagi sehingga akhirnya yang menjadi titik perhatian dalam film ini adalah sang Raja, meski sesungguhnya kisah ini dibuat berdasarkan cerita Anna Leonowens.

Yang membuat versi ini lebih menarik daripada versi kartun dan arahan Walter Lang, tentu saja, adalah desain produksi film epik ini, antara lain kostum, tata artistik, hingga musik (baca: Mahalnya Harga Sebuah Penafsiran), yang kemudian mampu menampilkan sinematografi yang cemerlang. Itulah sebabnya film ini—terlepas dari kontroversi dan kemampuannya meraih penonton—mungkin akan berhasil menggondol penghargaan untuk kategori pendukung film itu (kostum, musik, dan tata artistik) dan bukan pada penyutradaraan atau akting para pemain.

Beberapa tafsiran yang lebih luas dan berbau politik dalam film ini, misalnya serangan Birma dan sikap kolonialisme Inggris, tentu saja jauh lebih memperkaya versi ini dibandingkan dengan film versi Walter Lang. Tetapi, yang kemudian dipertanyakan, seperti halnya protes warga Thailand, adalah bagaimana Anna Leonowens berperan begitu besar dan dahsyat, bahkan untuk sebuah keputusan politik yang penting ketika sang Raja bermaksud menghadapi musuh-musuh politiknya.

Tentu saja kita harus ingat bahwa ini hanya sebuah penafsiran yang dibuat berdasarkan pandangan mata satu orang, yakni Anna, yang sulit untuk dikonfirmasikan kebenarannya. Mungkin agak gamang bagi kita untuk membayangkan kedekatan persahabatan Anna dengan sang Raja hingga Anna bisa mengungkapkan cintanya dengan kalimat syahdu: "Mengapa ilmu pengetahuan bisa menjelaskan misteri keindahan musik, tetapi tak mampu memberikan solusi kepada seorang raja dan seorang guru?" Dan betapa jauhnya bayangan kita dari kisah sang Raja, yang menyodorkan tangannya untuk mengajak sang Guru berdansa di hadapan ratusan tamu asing.

Karena itu, film Anna and the King memang harus diperlakukan sebagai sebuah film roman, bukan film sejarah, meski ia dibuat berdasarkan sosok sejarah Thailand.

Sebagai sebuah film roman yang fiktif, beberapa bagian yang dramatis, yakni pemenggalan leher Tuptim—selir baginda yang dianggap telah berselingkuh—adalah sebuah adegan yang sangat sinematografis karena ditampilkan dengan sugestif: algojo yang berputar dengan slow motion, pedang yang melayang, pasangan kekasih yang berpandangan, dan darah yang memercik bersamaan dengan jatuhnya tubuh sang Raja di depan sang Buddha karena merasa tak berdaya. Tetapi, sebagai bagian dari sejarah, bagian ini juga tentu harus dipertanyakan.

Maka, Siam dalam film (dalam semua versi novel, film layar lebar, musikal Brodway) tentu masih Siam dari mata sineas Barat: sebuah eksotisme Timur, sebuah misteri yang perlu dikuak yang dianggap membutuhkan "sentuhan logika Barat". Meski sutradara Andy Tennant telah berupaya melakukan revisi, apa boleh buat, Siam di dalam karyanya adalah Siam dari kacamata para Orientalis: mereka, orang Timur, yang penuh misteri dan membutuhkan sentuhan "peradaban".

Leila S.Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus