Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Percayakah Anda bahwa sejumlah LSM ikut memperkeruh keadaan menjelang pemilu presiden? 29 Mei - 5 Juni 2004 | ||
Ya | ||
75.92% | 372 | |
Tidak | ||
20.61% | 101 | |
Tidak tahu | ||
3.47% | 17 | |
Total | 100% | 490 |
Sidney Jones, Kepala Perwakilan International Crisis Group (ICG), akhirnya harus hengkang. Bersama stafnya, Jones harus meninggalkan Indonesia setelah keluarnya surat deportasi dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM DKI Jakarta tertanggal 1 Juni 2004.
Pengusiran ini bermula dari sinyalemen Badan Intelijen Negara (BIN). Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR, 25 Mei lalu, badan intelijen itu mengusulkan agar izin tinggal Jones tak diperpanjang di Indonesia. BIN menilai Jones sering memberikan informasi atau pernyataan yang membahayakan keamanan negara.
Dalam rapat itu, bukan hanya Jones yang disinggung. Kabarnya, sekitar 20 lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga disebut-sebut akan ?ditertibkan? karena masalah serupa.
Ini mengundang reaksi keras dari aktivis LSM. Dalam jumpa pers 28 Mei lalu, Kontras, Imparsial dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia balik menantang BIN untuk membeberkan bukti keterlibatan 20 LSM yang dianggap mengganggu stabilitas keamanan sepanjang pemilu presiden.
Dalam pertemuan dengan Komisi I DPR, 25 Mei, sejumlah aktivis LSM mempertanyakan bukti yang dipakai BIN untuk melontarkan tuduhan itu. Direktur Eksekutif Imparsial, Munir, mempertanyakan apakah Komisi Pertahanan sudah mengecek dan melakukan verifikasi atas data milik BIN.
Todung Mulya Lubis, usai bertemu DPR, mengatakan saat ini LSM sudah mulai berhadapan dengan mesin-mesin represi dan intimidasi seperti di masa Orde Baru. Deportasi terhadap Jones, kata dia, dapat menjadi contoh paling buruk yang bisa menimpa lembaga lain.
Mayoritas responden yang mengikuti polling setuju dengan sinyalemen BIN. ?Banyak LSM yang menjadikan kepentingan rakyat sebagai kedok,? kata Andi, responden dari Bandung. Sekalipun, tentu saja, tak semua LSM memiliki ?wajah bopeng? seperti itu.
Indikator Pekan Ini: Jaksa Muda Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, Ferry Silalahi, tewas ditembak orang tak dikenal di Palu, Sulawesi Tengah, 26 Mei lalu. Penembakan terjadi saat Ferry bersama keluarga hendak pulang seusai mengikuti kebaktian. Menurut saksi mata, Ferry ditembak dari jarak dekat. Tak jelas benar apa motif penembakan tersebut. Sebagian kalangan mengaitkannya dengan kasus-kasus yang ditanganinya, antara lain kasus terorisme dan pabrik ekstasi di Tangerang. Kejaksaan Agung berencana mengajukan permohonan tambahan izin memiliki senjata api bagi jaksa yang bertugas, mengingat meningkatnya teror terhadap jaksa yang menangani sejumlah kasus besar. Menurut Jaksa Agung Muda Intelijen Basrief Arief, 29 Mei, permintaan tersebut juga berkaitan dengan tewasnya Ferry. Menurut dia, saat ini jumlah jaksa yang dipersenjatai untuk tujuan pengamanan diri sekitar 115 orang. Jumlah ini dinilai kecil ketimbang jumlah keseluruhan jaksa di Indonesia, yang mencapai 5.000 orang. Perlukah jaksa yang menangani kasus besar dipersenjatai untuk pengamanan? Kami tunggu pendapat Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo